SEJARAH MAROS : KERAJAAN-KERAJAAN DI MAROS
KERAJAAN DIMAROS
Perjanjian Bungaya
1667/1669 yang dilakukan antara Sultan Hasanuddin Raja Gowa XVI dengan Admiral
Cornelis Spelman ternyata memberi dampak besar tidak saja bagi Kerajaan Gowa
sebagai fihak yang dirugikan tetapi juga membiaskan pengaruh ke kerajaan lain
termasuk kerajaan yang berada di sekitar Gowa antara lain Maros.
Maros yang pada
awalnya hanya berdiri sebuah kerajaan yang berpusat di Pakere akhirnya mekar
yang diakibatkan rasa kecewa banyak bangsawan/pangeran Kerajaan Gowa dan Bone
terhadap hasil dan pengaruh yang ditimbulkan Perjanjian Bungaya bagi tatanan
kenegaraan Kerajaan Gowa dan Bone, sebab pengaruh kekuasaan politik Belanda
menjadi semakin dominan. Kompensasi kekecewaan mereka itu diwujudkan dalam
bentuk hijrah meninggalkan kerajaannya mencari daerah baru yang bebas dan
merdeka untuk dibuka dan dijadikan perkampungan tempat pemukiman bersama sanak
keluarga dan pengikutnya yang setia.
Dengan demikian
wilayah Maros sebagai daerah yang cukup luas dan potensial namun masih tertutup
menjadi sasaran mereka dalam pencaharian daerah baru. Akhirnya lambat laun di
Wilayah Maros berdiri perkampungan baru yang dibuka oleh pangeran/bangsawan
dari Gowa dan Bone yang kemudian menjelma
menjadi kerajaan-kerajaan berotonomi.
Para pangeran dan
bangsawan yang membuka kerajaan-kerajaan itu mempunyai dalih dan sebab yang
berbeda-beda dan kedatangannya membawa serta regelia/kalompoang yang menandakan
ketinggian derajat sehingga memungkinkan untuk memperoleh pengakuan masyarakat
asli agar segera mengakui kekuasaannya.
Dalam Perjanjian
Bungaya, Maros ditetapkan sebagai daerah yang dikuasai langsung oleh Belanda
(direct rule) sehingga bentuk-bentuk pemerintahan kerajaan-kerajaan yang berada
di Maros diformulasikan dalam bentuk Regentschaap yang
dipimpin oleh penguasa bangsawan lokal yang bergelar Regent (Bupati),
demikian pula halnya dengan Kerajaan Maros warisan Karaeng LoE ri
Pakere.
Dan untuk
mengenang kerajaan yang didirikan oleh Karaeng LoE ri Pakere, maka akan kita
patrikan raja-raja yang pernah mengendalikan pemerintahannya sampai
terbentuknya kerajaan-kerajaan di sekitarnya, yaitu :
1. KaraEng LoE ri Pakere Manurunga
ri Pakere
2. I Sang Aji Gaddong Batara Marusu
3. KaraEng LoE ri Marusu
4. I Mappasomba DaEng Nguraga
Karaeng Patanana Langkana
5. I Yunnyi DaEng Mangemba Karaeng
Tunikakkasang
6. Karaeng Angsakayai Binanga
Marusu, Sultan Muhammad Adam
7. KaraeEngta Barasa, Sultan
Muhammad Ali
8. I Yunusu DaEng Pasabbi, Sultan
Muhammad Yunus
Pada akhirnya sekitar abad XVII di
Wilayah Maros dan sekitarnya telah berdiri sekitar 8 buah kerajaan yang
berotonom. Kerajaan-kerajaan itu adalah:
KERAJAAN SIMBANG
Wilayah Kerajaan
Simbang tepat di antara Kerajaan Bone dan Gowa. Luasnya melingkupi 24 Kampung.
Pertama kali berpusat di Sampakang. Simbang didirikan sebagai
sebuah kerajaan oleh La Sanrima DaEng Pabelo yang
bergelar Baso Mallawati Ana’batta’na Gowa. Beliau ini adalah putera
dari La Mappareppa Tosappewali Arung Palakka Karaeng Ana’moncong Sultan Ismail
Tumenanga ri Somba Opu (Somba Gowa XX/Mangkau Bone XIX/Datu Soppeng XXII) dari
istri bernama I Mira KaraEnga ri Gowa.
La Sanrima DaEng
Pabelo meninggalkan negerinya Kerajaan Gowa akibat kekecewaan atas campur
tangan Belanda terhadap suksesi pemerintahan Kerajaan Gowa dimana dirinya yang
seharusnya naik tahta menggantikan ayahandanya tetapi oleh Belanda diserahkan
kepada I Mappau’rangi Karaeng Boddia, akibat kekecewaaan ini sehingga Beliau
keluar mendirikan Kerajaan Simbang pada sekitar tahun 1709.
