LA MUNGKACE TO UDDAMANG
La Mungkace To Uddamang adalah Arung Matowa ke 11. Beliau
adalah Putra La Cella Ulu Paddanreng Talontareng kira-kira tahun 1567-1607.
Beliau menggantikan Arung Matowa Wajo La Pakkoko Tapabbele, putera dari Puang
Ri Maggalatung.
Sejak kecilnya hingga menjelang dewasa La Mungkace To
Uddamang memperlihatkan ciri-ciri sebagai seorang pemberani dan memiliki sifat
kejujuran. Ia memiliki pengetahuan di bidang pertanian/pananrang serta
mempunyai firasat tajam. Karena itu ia terkenal sebagai seorang yang cakap di
samping sebagai raja beliau seorang cendikiawan.
Semasa awal pemerintahan La Mungkace To Uddamang, pernah
diperintahkan oleh raja Gowa Mungkace Daeng Mammeta pergi ke Gunung Barru untuk
mengangkut tiang-tiang kayu dari sana ke pinggir laut. Tiang-tiang kayu
tersebut akan dipakai untuk mendirikan istana di Tamalate, Ibukota Kerajaan
Gowa.
Oleh karena Arung Matowa La Mungkace merasakan perintah
raja Gowa itu sewenang-wenang, maka beliau mengemukakan hal itu kepada raja
Bone. Raja Bone juga sama sekali tidak senang tentang perlakuan raja Gowa
terhadap Arung Matowa Wajo. Maka beliau mengajak Arung Matowa dan Datuk Soppeng
bersama-sama berangkat ke Barru untuk menemui raja Gowa. Mereka berangkat
dengan membawa senjata-senjata perang yang lengkap ke Barru.
Setibanya di sana Raja Gowa bertanya kepada Raja Bone
“Mengapa mereka bertiga datang ke Barru, sedangkan yang dipanggil hanyalah
orang Wajo?” raja Bone menjawab “bahwa ia bersama Datuk Soppeng membawa orang
Wajo ke Barru, karena orang Wajo takut melintasi negeri yang tidak di diami manusia”.
Setelah itu orang Wajo bersama orang Soppeng pergi ke gunung mengikat kayu dan
menghelanya menuju ke pinggir laut. Sementara menghela kayu ketiganya
menyanyikan lagu serapah. Sewaktu Arung Matowa La Mungkace To Uddamang
menyanyikan lagu, beliau melayamkan tombaknya dan perisainya ditaruh
didepannya. Lagu itu berbunyi:
*Arengkalinga
manekko
Sininna
pattupu batue
Torilalenna
pulue
Penrang
nakarakae
Makkaria daraingi
Giling sama giling
Tea sama tea.
Dengarkanlah
kamu sekalian, engkau semua raja-raja yang berdiam di pegunungan, laksana daun
arosa, daun rotan, dan daun manila. Menderita dan mengeluh, kita bersama-sama
membalik, kita sama-sama tidak mau (menolak).
Setelah mereka melantungkan lagu itu, mereka memutuskan
tali penghela tiang-tiang kayu itu, lalu mereka meninggalkan Barru kembali ke
negerinya masing-masing.
Setiba mereka di Amali (daerah Bone), mereka singgah di
sana mengadakan rapat. Raja Bone berkata:
“Baiklah kita bertemu tujuh hari yang akan datang, supaya
kita serang Cenrana, karena Cenrana adalah negeri Gowa”. Mereka setuju usulan
tersebut. Setelah hari yang ditentukan mereka serang Cenrana dan membumi
hanguskan. Datu luwu pada waktu itu selaku sekutu dari Raja Gowa ada di sana
sempat melarikan diri. Setelah Datu Luwu meningglkan Cenrana, maka Raja Bone,
Arung Matowa dan Puang Lipu Datu Soppeng mengadakan rapat, dimana menyepakati
bertemu lagi untuk mempersatukan negerinya.
