SEJARAH GOWA : KERAJAAN GOWA
Sejarah terbentuknya
kerajaan gowa diperkirakan terbentuk disekitar abad ke-13. Hingga saat ini
belum ada pendapat jelas dan bukti secara empirik mengenai asal-usul nama
"Gowa". Kata Gowa sendiri tidak pernah dijelaskan dalam "Lontara
Bilang" namun pendapat yang paling dekat dan paling masuk akal mengenai
asal kata Gowa adalah "Goari". Bentuk penambahan huruf W ada berasal
dari bunyi Gowa. Goari secara harfiah memiliki arti kamar atau bilik. Pendapat
ini kemudian di dukung oleh Prof Mattulada yang menerangkan bahwa kata bilik
yang dimaksud sebagai Goari adalah sebauah tempat berkumpul. Tempat ini
selanjutnya dijadikan tempat untuk berkempul setiap kali terdapat suatu masalah
jadi bisa diartika sebagai tempat berhimpun atau bersatu.
Sebuah pendapat yang
dikeluarkan oleh salah satu keturunan Raja Gowa yakni Andi Ijo, kata Gowa
berasal dari "Gua", bukan dari kata betawi tetapi merujuk pada sebuah
lubang dalam tanah, namun pendapat ini masih diragukan mengingat bahasa kata Gua
adalah bahasa Melayu dan apakah penggunaan bahasa Melayu lebih dulu ada atau
kerajaan Gowa yang lebih dulu ada hal ini belum terbukti secara empirik. Fakta
lain gua dalam bahasa Makassar juga dikenal dengan sebutan
"Kalibbong" sehingga masih kurang dasar untuk menjadikan kata Gowa
merujuk pada kata Gua.
TUMANURUNG BAINE
Sebuah riwayat
menyebutkan bahwa sebelum kehadiran "Tumanurung" ri butta Gowa, Gowa adalah adalah sekumpulan
kerajaan kecil yang tergabung dan menyatakan berkongsi atau bersekutu
(Bondgenoot) dibawah pengawasan "Paccallayya". Paccallayya sendiri secara harfiah berarti
"mencela" namun dalam hal cela yang dimaksud adalah mengingatkan
ketika bagian dari persatuan melakukan kesalahan. Analogi yang tepat untuk
menempatkan posisi paccalayan adalah ketua dewan hakim tertinggi yang diangkat
dari orang-orang bijak dan merupakan wakil dari masing kerajaan kecil.
Kerajaan-kerajaan kecil
ini disebut "kasuwiang" setara dengan kelompok-kelompok dari satu
suku makassar laikang yang terdiri dari
9 kasuwiang yang menyatakan berada di bawah
pengawasan Paccailaya. Kesembilan kasuwiang
ini adalah
- Kasuwiang Tombolo (Sekarang
Kecamatan Tinggi Moncong dan juga Kecamatan Tombolo)
- Kasuwiang Lakiung (Daerah
sekitar pantai di Kecamatan Galesong, Toppe Jawa di Takalar)
- Kasuwiang Samata (Masih dengan
nama yang sama)
- Kasuwiang Parang-parang
- Kasuwiang Data (Daerah Malakaji
yang dikenal dengan nama Gowa dataran tinggi)
- Kasuwiang Agang Je’ne
- Kasuwiang Bisei
- Kasuwiang Kailing
- Kasuwiang Sero
Hampir sama dengan
kondisi kerajaan yang berbentuk federasi, selalu ada perbedaan pendapat
terlebih tidak adanya pemimpin yang jelas dari persatuan kesembilan kasuwiang ini karena Paccallaya adalah pengawas tanpa kekuatan militer
sehingga terkadang nasehat hanya sebatas nasehat saja. Hal ini semakin berat
ketika terjadi perang saudara antara gowa bagian utara dan gowa bagia selatan
dari sungai Je'neberang. Kondisi stabil tidak akan bertahan lama dalam keadaan
seperti ini kecuali ada seorang karismatik atau memiliki kekuatan militer
sehingga mampu untuk membawahi secara langsung kesembilang kasuwiang ini. dari
cerita terdapat dua versi yang muncul yakni:
- Pendapat pertama: Petunjuk
datang dari langit, sehingga turun seorang wanita dari langit yang
kemudian disebut dengan istilah "Tumanurung" atau titisan dari
langit, berita ini dibawa oleh Paccailaya bahwa putri tersebut turun di
atas bukit tamalatea yang berada di Taka' Bassia. Cerita ini diperkuat
dengan adanya cahaya yang muncul dari langit yang dilihat oleh orang
Bontobiraeng yang secara perlahan-lahan turun ke daerah Taka'ssia, namun
sebagaian sejarawan menyangsikan ini karena dianggap tidak rasional.
