SEJARAH GOWA : BENTENG SOMBA OPU
Benteng yang dibangun
oleh Sultan Gowa ke IX, Daeng Matanre Karaeng Tumaparisi Kallonna tahun 1545.
Percaya atau tidak bangunan itu dibangun dari tanah liat dan putih telur
sebagai pengganti semen. Bentengkokoh
ini berbentuk segi empat, dengan panjang sekitar 2 kilometer, tinggi 7-8 meter,
dan luasnya sekitar 1.500 hektar. Seluruh bangunan benteng dipagari dengan
dinding yang cukup tebal. Pada abad ke 16, benteng ini sempat menjadi pusat
perdagangan dan pelabuhan rempah-rempah yang ramai dikunjungi pedagang asing
dari Asia dan Eropa. Benteng inilah
sejarah kerajaan Makassar terbentuk.
Sejarah ini berawal dari persekutuan
kerajaan kembar Gowa-Tallo, berbasis pada keinginan Kerajaan Gowa untuk
mengubah orientasi kehidupan kerajaannya dari agraria ke dunia maritim pada
periode pemerintahan Raja Gowa IX, Tumapa'risi' Kallonna Daeng Matanre Karaeng
Manguntungi (1510-1546). Kebijakan itu dilaksanakan mengingat semakin banyak
arus migran pedagang Melayu ke kawasan ini setelah Malaka diduduki oleh
Portugis pada 1511. ''Setelah melakukan persekutuan dua kerajaan itu, yang
secara kesejarahan diperintah oleh raja dari keturunan yang sama, Kerajaan
Kembar itu melaksanakan perluasan kekuasaan dengan menaklukkan
kerajaan-kerajaan pesisir dan memaksa mereka untuk melakukan perdagangan dengan
bandar niaga Tallo dan Sombaopu,'' tutur sejarawan dari Unhas, Edward L
Poelinggomang.
Kemudian, Raja Gowa ke-10, I
Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng (1546-1565), yang
menjadi pelanjut Raja Gowa ke-9, memandang kebijakan itu kurang memberikan
peluang bagi kemajuan bandar niaga kerajaan kembar Gowa-Tallo. Ia kemudian
merancang penaklukan kerajaan-kerajaan pesisir dan kerajaan-kerajaan yang
memiliki potensi ekonomi dengan kebijakan baru, yaitu memaksa kerajaan-kerajaan
taklukan untuk tunduk dan patuh kepada Raja Gowa X, serta mengangkut orang dan
barang dari negeri taklukan, khususnya yang bergiat dalam dunia perdagangan
maritim ke bandar Kerajaan Gowa-Tallo. Akibat kebijakan itu, bandar-bandar
niaga yang berada di pesisir jazirah selatan menjadi sirna, dan hanya ada dua
bandar niaga, yakni bandar niaga Tallo dan bandar niaga Sombaopu. Kedua bandar
niaga itu secara fisik seolah-olah sudah menyatu dan membentang dari muara
Sungai Bira (Sungai Tallo) hingga muara Sungai Jeneberang yang dipenuhi oleh
para pedagang dari berbagai bandar niaga yang sebelumnya disebut Makassar.
Itulah yang kemudian mendasari
para pedagang menyebut bandar niaga Tallo dan Sombaopu dengan sebutan Bandar
Makassar, dan tidak menyebut Tallo Makassar atau Sombaopu Makassar.
Kerajaan kembar Gowa-Tallo
juga kemudian disebut dengan nama Kerajaan Makassar, di mana Raja Gowa diangkat
menjadi Raja, sedangkan Raja Tallo menjadi Mangkubumi atau Kepala Pemerintahan
Kerajaan. Bandar Makassar kemudian berkembang dan menjadi pusat kegiatan bagi
para pelaut dan pedagang, termasuk pelaut dan pedagang dari Portugis pada 1532,
Belanda (VOC) pada 1603, Inggris pada 1613, Spanyol pada 1615, Denmark pada
1618, dan China pada 1618. ''Berkumpulnya para pedagang di bandar Makassar,
berhasil meningkatkan kegiatan perdagangan di kota pelabuhan itu,'' urai
Edward.