Pada hari yang telah ditetapkan mereka bertemu di
Timurung, sebuah kerajaan dahulu dalam daerah Bone. Mereka mengadakan rapat di
sana yang dihadiri oleh rakyat Bone, Wajo, dan Soppeng. Keputusan rapat itu
adalah: Bone, Wajo, dan Soppeng terikat dalam satu persekutuan selaku saudara
kandung, yaitu Bone selaku saudara bungsu. Ketiganya adalah raja Bone La
Tenrirawe Bongkangnge Matinroe Ri Guccina, Arung Matowa Wajo La Mungkace To
Uddamang dan Datu Soppeng La Mappaleppe Patolae Arung Belo. Peristiwa inilah
yang menjadi asala mula kesatuan Tellumpoccoe.
Pada suatu ketika datanglah Raja Gowa ke 13 yang bernama
Tepukaraeng daeng Parabungdatang ke Wajo menemui Arung Matowa La Mungkace To
Uddamang untuk belajar kedamaian, pertanian/panarang, memperpanjang usia dan
tentang Keesaan Tuhan (Dewata Tunggal). Setahun kemudian datang lagi raja Gowa
ke 14 setelah wafat Tepukaraeng Daeng Parabung ke Arung Matowa Wajo dengan
materi ajar yang sama.
La Mungkace To Uddamang memberikan penjalasan bahwa semua
yang ditanyakan pada dasarnya bersumber dari kejujuran. Jujur Dewata Sewwae,
maksudnya tidak semata-mata terhadap semua yang diciptakan-Nya. Bila mana kita
berbuat demikian kita dibenci Dewatae. Jujur terhadap sesama manusia maksudnya
jika kita ditinggalkan oleh sesama kita tidak marahi tapi sebaliknya dimanfaatkan
dan diberikan nasehat agar tidak diulanginya. Berkaitan dengan hal tersebut
bila saya ke medan perang, musuh saya bunuh bila Dewatae menghendaki.
Tentang hasil padi dijelaskan bahwa kita hendaknya
mengetahui nama-nama hari, nama-nama bintang di langit yang dikaitkan keduanya
dengan perhitungan yang merupakan suatu sistem/pananrang. Pada hari penanaman
padi dimohon atas perlindungan Dewatae.
Tentang keesaan Tuhan, dijelaskan bahwa Dewata hanya satu
yang banyak hanya pesuruhnya dan dialah yang menguasai alam semesta ini bersama
isinya. Juga dijelaskan bahwa suatu ketika datang bangsa lain membawa agama
baru (agama Islam) dan melakukan berniaga kegiatan ibadah seperti sembahyang
(maccua-cua ori tau-e) dan hal itu perlu diikuti.
Tidak berapa lama setelah Karaeng Matoaya bersama Somba
meninggalkan Wajo dengan membawa sebuah tongkat warisan dari Arung Matowa, La
Mungkace To Uddamang meninggal dunia dengan gelar Matinroe ri Kannana (Petta
Matinroe ri Kannana). Sebelum meninggal beliau berpesan agar perisainya dibakar
bersama jasadnya, lalu abu mayatnya dimasukkan di balubu dan ditanam bersama
abunya.
Sepeninggal Arung Matowa La Mungkace To Uddamang
kira-kira tahun 1607, beliau meninggalkan pesan-pesan kepada anak cucunya
antara lain pesan beliau adalah:
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
*Makkedai Petta Matinroe ri Kannana:
Iya upoadakko to Wajo. Aja muallupaiwi
pappasenna Piang Ri Maggalatung narekko sappako Arung Matowa, iyapa muala Arung
Matowa malempoe namaccae; apa iya lempue temmassarangngi Dewata Sewae,
lolongeng toi awariningeng enrenge asogirang; Mappasalamak, mappanganro mui
tenri panagnro, mapparapimua tenri parapi.
Artinya: Kata Petta Matinroe Ri Kannana:
Ku beritahukan engkau orang Wajo, bahwa
jangan sekali-kali melupakan pesannya Puang Ri Maggalatung. Yang dapat
dijadikan Arung Matowa orang yang jujur lagi pandai; sebab kejujuran itu dapat
dipisahkan dari pada Dewata dan membawa keberanian serta kekayaan; sebagai
penyelamat, senantiasa memang dan tidak pernah kalah dalam setiap usaha serta
selalu dalam kecukupan.
Komentar
Posting Komentar