Urut-urutan Raja
yang memerintah Simbang sejak tahun 1709 - 1963 adalah :
1. La Sanrima Daeng Pabelo Baso
Mallawati Ana Batta’na Gowa Karaeng Ammallia Butta
2. La Pajonjongi Karaeng
Appakaluaraka Butta
3. La Pagala Daeng Masarro Karaeng
Sabuka
4. La Sengka Daeng Nimalo Karaeng
Kanjilo
5. La Rassang Karaeng Bukkuka
6. La Baso Daeng Ngitung Karaeng
Cidutoa
(Pemerintahan dijalankan oleh Kare
Daeng Manja Sullewatang Simbang)
7. La Sulaimana Daeng Masikki
(Pemerintahan dijalankan oleh Kare
Daeng Sitoro Sullewatang Simbang)
8. La Dolo Daeng Patokkong Petta
CorawaliE ri Makuring
(Pemerintahan dijalankan oleh
Kare Daeng Mattari Sullewatang Simbang)
9. La Oemma Daeng Manrapi Karaeng
Turikale Matinroa ri Bonto - muloro
10. Haji Andi Patahoeddin Daeng
Paroempa Sullewatang Turikale
11. Andi Amiroeddin Daeng Pasolong
Karaeng Co’bo-e
12. Haji Andi Siradjoeddin Daeng
Maggading
Wilayah-wilayah
yang menjadi daerah hukum Kerajaan Simbang sebanyak 24 kampung, yaitu sebagai
yaitu Samanngi, Tanetea, Tana Takko, Bontobua, Nipa, Sege-segeri, Banyo,
Bontokamase, SambuEja, Camba-camba, Rumbia, Allu, Bukkangmata, Tallasa,
Bontopa’dinging, Pakalu, Garangtiga, Patte’ne, Sampakang, Batubassi, Pakere,
Gantarang, Aloro, dan Bantimurung.
Pada tahun 1963,
Simbang diubah bentuknya dari sebuah Kerajaan /Distrik Adat Gemenschaap menjadi
sebuah Kecamatan dengan nama Kecamatan Bantimurung, dengan Camat I ialah Haji
Andi Sirajuddin Daeng Maggading Karaeng Simbang XII.
KERAJAAN TANRALILI
Kerajaan Tanralili
dibuka pertama kali oleh La Tenri Petta Tomarilaleng yang
meninggalkan Kerajaan Bone karena tidak senang terhadap campur tangan Belanda
yang teramat dominan dalam pemerintahan Kerajaan Bone.
La Tenri adalah putera
dari La Tobala Petta Pakkinyarange Arung Tanete Ri Awang Jannang Bone. La Tenri
memperistrikan I Manning Arung Petteng, puteri dari La Tenri Page Arung Tungke
Arung Mampu, putera dari La Panuangi Towappamole Sultan Abdullah Mansyur
(Mangkau Bone XX) Matinroe ri Beula.
Setelah mendirikan
perkampungan Tanralili yang berpusat di Tompo’bulu, La Tenri lalu
mengangkat puteranya La Mappaware Daeng Ngirate sebagai raja
pertama, yaitu sekitar tahun 1711.
Urut-urutan raja
yang memerintah Tanralili sejak tahun 1711 -1963 adalah sbb
1. La Mappaware Daeng Ngirate
Batara Tanralili Matinroa ri Damma
2. I Daeng Tanralili Matinroa ri
Masale
3. I Lele Daeng Rimoncong Matinroa
ri Tallo
4. I Panjanggau Daeng Mamala Matinroa
ri Solojirang
5. I Malluluang Daeng Manimbangi
Matinroa ri Cidutoa
6. I Calla Daeng Mabbunga Karaeng
Borong
7. I Fatahulla Daeng Mattayang
8. I Nyimpung Daeng Palallo
9. I ToE Daeng Pagajang Karaeng
Ta’lea ri Bima
10. I Punruang Daeng Mangngati Matinroa
ri Bengkalis
11. I Bura’ne Abdul Gani Daeng
Manromo
12. Andi Nanggong Daeng Mattimu
13. Andi Abdullah Daeng Matutu
14. Haji Andi Badoeddin Daeng
Manuntungi
Daerah-daerah yang
menjadi wilayah hukum Tanralili meliputi wilayah pegunungan sekitar Kerajaan
Gowa yang melingkupi 40 kampung, yaitu Biringkaloro, Ba’do-ba’do, Masale,
Dulang, Sabantang, Kacici, Batangase, Pattontongang, Leko, Ba’do Ujung,
Lekopancing, Makkaraeng, Pannasakkang, Baku, Pao-pao, Bontotangnga, Macinna,
Amma’rang, Billa, Kaluku, Salu, Tokka, Baru, Bara, Damma, Sambotara, Bossolo,
Bassikalling, Tanadidi, Tanete Pakku, Ujung Paku, Puca, Mangento, Kabbung,
Matowa, Tanete Bulu, Cindakko, Massulangka, Batulotong dan Biringere.
