POHON ASAM LAPADEPPA

Gerbang Masuk Kawasan
Bekas Pohon Asam Lapaddeppa
Pohon Asam Lapadeppa adalah merupakan nama salah satu jenis pohon asam yang tumbuh pada jaman pemerintahan La Tadangpare Puang Ri Maggalatung, yakni sekitar tahun 1498. Pohon Asam Lapadeppa kini tinggal kenangan hanya ada pagar keliling yang menandai bahwa pohon tersebut pernah ada di situ. Pohon Asam Lapadeppa dahulunya memiliki tinggi kurang lebih 20 meter dari permukaan bumi yang berdiameter 4,08 meter dengan kelilingnya 12,80 meter.
Pohon Asam Lapadeppa awal kisahnya adalah, pada masa pemerintahan Arung Matowa Bajo La Tadangpare Puang Ri Maggalatung ketika akan mengadakan musyawarah kampung dalam hal pemutusan persoalan dalam negeri maupun luar negeri. Apapun hasil musyawarah yang telah disepakati merupakan undang-undang pemerintahan yang tidak boleh dilanggar, dan kelak menjadi program pemerintah yang harus ditaati dan dilaksanakan dengan rasa tanggung jawab, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Setelah beberapa keputusan hasil musyawarah yang disepakati bersama antara pemerintah dengan rakyat, Arung Matowa La Tadangpare Puang Ri Maggalatung memerintahkan salah seorang penggawa (paddanreng) membuat sebuah lubang yang kira-kira bergaris tengah 30 cm dengan kedalaman kira-kira 25 cm. Setelah beliau menyimpan sebuah piring keramik (pinceng lebbi) ke dalam lubang tersebut dan sebutir telur ayam. Selanjutnya para Paddanreng bersama sejumlah rakyat yang hadir saat itu berkumpul mengelilingi lubang tersebut. Arung Matowa mengambil sebuah batu lalu berdiri menyatakan sikap membuat suatu perjanjian. Isi perjanjian antara lain berbunyi:
*Nigi-nigi mpelai assisama turuseng, reppai pada toha reppana pinceng lebbi-e naitello engka-e nageppa batu rilalengna galempongnge. Pura ripet tuini makkeda-e, pannennungenni assiddingetta, padatoha assiamenna duwae pong cempa engkae ritaneng ri lalengna lobangng-e.
Artinya: barang siapa menyalahi kata mufakat, maka ia hancur seperti hancurnya piring dan telur tertimpa batu. Dan kalian sudah memutuskan bahwa satukanlah tekad seperti bersatunya dua bibit pohon asam yang di tanam di dalam lubang ini.
Itulah sebabnya pohon asam tersebut dinamai Lapaddeppa artinya tempat memutuskan hasil mufakat yang tidak boleh dilanggar.
Upaya Puang Ri Maggalatung mempersatukan penduduk negeri terlaksana dengan baik tentram dan penuh kedamaian. Segala perkataan, perbuatan, dan tingkah lakunya dijadikan pedoman oleh penduduk negeri karena kesemuanya itu mengarah kepada sifat demokrasi. Dan bahkan beliau menambahkan bahwa siapa saja yang melanggar kata mufakat itu akan mendapatkan kutukan dari Dewata.
Pohon asam menjadi lambang demokrasi kerajaan Wajo pada jaman itu. Karena menurut kepercayaan mereka, asam salah satu jenis tumbuhan yang hidupnya sangat lama, bahkan bisa samapai ratusan atau ribuan tahun. Akarnya yang kuat menopang dahan yang rintang dan pohon yang besar dengan sat kayu yang cukup padat dan keras berkerut-kerut. Aroma buahnya sangat digemari oleh ibu-ibu rumah tangga sebagai bahan ramuan untuk dijadikan bumbu dapur, dan penggunaannya tidak mengenal asal, hingga penyair pernah melantungkan sebaik pantun yang berbunyi “Asam di gunung, ikan di laut akan bertemu di dalam belanga”. Artinya biar bagaimanapun tingginya asam dan biar sejauh manapun ikan di dasar laut akan bertemu juga di suatu tempat. Dalam arti kata biarpun dari berbagai arah manusia saling membutuhkan satu sama lain.
Dari konsep demokrasi ini tertanam jauh sebelum Indonesia merdeka, hingga masa itu Puang Ri Maggalatung mencetuskan sebuah motto yang menjadi lambang Kabupaten Wajo adalah MARADEKA TO WAJOE ADE’NA NAPOPUANG, artinya kemerdekaan orang Wajo adatlah yang dipertuan.

Komentar

Postingan Populer