LA SALEWANGENG TO TENRIRUWA

Batu Nisan La Salewangeng To Tenriruwa
Arung Matoa Wajo ke 30

La Salewangeng To Tenriruwa adalah seorang keturunan dari La Tadampareng Puang Ri Maggalatung. La Salewangeng merupakan Arung Matowa Wajo ke-30. Beliau pernah menjadi raja di limpo/negeri kampiri (Arung Kampiri). La Salewangeng memperkuat persenjataan Wajo dan mempersiapkan peperangan terhadap Bone dan belanda kira-kira tahun 1715-1736.
Sejak pemerintahan La Salewangeng, beliau bekerja keras untuk memperkuat negerinya ke dalam dengan berbagai cara yaitu memajukan perdagangan, pertanian, penangkapan ikan, peternakan hewan dan teristimewa memperkuat persenjataan dan kekuasaan pemerintahan pusat untuk sanggup melawan musuh dari dalam dan dari luar. Yang ditunjuk oleh La Salewangeng mengurus perdagangan Wajo ialah La Tenri Sessu To Timoe. Dialah yang mengumpul uang dari orang Wajo dan dipinjamkan kepada pedagang. Keuntungan yang diperoleh dibagi antara pedagang dengan kepentingan pemerintah Wajo.
Yang dapat diberi pinjaman hanyalah orang yang mempunyai jaminan. Pada umumnya keuntungan yang diperoleh dipergunakan untuk membeli senjata api dan mesiu. Untuk seluruh Wajo didirikan sebuah gudang senjata. Mesjid Raya Wajo dipindahkan, temboknya ditambal dengan kapur, atapnya diganti dengan atap kayu (ate seppu) dan didirikan sebuah menara.
Di tiap-tiap Limpo yaitu Betengpola, Talotenreng dan Tua, diangkat seorang Akkajengnnangeng (orang yang siderahi tugas mengurus dan mengawasi suatu pekerjaan). Di daerah-daerah bawahan Wajo tiap-tiap Desa diangkat seorang Akkajengnnangeng. Orang Wajo dan penduduk daerah bawahannya diwajibkan menunjuk pemimpin mereka. Waktu itulah permulaan terjadinya banyak kepala-kepala di Wajo. Pada saat itu ditanam padi baik sekali sehingga rakyat berkelebihan tanaman.
Pada waktu, para pedagang di perintahkan agar dalam urusan jual beli dan pinjam meminjam uang harus membuat surat perjanjian yang ditanda tangani oleh orang yang dapat dipercaya. Dan juga para pedagang yang akan berlayar ke luar negeri, diperintahkan bila dalam perjalanan pelayaran terjadi persengketaan secepatnya dilaporkan kepada nahkoda kapal yang bersangkutan untuk diselesaikan secara kekeluargaan. Dan bila sudah tiba di tempat tujuan dan terjadi kesalah pahaman, kiranya melaporkan hal tersebut kepada pemerintah negeri bersangkutan untuk diselesaikan secara damai. Tidak boleh membawa peraturan baru masuk ke negeri orang lain. Wajo tidak boleh membicarakan perkara itu, karena adat persetujuan Wajo mengatakan
KEGI TUO APIE MACAWE MABELA, KUTOITU RI PEDDEI” Artinya dimana api dinyalakan, maka disitu pula dipadamkan. Maksudnya dimana perkara itu terjadi disitu juga perkara itu dibicarakan dan diselesaikan oleh pemerintah setempat.
La Salewangeng jugalah yang memerintahkan penduduk negeri Wajo menggali sungai Toppaccedo’ masuk ke kampung Lece-lecenge Tosora. Selanjutnya memerintahkan membersihkan jalanan perahu masuk ke danau Seppange dan danau Latali Bolong, hingga orang Wajo mudah naik perahu ke Tosora untuk berpasar di sana.
Selama delapan belas tahun memegang pemerintahan, barulah beliau berhasil menjadikan Wajo sebagai negeri yang benar-benar kuat, baik dibidang persenjataan maupun dibidang perekonomian. Wajo sudah merasa cukup sanggup menghadapi Bone jika umpamanya negeri itu mau menyerang Wajo.
Dalam perjalanan hidup La Salewangeng menata dan memimpin penduduk negeri, senantiasa berkobar terus hingga usianya menjelang senja. Apa lagi kesehatannya sering terganggu beliau merasa tidak mampu lagi menghadapi peperangan yang mungkin akan timbul antara Wajo dengan Bone, maka atas permufakatan Arung Ennenge, beliau mengirim surat ke La Maddukeleng Arung Sengkang di tanah pasir, yang di bawah oleh Arung Ta’ yang bernama La Delle. Antara lain isi suratnya:
“Kembalilah ke tanah bugis, nanti Wajo minta ampunkan kamu kepada Raja Bone, dan bila mana Raja Bone tidak mau memanfaatkan dan menyerang dengan kekuataan senjata, maka Wajo bersedia dan sanggup menghadapi Bone, karena sekarang ini Wajo bersama daerah-daerah bawahannya sudah mempunyai banyak senjata api, seperti senapan dan meriam, kuangan dan makanannya pun sudah lebih dari cukup.”
La Maddukelleng memang sudah lama meninggalkan Wajo menuju Kalimantan bersama pengikut-pengikutnya. Beliau meninggalkan Sulawesi karena Raja Bone marah padanya berhubung banyaknya kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat terhadap Bone khususnya dan Tellumpoccoe umumnya.
La Salewangeng wafat dan dimakamkan di Wajo pada tahun 1736. Namanya tetap dikenang oleh orang Wajo. Ia digelar “Petta Lassoe ri Patujunna”. Beliau meninggalkan banyak fatwa dan nasehat-nasehat yang bernilai tinggi. Antara lain nasehatnya adalah:
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
*Makkedai Petta La Salewangeng To Tenriruwa:
Eppai tanranna tauwe namacca,
Sewwani – malempue namatette,
Madduwanna – makuraccai-i,
Metelluna – maradde’i rigau sitinajae,
Maeppana – makurang pau-pauwi ripadanna tau.
Artinya: Kata Petta La Salewangeng To Tenriruwa:
Empat tandanya orang pintar:
1.    Jujur dan tegas,
2.    Jarang ia marah,
3.    Selalu berbuat pantas,
4.    Kurang bicara terhadap  orang lain.

Komentar

Postingan Populer