Pada tahun 1963,
Tanralili bersama Distrik Sudiang, Bira, MoncongloE dan Biringkanaya dilebur
menjadi sebuah Kecamatan dengan nama Kecamatan Mandai. Pada tahun 1989 nama
Tanralili kembali eksis ke permukaan sejarah setelah dijadikan sebagai sebuah
Kecamatan Perwakilan yang selanjutnya saat ini menjadi sebuah kecamatan defenitif.
KERAJAAN MARUSU
Kerajaan Marusu
merupakan Kerajaan tertua di Wilayah Maros, hanya dalam konteks ini Marusu
tidak lagi dianggap sebagai Kerajaan yang dibentuk oleh Karaeng LoE ri Pakere
sebab telah mengalami pergeseran wilayah yang teramat jauh demikian pula bentuk
dan status pemerintahannya sangat berbeda dengan zaman Karaeng LoE ri
Pakere dan pewarisnya yang berbentuk Kerajaan/Monarki absolut, tetapi
Marusu disini adalah wilayah yang terbentuk sebagai Kerajaan Lokal, daerah
protektorat Kerajaan Bone, pasca Perang Bone I kemudian selanjutnya menjadi
Distrik Adat Gemenschap.
Pasca era KaraEng
LoE ri Pakere, Marusu diperintah secara berurutan oleh :
1. La Mamma Daeng Marewa Tunibatta
Matinroe ri Samanggi
2. La Tifu Daeng Mattana Matinroe
ri Marusu
3. La Mappalewa Daeng Mattayang
Matinroe ri Karaso
4. La Manyandari Daeng Paranreng
Matinroe ri Campagae
5. La Mallawakkang Daeng Pawello
Matinroe ri Kuri
6. La Surulla Daeng Palopo
Tumenanga ri Bundu’na
7. I Mappasossong Daeng Pabundu
Matinroe ri Kassikebo
8. I Pake Daeng Masiga Karaeng
Ilanga Matinroa ri Masigi’na
9. Haji Abdul Hafid Daeng
Ma’ronrong
10. Muhammad Tajuddin Daeng Masiga
Daerah-daerah yang
menjadi wilayah hukum Marusu adalah melingkupi 34 kampung, yaitu Taipa,
Baru-baru, Kaemba, Pampangan, Kanjitongang, Jawi-jawi, Kampala, Barambang,
Allu, Kaluku, Manrimisi Marusu, Kuri Lompo, Kassikebo, Betang, Bentang, Marusu,
Data, Palisi, Bontobiraeng, Bontomanai, Patte’ne, Pangkaje’ne, Lekoala, Tekolabbua,
Matana, Bulu-bulu, Kalli-kalli, Mannuruki, Mambue, Bontokappong, Batiling,
Leppakkomai, Mannaungi dan Satanggi
Pada tahun 1963 Marusu bersama Turikale, Lau dan Bontoa dilebur
dengan nama Kecamatan Maros Baru, dengan Camat I ialah Muhammad Tajuddin
Daeng Masiga Karaeng Marusu.
KERAJAAN BONTOA
Pada awalnya
Bontoa bernama Tanetea setelah berdiri sebagai sebuah daerah
berpemerintahan adat maka namanya diubah menjadi Bontoa. Bontoa dibuka pertama
kali oleh I Manjarrang, putera Karaeng Labbua Tali Bannanna Bangkala.
I Manjarrang diperintahkan membuka perkampungan di Bontoa setelah mempersunting
puteri Raja Gowa untuk dijadikan pemukiman bersama keluarga dan para
pengikutnya.