- Pendapat kedua: Kerajaan Gowa
adalah salah satu kerajaan baru terbentuk pada masa itu di mana
orang-orang yang ada di sulawesi selatan berasal dari sebuah suku yang
lebih tua yakni keturunan i La Galigo di kerajaan Luwu. Paccallaya yang mengetahui hal ini kemudian
meminta kepada raja Luwu untuk mengutus seorang bijak agar bisa menyatukan
kesembilan kasuwiang ini agar tidak hancur kemudian mengirim putrinya yang
kemudian dihilangkan jejaknya agar orang-orang Gowa tetap menaruh hormat
kepada Orang ini. Hal ini juga didukung dengan adanya falsafah Gowa yang
berbunyi "Somba opu" yang artinya menyembah atau mengabdi pada
Opu yang merupakan istilah untuk raja Luwu.
Sebelum turunya Tumanurung, sebenarnya
Paccalaiyya sudah memberikan tuigas kepada Gallarang Mangasa dan
Gallarang Tombolok untuk mencari tokoh yang bisa menyatukan kesembilang
kasuwiang tersebut.
Kemudian cerita Tumanurung akhirnya
terdengar dan Paccailaya dan Kesembilang kasuwiang akhirnya berangkat ke
Taka'bassia dan mengelilingi cahaya, kemudian bermunajat untuk mendapatkan
petunjuk dari langit. Karena Pada saat itu seluruh penduduk Gowa belum memeluk
dan mengenal agama samawi maka
kata langit merujuk pada mahluk maha kuasa yang ada di Langit sebagai Batara.
Dikisahkan setelah bertafakkur di daerah
bercahaya perlahan-lahan cahaya tersebut berubah dan menjelma menjadi seorang
wanita cantik dengan paras lembut dan mengenakan pakaian kesabaran. Paras dan
karakter akhirnya menggugah hati kasuwiang salapang dan juga Paccailaya
kemudian memanggilnya dengan nama "Tumanurung Baine". berdasarkan
rasa kagum kepada Tumanurung Baine kemudian
wakil dari para kasuwiang dan Paccallaya akhirnya menemukan kesepakatan untuk
menjadikan Tumanurung Baine sebagai Raja
yang pertama. Tugas dari raja pertama adalah memrintahkan untuk menghentikan
perang saudara yang sedang terjadi.
Pada kejadian ini setelah titah pertama raja
turun, Pacallaya kemudian mendekat dan menyembah dengan mengikrakan kata
"Sombaku" atau tempat aku berserah, tuanku atau orang yang memerintah
dan juga kata "Sombaku" merujuk pada pengakuan diri menjadi
seorang ata' atau hamba.
Pada proses penyembahan ini kemudian Paccallayya
yang mewakili rakyat gowa memohon untuk kesedian Tumanurung Baine untuk menetap
di Gowa dan memerintah Gowa. Permonohan Paccallaya inipun dikabulkan dan secar
aserentak bergemurulah orang-orang yang hadir dan meneriakkan "Somabi
Karaengnu Tu Gowa" (Sembahlah Rajamu Hai Orang-Orang Gowa) dijawablah
dengan lantang "Sombangku" (Penguasaku atau tuanku". Kata Somba
ini kemudian dijadikan sebagai gelar raja yang memimpin untuk raja-raja
penerus. Ini adalah kisah yang paling tua yang menceritakan asal-usul
penggunaan nama Gowa sebagai nama Resmi.
Tanda-tanda kesembilang kasuwiang ini masih ada
hingga saat ini dan yang paling terkenal adalah adanya pohon tala' atau pohon lontar di daerah Tala' Salapang dekat
dengan Unismuh yang berada di Jalan Sultan Alauddin. Pohon Tala tersebut
Berjumlah sembilang namun salah satu dari tala tersebut roboh sekitar tahun
2000, sehingga pemerintah kabupaten Gowa menggantinya dengan pohon yang lebih
muda.
SILSILAH RAJA-RAJA GOWA (SOMBAYYA)
- Tumanurung Baine (Perempuan)
(Sekitar abad 13)
- Tumassalangga Baraya
- Puang Loe Lembang
- I Tuniatabanri
- Karampang ri Gowa
- Tunatangka Lopi (Abad 14)
- Batara Gowa Tumenanga ri
Paralakkenna
- Pakere Tau Tunijallo ri
Passukki
- Daeng Matanre Karaeng
Tumapa'risi' Kallonna (awal abad ke-16)
- I Manriwagau Daeng Bonto
Karaeng Lakiyung Tunipallangga Ulaweng (1546-1565) - (Pemersatu kerajaan
Gowa dan Tallo dan memulai pembangunan Benteng Ford Rotterdam dengan nama
awal Benteng Panyua' sebagai bentuk pertanahan dari serangan laut dan
penjgaan Bandar Makassar.
