POHON BAJO

           
            Pohon bajo adalah salah satu jenis pohon yang tumbuh besar dan tinggi di tengah perkampungan. Kawasan perkampungan itu dikelilingi oleh hutan dan diapit oleh danau. Pohon Bajo yang berdaun rindang itu sering ditempati oleh orang-orang zaman itu beristirahat, berkumpul bersama kerabat, saling mengeluarkan pendapat seputar kegiatan sehari-harinya dan keadaan keamanan penduduk negeri, hingga perkampungan tersebut dinamai KAMPOENG TOWAJOE = perkampungan orang Wajo.
Menurut legenda bahwa pohon Bajo itu tumbuh dan besar jauh sebelum Weta’dampali (putri raja Luwu) terdampar di sana. We Ta’Dampali dihanyutkan oleh keluarganya akibat terserang suatu penyakit yang menjijikan berupa penyakit kusta yang akhirnya terdampar di daratan dimana pohon bajo tumbuh.
Di bawah pohon itu awal diadakannya perjanjian antara Batara Wajo I La Tenribali dengan ketiga Paddanreng dan rakyat Wajo. Dari pertemuan La Tenritau, La Tenripekka, dan La Matareng yang digelar sebagai Paddanreng dengan rakyat di Majauleng. Mereka sepakat melantik La Tenribali merung Mataesso dengan gelar Batara Wajo, kemudian nama Boli diubah menjadi Wajo.
Pada pelantikan itu dibuat suatu perjanjian antara La Tenribali disatu pihak dengan ketiga Paddanreng bersama rakyat di lain pihak. Bunyi perjanjian itu adalah sebagai berikut:
*Tapada poarajangngi arajatta; tapolebbirengngi alebbiretta; tasipauju, madeceng rialempurette; napoasenni ade’ marajana arungnge ri lipu tellukajuruna; temmakkulei sirebba ade’; tessipedde’ alebbireng; tessiala mana; tessikajokajo pau; tessikaremo kalobeng; tessi oti’ itello; tessiala bicara; tessiluka taro; tessi welong-welong; tessiwereng mallatetta anu mannessata; tessi akkaleng-akkaleng; tessi jellokeng roppo-roppo; makkeda siateppereng; tessi esa-esa’; tessi liweng-liweng; malilu sipakainge siala painge namadeceng napocappa arumpanna riawa riase”.
Kita menunjukkan kebesaran kita masing-masing; kita jalankan hak-hak dan kekuasaan kita masing-masing; kita menghormati kemuliaan; kita duduk pada kedudukan kita masing-masing; menempati tempat kita masing-masing; memiliki kepunyaan kita sebagaimana yang patut bagi kita semua, kita bersepakat dengan baik atas kejujuran kita; itulah yang dinamai adat besarnya raja-raja di lipu tellukajuru-na; tidak boleh saling merobohkan adat; tidak saling memadamkan kehormatan; tidak saling mengambil pusaka; tidak saling meraba ketanjang ayam masing-masing; tidak saling menangkap ikan dalam empang; tidak saling mengambil telur; tidak saling mengambil bicara; tidak saling merintangi dalam usaha masing-masing; baiknya kita saling mengembalikan barang-barang kita yang jelas kepunyaan kita; jangan saling menyembunyikan sesuatu di dalam hutan; tidak saling menunjukkan kepada semak-semak; berkata dengan dasar mempercayai; jangan saling menggeserkan dan saling melewati; jika di dalam keadaan keliru, baiklah kita saling memperingatkan dan saling mengindahkan peringatan, sehingga akhirnya tercapai suatu keadaan yang baik bagi raja dan rakyat.
Perjanjian tersebut dikenal dengan perjanjian di Majauleng. Sebelum La Tenribali diangkat menjadi Batara Wajo, beliau meletakkan jabatannya selaku Arung Penrang. Dan beliau mengangkat saudaranya menjadi Arung Penrang yang bernama La Tenritippe.
Masih banyak lagi perjanjian lainnya yang dicetuskan di bawah pohon Bajo yang merupakan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan dan berlaku untuk penduduk negeri.
Pohon Bajo yang tumbuh di tengah perkampungan saat itu tidak satupun pohon yang sejenis dengannya. Pohon Bajo yang diceritakan di atas hanyalah kenangan saja, karena wujudnya sekarang sudah tidak ada, yang ada hanya bekasnya. Bekas pohon Bajo tersebut terletak di sebuah dusun yang dinamai dusun Wajo-wajo. Dusun tersebut merupakan bagian dari Desa Tosora yang berlokasi kira-kira 5 km dari ibu kota Desa. Pohon Bajo menjadi lambang kabupaten Wajo. Ditengah lambang tersebut berdiri sebuah pohon yang mempunyai tiga akar tunggang. Diantara akarnya bertuliskan huruf lontarak Bajo, disamping kiri kanan diapit gambar padi dan jagung serta gambar ikan dan kerang. Sebuah pita emas melintang sebagai pengikat dari lambang tersebut yang bertuliskan semboyang MERDEKA TO WAJOE ADE’NA NAPOPUANG.
Lambang kebesaran Wajo diabadikan untuk mengenang sejarah Kerajaan Wajo mulai Batara Wajo hingga Arung Matowa Wajo yang terakhir yang jumlah seluruhnya 48 orang diangkat secara demokrasi.

Tinjauan Pustaka
penelitian dari Mahasiswa KKN angkatan 87 UNHAS,panlok Wajo.

Komentar

Postingan Populer