Urut-urutan raja
yang memerintah Bontoa sejak berdirinya hingga tahun 1963 adalah sebagai
berikut :
1. I Manjarrang
2. I Manjuwarang
3. I Daeng Siutte
4. I Daeng Manguntungi
5. I Pakandi Daeng Massuro
6. I Pandima Daeng Malliongi
7. I Daeng Tumani
8. I Mangngaweang Daeng Mangalle
9. I Rego Daeng Mattiro
10. I Parewa Daeng Mamala
11. I Sondong Daeng Mattayang
12. I Bausa Daeng Sitaba Karaeng
Tallasa
13. I Bambo Daeng Matekko
Sullewatang Lau
14. I Radja Daeng Manai
15. Abdul Maula Intje Jalaluddin
16. I Radja Daeng Manai (ke-2
kalinya)
17. Andi Mamma Daeng Sisila
18. Andi Djipang Daeng Mambani
19. Haji Andi Mamma Daeng Sisila
(ke-2 kalinya)
20. Andi Djipang Daeng Mambani
(ke-2 kalinya)
21. Haji Andi Radja Daeng Nai
Karaeng Loloa
22. Haji Andi Muhammad Yusuf Daeng
Mangngawing
Wilayah hukum
Bontoa melingkupi 16 kampung daerah pesisir pantai, sebelah Utara Marusu, yaitu
Bontoa, Salenrang, Sikapaya, Balosi, Parasangang Beru, Panaikang, Batunapara,
Tangnga Parang, Lempangang, Panjallingang, Ujung Bulu, Belang-belang,
Suli-suli, Pannambungan, Mangemba dan Tala’mangape.
KERAJAAN LAU’
Lau' pada awalnya
adalah sebuah daerah Kasullewatangan (kesultanan) yang
dibentuk dalam tahun 1824 ketika pasukan Bone berhasil diusir dari wilayah
Maros, oleh pemerintah Gubernemen membentuk empat daerah Kasullewatangan yaitu
Lau’, Wara, Raya dan Timboro.
Yang menjadi
Sullewatang Lau’ pertama adalah La Mattotorang PagelipuE Abdul Wahab
Daeng Mamangung, putera dari La Mauraga Sultan Adam Datu Mario ri Wawo dari
istri bernama Ince Jauhar Manikam I Denra Petta WaliE puteri dari Ince Abi
Asdollah Dato’ Pabean, Bendahara Kerajaan Gowa.
Selanjutnya La
Mattotorang Daeng Mamangung diangkat menjadi Regent/Karaeng Lau’ pertama ketika
seluruh daerah pemerintahan adat di Maros dibentuk menjadi Regentschappen.
Ketika wafat La Mattotorang Daeng Mamangung dimakamkan di Laleng Tedong
sehingga diberi gelar anumerta Matinroe ri Laleng Tedong.
Urut-urutan raja
yang memerintah Lau’ adalah sebagai berikut :
1. La Mattotorang Daeng Mamangung
Matinroe ri Laleng Tedong
2. La Tenrowang Daeng Pasampa
Matinroe ri Manrimisi
3. La Rombo Muhammad Saleh Daeng
Lullu Matinroe ri Kassikebo
4. Andi Pappe Daeng Massikki
5. Andi Abdullah
Wilayah hukum Lau’
melingkupi 31 buah Kampung, yaitu Maccini Ayo, Lemo-lemo, Bontokadatto,
Bontorea, Pute, Sampobia, Galaggara, Langkeang, Lopi-lopi, Tammate,
Bulu’sipong, Tapieng, Pacelle, Pappandangang, Sengkalantang, Manrimisi Lau,
Kalumpang, Balang-balang, Coppenge, Kacumpureng, Nipa, Jangka-jangkaE, Laleng
Tedong, Campagae, Pandanga, Padaria, Binanga Sangkara, Mangara’bombang,
Sabanga, Marana’ dan Kaddarobo’bo.
KERAJAAN TURIKALE
Wilayah Turikale
pada awalnya hanya didiami segelintir manusia dengan cara hidup tidak menetap.
Daerahnya pun masih merupakan hutan-hutan dan daerah persawahan. Sungai Maros
melintas ditengahnya. Setelah Karaeng LoE ri Marusu (Raja Maros III)
memindahkan pusat kerajaan dari Pakere ke Marusu, penduduk Pakere dan beberapa
kampung di sekitarnya yang banyak penduduknya mulai berpindah mendekati pusat
kerajaan yang baru membuka perkampungan dan pemukiman baru.
Putera Karaengta
Barasa yang bernama Muhammad Yunus Daeng Pasabbi (Kare Yunusu),
dikirim oleh ayahandanya mengikuti Pendidikan Tinggi Agama Islam di Bontoala.
Dalam masa pendidikannya ia berkenalan dengan salah seorang putera Raja Tallo (
I Mappau’rangi Karaeng Boddia) yang bernama I Mappibare Daeng Mangiri.
