LA SALEWANGENG TO TENRIRUWA
Batu Nisan La Salewangeng To
Tenriruwa
Arung Matoa Wajo ke 30
Sejak pemerintahan La Salewangeng, beliau bekerja keras
untuk memperkuat negerinya ke dalam dengan berbagai cara yaitu memajukan
perdagangan, pertanian, penangkapan ikan, peternakan hewan dan teristimewa
memperkuat persenjataan dan kekuasaan pemerintahan pusat untuk sanggup melawan
musuh dari dalam dan dari luar. Yang ditunjuk oleh La Salewangeng mengurus
perdagangan Wajo ialah La Tenri Sessu To Timoe. Dialah yang mengumpul uang dari
orang Wajo dan dipinjamkan kepada pedagang. Keuntungan yang diperoleh dibagi
antara pedagang dengan kepentingan pemerintah Wajo.
Yang dapat diberi pinjaman hanyalah orang yang mempunyai
jaminan. Pada umumnya keuntungan yang diperoleh dipergunakan untuk membeli
senjata api dan mesiu. Untuk seluruh Wajo didirikan sebuah gudang senjata.
Mesjid Raya Wajo dipindahkan, temboknya ditambal dengan kapur, atapnya diganti
dengan atap kayu (ate seppu) dan didirikan sebuah menara.
Di tiap-tiap Limpo yaitu Betengpola, Talotenreng dan Tua,
diangkat seorang Akkajengnnangeng (orang yang siderahi tugas mengurus dan
mengawasi suatu pekerjaan). Di daerah-daerah bawahan Wajo tiap-tiap Desa
diangkat seorang Akkajengnnangeng. Orang Wajo dan penduduk daerah bawahannya
diwajibkan menunjuk pemimpin mereka. Waktu itulah permulaan terjadinya banyak
kepala-kepala di Wajo. Pada saat itu ditanam padi baik sekali sehingga rakyat
berkelebihan tanaman.
Pada waktu, para pedagang di perintahkan agar dalam urusan
jual beli dan pinjam meminjam uang harus membuat surat perjanjian yang ditanda
tangani oleh orang yang dapat dipercaya. Dan juga para pedagang yang akan
berlayar ke luar negeri, diperintahkan bila dalam perjalanan pelayaran terjadi
persengketaan secepatnya dilaporkan kepada nahkoda kapal yang bersangkutan
untuk diselesaikan secara kekeluargaan. Dan bila sudah tiba di tempat tujuan
dan terjadi kesalah pahaman, kiranya melaporkan hal tersebut kepada pemerintah
negeri bersangkutan untuk diselesaikan secara damai. Tidak boleh membawa
peraturan baru masuk ke negeri orang lain. Wajo tidak boleh membicarakan
perkara itu, karena adat persetujuan Wajo mengatakan
“KEGI TUO APIE MACAWE MABELA, KUTOITU RI
PEDDEI” Artinya dimana api dinyalakan, maka disitu
pula dipadamkan. Maksudnya dimana perkara itu terjadi disitu juga perkara itu
dibicarakan dan diselesaikan oleh pemerintah setempat.
La Salewangeng jugalah yang memerintahkan penduduk negeri
Wajo menggali sungai Toppaccedo’ masuk ke kampung Lece-lecenge Tosora.
Selanjutnya memerintahkan membersihkan jalanan perahu masuk ke danau Seppange
dan danau Latali Bolong, hingga orang Wajo mudah naik perahu ke Tosora untuk
berpasar di sana.
Selama delapan belas tahun memegang pemerintahan, barulah
beliau berhasil menjadikan Wajo sebagai negeri yang benar-benar kuat, baik dibidang
persenjataan maupun dibidang perekonomian. Wajo sudah merasa cukup sanggup
menghadapi Bone jika umpamanya negeri itu mau menyerang Wajo.
Dalam perjalanan hidup La Salewangeng menata dan memimpin
penduduk negeri, senantiasa berkobar terus hingga usianya menjelang senja. Apa
lagi kesehatannya sering terganggu beliau merasa tidak mampu lagi menghadapi
peperangan yang mungkin akan timbul antara Wajo dengan Bone, maka atas
permufakatan Arung Ennenge, beliau mengirim surat ke La Maddukeleng Arung Sengkang
di tanah pasir, yang di bawah oleh Arung Ta’ yang bernama La Delle. Antara lain
isi suratnya:
“Kembalilah ke tanah bugis, nanti Wajo minta ampunkan
kamu kepada Raja Bone, dan bila mana Raja Bone tidak mau memanfaatkan dan
menyerang dengan kekuataan senjata, maka Wajo bersedia dan sanggup menghadapi
Bone, karena sekarang ini Wajo bersama daerah-daerah bawahannya sudah mempunyai
banyak senjata api, seperti senapan dan meriam, kuangan dan makanannya pun
sudah lebih dari cukup.”
La Maddukelleng memang sudah lama meninggalkan Wajo
menuju Kalimantan bersama pengikut-pengikutnya. Beliau meninggalkan Sulawesi
karena Raja Bone marah padanya berhubung banyaknya kesalahan-kesalahan yang
telah diperbuat terhadap Bone khususnya dan Tellumpoccoe umumnya.
La Salewangeng wafat dan dimakamkan di Wajo pada tahun
1736. Namanya tetap dikenang oleh orang Wajo. Ia digelar “Petta Lassoe ri
Patujunna”. Beliau meninggalkan banyak fatwa dan nasehat-nasehat yang bernilai
tinggi. Antara lain nasehatnya adalah:
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
*Makkedai
Petta La Salewangeng To Tenriruwa:
Eppai
tanranna tauwe namacca,
Sewwani
– malempue namatette,
Madduwanna
– makuraccai-i,
Metelluna
– maradde’i rigau sitinajae,
Maeppana
– makurang pau-pauwi ripadanna tau.
Artinya: Kata Petta La
Salewangeng To Tenriruwa:
Empat tandanya orang
pintar:
1.
Jujur
dan tegas,
2.
Jarang
ia marah,
3.
Selalu
berbuat pantas,
4.
Kurang
bicara terhadap orang lain.
Komentar
Posting Komentar