- I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data
Tunibatte
- I Manggorai Daeng Mameta
Karaeng Bontolangkasa Tunijallo (1565-1590).
- I Tepukaraeng Daeng Parabbung
Tuni Pasulu (1593).
- I Mangari Daeng Manrabbia
Sultan Alauddin Tumenanga ri Gaukanna Berkuasa mulai tahun 1593 - wafat
tanggal 15 Juni 1639. Merupakan penguasa Gowa pertama yang memeluk agama
Islam.
- I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng
Lakiyung Sultan Malikussaid Tuminanga ri Papang Batuna. Lahir 11 Desember
1605, berkuasa mulai tahun 1639 hingga wafatnya 6 November 1653
- I Mallombassi Daeng Mattawang
Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin Tuminanga ri Balla'pangkana. Lahir
tanggal 12 Juni 1631, berkuasa mulai tahun 1653 sampai 1669, dan wafat
pada 12 Juni 1670
- I Mappasomba Daeng Nguraga
Sultan Amir Hamzah Tuminanga ri Allu'. Lahir 31 Maret 1656, berkuasa mulai
tahun 1669 hingga 1674, dan wafat 7 Mei 1681.
- Sultan Mohammad Ali (Karaeng
Bisei) Tumenanga ri Jakattara Lahir pada tanggal 29 November 1654,
berkuasa mulai 1674 sampai 1677, dan wafat 15 Agustus 1681
- I Mappadulu Daeng Mattimung
Karaeng Sanrobone Sultan Abdul Jalil Tuminanga ri Lakiyung. (1677-1709)
- La Pareppa Tosappe Wali Sultan
Ismail Tuminanga ri Somba Opu (1709-1711)
- I Mappaurangi Sultan Sirajuddin
Tuminang ri Pasi
- I Manrabbia Sultan Najamuddin
- I Mappaurangi Sultan Sirajuddin
Tuminang ri Pasi. (Menjabat untuk kedua kalinya pada tahun 1735)
- I Mallawagau Sultan Abdul Chair
(1735-1742)
- I Mappibabasa Sultan Abdul
Kudus (1742-1753)
- Amas Madina Batara Gowa
(diasingkan oleh Belanda ke Sri Lanka) (1747-1795)
- I Mallisujawa Daeng Riboko
Arungmampu Tuminanga ri Tompobalang (1767-1769)
- I Temmassongeng Karaeng Katanka
Sultan Zainuddin Tuminanga ri Mattanging (1770-1778)
- I Manawari Karaeng
Bontolangkasa (1778-1810)
- I Mappatunru / I Mangijarang
Karaeng Lembang Parang Tuminang ri Katangka (1816-1825)
- La Oddanriu Karaeng Katangka
Tuminanga ri Suangga (1825-1826)
- I Kumala Karaeng Lembang Parang
Sultan Abdul Kadir Moh Aidid Tuminanga ri Kakuasanna (1826 - wafat 30
Januari 1893)
- I Malingkaan Daeng Nyonri
Karaeng Katangka Sultan Idris Tuminanga ri Kalabbiranna (1893- wafat 18
Mei 1895)
- I Makkulau Daeng Serang Karaeng
Lembangparang Sultan Husain Tuminang ri Bundu'na. Memerintah sejak tanggal
18 Mei 1895, dimahkotai di Makassar pada tanggal 5 Desember 1895. Ia
melakukan perlawanan terhadap Hindia Belanda pada tanggal 19 Oktober 1905
dan diberhentikan dengan paksa oleh Hindia Belanda pada 13 April 1906. Ia
meninggal akibat jatuh di Bundukma (di medan perang), dekat Enrekang pada
tanggal 25 Desember 1906.
- I Mangimangi Daeng Matutu
Karaeng Bonto Nompo Sultan Muhammad Tahur Muhibuddin Tuminanga ri
Sungguminasa (1936-1946)
- Andi Ijo Daeng Mattawang
Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidudin (1956-1960) merupakan
Raja Gowa terakhir dan yang pertama mengenakan gelar "Andi",
meninggal di Jongaya pada tahun 1978.
Komentar
Posting Komentar