Untuk melindungi kegiatan
perdagangan di kota pelabuhan itu, pemerintah Kerajaan Makassar membangun
sejumlah benteng pertahanan sepanjang pesisir dari yang paling utara Benteng Tallo
hingga yang paling selatan Benteng Barombong. Selain benteng, sepanjang wilayah
pesisir kota juga dibangun tembok yang di depannya berjejer perahu dan kapal
dagang dari berbagai kerajaan di Asia Tenggara, China, dan dari Eropa,
sedangkan di balik tembok juga berlangsung kegiatan perdagangan, baik di pasar
tradisional, maupun di rumah-rumah dagang Ilmuwan Inggris, William Wallace,
menyatakan, Benteng Somba Opu adalah benteng terkuat yang pernah dibangun orang
nusantara. Benteng ini
adalah saksi sejarah kegigihan Sultan Hasanuddin serta rakyatnya mempertahankan
kedaulatan negerinya.
Pernyataan Wallace bisa jadi benar. Begitu memasuki kawasan Benteng Somba Opu,
akan segera terlihat tembok benteng yang kokoh. Menggambarkan sistem pertahanan
yang sempurna pada zamannya. Meski terbuat dari batu bata merah, dilihat dari
ketebalan dinding, dapatlah terbayangkan betapa benteng ini amat sulit ditembus
dan diruntuhkan. Ada tiga bastion yang masih terlihat sisa-sisanya, yaitu
bastion di sebelah barat daya, bastion tengah, dan bastion barat laut.
Yang terakhir ini disebut Buluwara Agung. Di bastion inilah
pernah ditempatkan sebuah meriam paling dahsyat yang dimiliki orang Indonesia
namanya Baluwara Aung. Meriam ini Bobotnya mencapai 9.500 kg, dengan
panjang 6 meter, dan diameter 4,14 cm. Sebenarnya, Benteng Somba Opu sekarang
ini lebih tepat dikatakan sebagai reruntuhan dengan sisa-sisa beberapa dinding
yang masih tegak berdiri. Bentuk benteng ini pun belum diketahui secara persis
meski upaya ekskavasi terus dilakukan.
Tetapi menurut peta yang tersimpan di Museum Makassar, bentuk
benteng ini adalah segi empat. Sayangnya, pada 24 Juni 1669 benteng ini
dikuasai oleh VOC dan kemudian dihancurkan hingga terendam ombak pasang. Di
beberapa bagian terdapat patok-patok beton yang memberi tanda bahwa di bawahnya
terdapat dinding yang belum tergali. Memang, setelah berhasil mengalahkan
pasukan Kerajaan Gowa yang dipimpin Sultan Hasanuddin, Belanda menghancurkan
benteng ini. Selama ratusan tahun, sisa-sisa benteng terbenam di dalam tanah
akibat naiknya sedimentasi dari laut.
Secara arsitektural, begitu
menurut peta dokumen di Museum Makassar, benteng ini berbentuk segi empat
dengan luas total 1.500 hektar. Memanjang 2 kilometer dari barat ke
timur.
Ketinggian dinding benteng
yang terlihat saat ini adalah 2 meter. Tetapi dulu, tinggi dinding sebenarnya
adalah antara 7-8 meter dengan ketebalan 12 kaki atau 3,6 meter. Benteng Somba Opu sekarang
ini berada di dalam kompleks Miniatur Budaya Sulawesi Selatan.
Wisatawan dapat menikmati
bentuk-bentuk rumah tradisional Sulawesi Selatan seperti rumah tradisional
Makassar, Bugis, Toraja, dan Mandar tak jauh dari benteng. Kini, Benteng Somba Opu berupa
reruntuhan. Benteng yang
dulu kokoh dan gagah hanya tinggal kenangan.
Sebagai gantinya, dibangun
saukang yang digunakan untuk tempat berdoa dan pemujaan bagi masyarakat
setempat. Biasanya, tiap warga yang datang memberi sesaji seperti, nasi putih,
nasi merah, atau nasi kuning, ayam bakar, dan bunga. Setelah berdoa, warga
menghabiskan sesaji itu bersama keluarga.
Benteng Somba Opu terletak
di Jl Daeng Tata, Kelurahan Benteng Somba Opu,
Kecamatan Barombong, Kabupaten Gowa. Jaraknya sekitar enam kilometer sebelah
selatan pusat Kota Makassar.
Komentar
Posting Komentar