Persahabatan yang terjalin di antara mereka sangatlah akrab. Mereka berdua
setiap ada kesempatan saling bertukar fikiran dan berdiskusi dalam banyak hal,
baik menyangkut ketatanegaraan terlebih lagi ikhwal Agama Islam.Setelah
Karaengta Barasa mangkat, Muhammad Yunus Daeng Pasabbi naik tahta menggantikan
ayahnya sebagai Raja Maros VIII.
Di masa
pemerintahannya, beliau kemudian mengajaknya sahabatnya I Mappibare Daaeng
Mangiri untuk menetap di Maros untuk bersama-sama memajukan agama Islam. I
Mappibare Daeng Mangiri ternyata tidak keberatan lalu menetaplah Ia di Maros
dan kepadanya diberikan wilayah ini sebagai wilayah yang dikuasainya sekaligus
sebagai tempat I Mappibare Daeng Mangiri melaksanakan kegiatan pengembangan
Ilmu Agama Islam.
Perkampungan yang
diberikan kepadanya itu diberi nama TURIKALE artinya Kerabat
Dekat, untuk memberikan pertanda bahwa I Mappibare Daeng Mangiri yang
diberi kuasa menempatinya adalah kerabat keluarga yang sangat akrab.
Maka jadilah
Turikale yang tadinya sebuah perkampungan tidak bertuan menjadi wilayah yang
teratur, sebab menjadi pusat pendidikan Agama Islam. Statusnya sebagai wilayah
otorita pengembangan Islam tetap dipertahankan. Turikale bukan sebagai wilayah
hukum berpemerintahan melainkan kesannya lebih seperti sebuah daerah khusus
istimewa.
I Mappibare Daeng
Mangiri memperistrikan seorang puteri bangsawan Gowa bernama I Duppi Daeng
Ma’lino dan setelah mangkat kepemimpinannya digantikan oleh puteranya
bernama I Daeng Silassa. I Daeng Silassa memperistrikan sanak
keluarganya dari Gowa/Tallo yang bernama Habiba Daeng Matasa, yang melahirkan
sepasang putera-puteri, yaitu I Lamo Daeng Ngiri dan I Tate Daeng Masiang.
I Lamo Daeng
Ngiri ini sekitar tahun 1796 kemudian
membuka babakan baru di Turikale setelah menjadikan Turikale tidak saja sebagai
daerah pengembangan Agama Islam tetapi juga sebagai sebuah daerah berotonomi
dan berpemerintahan sendiri. Hal ini tentu sangat memungkinkan bagi I Lamo
Daeng Ngiri, sebab Turikale telah memiliki pengaruh yang sangat luas. Turikale
kemudian diproklamirkan sebagai sebuah Kerajaan berpemerintahan sendiri yang lepas
dari kekuasaan hukum kerajaan manapun juga.
Urut-urutan raja
yang memerintah Turikale adalah:
1. I Lamo Daeng Ngiri (1796 - 1831)
2. Muhammad Yunus Daeng Mumang
(1831 - 1859)
3. La Oemma Daeng Manrapi (1859 -
1872)
4. I Sanrima Daeng Parukka (1872 -
1882)
5. I Palaguna Daeng Marowa (1882 -
1817)
6. Andi Abdul Hamid Daeng Manessa
(1917 - 1946)
7. Haji Andi Mapparessa Daeng
Sitaba (1946 - 1959)
8. Andi Kamaruddin Syahban Daeng
Mambani (1959 - 1963)
Wilayah-wilayah
yang merupakan daerah hukum Turikale meliputi 43 kampung, yaitu Redaberu,
Solojirang, Bontokapetta, Kasuwarang, Soreang, Bontocabu, Tambua, Kassijala,
Pattalasang, Rea-rea, Manrimisi Turikale, Kuri Caddi, Sungguminasa, Data,
Panaikang, Buttatoa, Tumalia, Baniaga, Maccopa, Kassi, Buloa, Sangieng (Tana
Matoana Turikale), Pakalli, Bonti-bonti, Paranggi, Moncongbori, Mangngai,
Manarang, Camba Jawa, Bunga Ejaya, Pa’jaiyang, Ammesangeng, Samariga,
Leang-leang, Tompo’balang, Labuang, Karaso, Bonto Labbua, Tabbua, Balombong,
Balanga, Tala’mangape dan Sanggalea.
Selanjutnya lahir
Undang-undang Nomor 29 Tahun 1959 yang diberlakukan mulai tanggal 1 Juni 1963.
Pada saat itu seluruh Kerajaan Lokal/Distrik Adat Gemenschaap termasuk Turikale
dilebur. Turikale bersama dengan Marusu, Lau’ dan Bontoa dilebur menjadi sebuah
kecamatan dengan nama Kecamatan Maros Baru.
Komentar
Posting Komentar