BENTENG PERTAHANAN TOSORA

Benteng Pertahanan dibuat pada masa pemerintahan La Tenrilai’ Tosengeng. Awal pelaksanaannya setelah diadakan musyawarah antara Arung Matoa La Tenrilai’ dengan penduduk negeri mengenai rencana penyerangan Belanda terhadap Tosora. Beliau mengarahkan penduduk untuk membuat Benteng pertahanan sepanjang kurang lebih 1 kilo meter melintang dari arah Timur kampung Amessangeng ke arah Barat menuju pinggiran danau Seppange (menuju ke Paung). Peperangan melawan Belanda tidaklah berakhir setelah wafatnya La Tenrilai’ Tossengngeng, melainkan perjuangan itu diteruskan karena Belanda tetap ngotot ingin menguasai bumi Tosora dan akan menghancurkannya setelah dihanguskan pada tahun 1670.
Peperangan terus berkobar di bawah pemerintahan La Palili Tomalu Puang Gella, saudara dari Ranreng Betteng pola Topalettei, yang menggantikan Latenrilai’ Tossengngeng yang wafat terkena ledakan mesiunya sendiri.
Tidak lama Lapalili memimpin peperangan, beliau menyerah. Dengan segera beliau bersama Cakkuridi Wajo La Kita Baja selaku delegasi pergi ke Makassar. Pada tanggal 23 Desember 1670 ditanda tangani suatu perjanjian di Benteng Ujungpandang (Fort Rotterdam) antara Wajo dengan kompeni Belanda (VOC). Hadir pada upacara penandatangan tersebut Arung Palakka La Tenritatta dan beberapa raja lainnya. Yang terpenting dalam perjanjian itu ialah:
1.    Wajo berjanji senantiasa setia kepada VOC.
2.    Dalam pemecatan atau pengangkatan seorang Arung Matowa VOC harus memberikan persetujuannya.
3.    Wajo tidak boleh lagi mendirikan benteng-benteng.
4.    Tidak boleh mengadakan hubungan dengan negara-negara asing selain Belanda.
5.    Mengakui perjanjian Bungaya dan membayar upeti kepada VOC sejumlah 52.000 real yang harus dibayar dalam empat angsuran setiap setengah tahun.
Wajo pada saat itu merasa sangat tertindas oleh perjanjian yang telah dibuat Belanda. Dari peperangan tersebut Wajo mengalami cukup penderitaan. Negeri menderita kelaparan. Banyak orang Wajo meninggalkan kampung halamannya dan pergi merantau ke negeri lain seperti Mandar, Luwu, Enrekang, Makassar, Sumbawa, Kalimantan, bahkan sampai Johor.
Sebelas tahun lamanya Tomallu menjadi Arung Matowa beliau mengundurkan diri dan digantikan oleh La Pariwusi Daeng Manyapa Arung Mampu dan Arung Amali. Demikian peperangan terus sampai masa pemerintahan Arung Matowa Wajo La Maddukelleng. Pasukan perang Wajo terus bersiap dibalik Benteng pertahanan menunggu serangan dari Belanda.
Antara tahun  1740 armada Belanda mengangkut tentara dengan maksud mengadakan serangan pembalasan terhadap Wajo. Armada itu dipersenjatai 42 pucuk meriam dan banyak mortir.
Untuk mencegah Belanda langsung menyerang Tosora melalui sungai Walennae, maka pemerintah Wajo memerintahkan penduduk Wajo memperpanjang pembuatan benteng dan penduduk Wanua Sengkang, Tempe, Wage, Ugi, dan Tancung memotong dan mengumpulkan bukang-pukang (semacam tumbuhan liar yang menjalar di air tawar), di danau Tempe untuk dipakai menimbuni muara sungai Walennae masuk ke Tosora dan menyuruh menebang pohon kayu di hilir sungai Tampangeng dalam daerah Sengkang di buang ke sungai Walennae.
Pelaksanaan dari pemerintah tersebut berjalan dengan lancar dan baik. Tentara Belanda yang ingin meyerang Tosora melalui sungai Walennae gagal, karena sungai tertutup bukang-pukang dan batang kayu.
Benteng pertahanan Tosora selama perang berlangsung selalu digunakan, karena Belanda tidak pernah mengurungkan niatnya tidak menyerang Tosora. Kegigihan orang Wajo mempertahankan bumi peraduannya tidak mengenal zaman. Mereka rela berkorban, rela gugur sebagai kusuma bangsa. Di kawasan pemukiman penduduk Tosora sekarang terlihat banyak kuburan kuno yang mempunyai batu nisan cukup besar dan tinggi-tinggi. Itu salah satu bukti sejarah bahwa jika ada raga putra-putra bangsa banyak yang syahid di Tanah Tosora.
Benteng pertahanan saat ini masih kelihatan seperti onggokan pematang yang menjulang mulai arah Timur pinggiran Danau Latemperu sampai ujung Barat pinggiran Sungai Seppang.

Komentar

Postingan Populer