LA TADDANGPARE PUANG RI MAGGALATUNG
(Foto: KKN Reguler
Gel.82 Desa Tosora Kec.Majauleng)
Sejak kecil La Tadangpare telah menampakkan bakat
istimewa untuk menjadi negarawan dan ahli strategi perang yang sukses. Bakat
itu kemudian tampak menjelang usia dewasa. Sejak kecil hingga menjelang dewasa,
La Tadangpare di besarkan di istana Arung Palakka yang bernama La Tenriampa. La
Tadangpare sangat dimanjakan oleh warga istana, dan sering menggangu
orang-orang Palakka dan membuat keonaran.
La Tadangpare meninggalkan Palakka (Bone) bersama
pengikutnya kurang lebih 300 orang menuju negeri Wajo. Setelah sampai di
perbatasan Bone da Wajo, tibalah disebuah kampung di pinggiran sungai Wallenae.
Di sana ia turun dan membuka pakaiannya (pangali
patolanya) lalu turun ke sungai menghanyutkan pakaiannya dengan mengucpkan
sumpah yang disaksikan Dewata Sewwae,
sumpahnya sebagai berikut:
“RI AWA! ORAI LAUK! MANIANG MANORANG,
SINING LOLO, SINING LUTTU, SINING MAKKAJAE RI LA LENGNA LINOE, UPASAWE
MANENGTOI PUANG NENE MANGKAUKKU ANGKANNA WALIWENGNGE DE RIGOSALINNA
(Pamasareng). LESUGA PANGALIKU NATUDDU SOLO, NALESU GAU MAJAKKU MUTAMA RI WAJO.
APA IYAPA TAU PADECENGI TANA PURA NANGE-NANGEYANGI GAU MAJANA, NAISSENGI MAJA
NACAUKENGNGI ALENA, NAINAPPA NATOBAKENGNGI NASABBIWI DEWATA SEWAE.”
Artinya:
“Tak mungkin pakaian yang kuhanyutkan
dibawa derasnya arus akan kembali dan tak mungkin pula sifat-sifatku yang buruk
itu kembali akan kubawa ke negeri Wajo. Raja yang dapat menjalankan
pemerintahan dengan baik ialah yang pernah berenang-berenang di dalam perbuatan
jahatnya, yang diketahuinya jahat lalu bertaubat dan bersumpah akan
meninggalkannya.”
Kemudia
ia melanjutkan perjalannanya menuju Wajo dan mereka sampai di rumah La
Tiringeng Tobata dengan selamat.
Setibanya
di Wajo, La Tadangpare berkonsultasi denga La Tiringeng Tobata seputar musim
persawahan dan memerintahkan kepada La Tadangpare agar memperingatkan La
Pateddungi To Samallangi yang kesehariannya mengganggu gadis dan wanita yang
sudah bersuami, supaya menghentikan perbuatannya. Kalau sekiranya ia tak menghiraukan
dibunuh lalu dibakar untuk mempersaksikan asabnya di bumi dan di langit. Tugas
itu cukup berat bagi La Tadangpare, akan tetapi demi kepentingan umum, maka ia
laksanakan dengan baik dan bijaksana.
Setelah
dua tahun pemerintahan La Obbi Settiware Arung Matoa ke II (1482-1487),
terjadilah perang antara Wajo dengan Sekkenasu. Orang Wajo dipimpin oleh La
Tadangpare sebagai panglimanya dan dibantu Datu Bola To Suniya (Raja Mawellang
Ballaelo). Karena pihak orang Wajo lebih kuat maka pihak Sekkenasu mengalami
kekalahan. Dalam pertempuran itu La Tadangpare menggunakan sistem bumi hangus,
sehingga asap mengepul-ngepul (mallatung anrena apie). Saat itulah La
Tadangpare digelar Puag Mallalatung yang kemudian menjadi Puang Ri Maggalatung.
Sistem bumi hangus tersebut juga digunakan pada pertempuran ditempat lain.
Dalam
lontarak milik La Tompi Ranreng Bettengpola (1:57) disebutkan bahwa ketika La
Tadangpare Puang Ri Maggalatung menjalankan pemerintahan selama kurang lebih 20
tahun, daerahnya bertambahn luas. Di bagian Utara sampai di Larompong; di
bagian Barat sampai Batu Lappa, Bulu Cenrana, Rappang; di bagaian Timur sampai
Amali, Waktu; di bagian Selatan sampai di Lamuru, Mampu.
La
Tadangpare Puang Ri Maggalatung bersama La Tiringeng To Taba meletakkan dasar
pemerintahan yang bersifat demokratis di Wajo dengan melaksanakan peraturan
atau hukum kejujuran. Selama pemerintahannya hanya empat kali memutuskan bicara
yaitu: bicara bagi para nelayan (pakkaja),
bicara bagi penyadap tuak (passari),
bicara bagi para pedagang (pabbalu),
dan bicara mengenai orang banyak (tau
egae). Hal ini menunjukkan bahwa pada masa lalu orang wajo memiliki
kesadaran hukum yang tinggi seperti seperti yang dijalankan pemerintahan
sekarang.
Selanjutnya
Arung Matoa Wajo ke- IV ini memfungsikan semua pejabat sesuai struktur
pemerintahanyang berlaku. Pejabat pemerintahan terdiri dari; Arung Matoa,
Paddanreng 3 orang, Pilla/Bate Lompo (panglima besar) 3 orang, pembicara 30
orang, dan Suro Palele/Ribateng 3 orang, kesemuanya berjumlah 40 orang dan
disebut Arung Patappuloe.
Atas
kejujurannya di dalam menjalankan hukum dan pemerintahan selama kurang lebih 30
tahun, maka kesejahteraan rakyat wajo amat baik, hasil pertanian melimpah ruah,
ternak berkembang biak dan wilayah kerajaan bertambah luas.
Arung
Matoa La Tadangpare Puang Ri Maggalatung wafat tahun 1528, dan jasadnya dibakar
selanjutnya abunya disimpan dalam balubu dan diperlakukan sebagai Arung Matoa
untuk memutuskan perkara-perkara. Sesuai dengan pesannya bahwa La Paturusi To
Maddualeng yang ditugaskan menentukan kalah menangnya kedua belah pihak yang
bersengketa sesuai arah gerak asap abunya.
Kepergian
La Tadangpare Puang Ri Maggalatung banyak meninggalkan wasiat, fatwa, nasehat
serta kata sulsana yang berharga yang merupakan penjelasan dalam mempergunakan
cara pelaksanaan hukum pidana adat maupun perdata kepada anak cucunya. Antara
lain wasiatnya dalah:
Makkedai
Puang Ri Maggalatung:
“IYAPA MUALA ARUNG MATOA MALEMPUE NA
MACCA, WARANIE NAMALABO. APA IYA TO MALEMPUE IYANARITU TAU MACCA. NAIYA TO
WARANIE IYANARITU TAU MALABO. IYANARITU TAU SOGI. NAIYA TAU BOLAIYANGNGI
SIKUWAERO UPEK ADAE, IYANARITU TAUPAWEKKE TANA.”
Artinya:
Kata Puang Ri Maggalatung:
“yang dapat dijadikan Arung Matoa ialah
yang jujur dan pintar, pemberani itulah orang pemurah dan itu pulalah yang
kaya. Orang yang memiliki watak demikian itu suatu pertanda orang jujur dan
dapat memperbesar daerah/negerinya.
Komentar
Posting Komentar