SEPAK TERJANG LAMADDUKELLENG ARUNG MATOANA TO WAJOE
La
Maddukkelleng, seorang pahlawan Nasional, memiliki sepak terjang yang patut
diperhitungkan. Banyak hikmah dalam catatan sejarahnya, yang bisa dijadikan
pelajaran dalam resah paradigma kepemimpinan sekarang. Sepak terjangnya jarang
diungkap dalam literatur. Bagi penulis, ini dikarenakan kurangnya penulis yang
menyempatkan diri menggali catatan sejarahnya. La Maddukkelleng adalah putera
dari Arung Peneki La Mataesso To Adettia dan We Tenriangka Arung Singkang,
saudara Arung Matowa Wajo La Salewangeng To Tenriua (1713-1737).
Pada
tahun 1713, Raja Bone La Patau Matanna Tikka, mengundang Arung Matowa Wajo La
Salewangeng, untuk menghadiri perayaan pelubangan telinga puterinya. I Wale di
Cenrana salah satu daerah kerajaan Bone. Waktu itu, La Maddukkelleng
dipeintahkan pamannya Arung Matoa la Salewangeng to Tenrirua, ikut serta dengan
tugas memegang tempat sirih Arung Matoa. Sebagai suatu kebiasaan dalam acara
seperti itu, diadakan sabung ayam.
Dan
pada waktu itu, ayam Arung Pone, La Patau Matanna Tikka, kalah. Pengawal tidak
menerima kekalahan itu, dan melempar bangkai ayam yang kalah itu, dan mengenai
Arung Matoa La Salewangeng, sehingga terjadi keributan yang mengakibatkan
jatuhnya korban dari kedua belah pihak. La Maddukkelleng mundur ke Wajo dan
dinyatakan sebagai buronan politik. Tahun 1713, dia bersiap merantau ke Kutai.
Arung Matoa pamannya bertanya, “aga bokongmu?”, (apa bekalmu?). La
Maddukkelleng menjawab, “cappa lila, cappa kawali, cappa katawang,
(ujung lidah, ujung badik/ senjata, ujung kemaluan/ perkawinan).”
***
Lamaddaremmeng Arung Pone 13 menikah dengan Ranreng Tua Wajo
binti Arung Matoa Wajo, melahirkan La Pabbokoe Arung Timurung, Arung ini ingin
menegakan syariat islam secara keras akibatnya terjadi penolakan dari ibundanya
Datu Pattiro. Sehingga dipanggillah dia ke gowa, dan di sinilah awal mulanya
campur tangan kerajaan Gowa terhadap kerajaan Bone. Lamaddaremmeng memperluas
wilayah kerajaan Bone dengan mengambil wilayah Peneki dan Bola dan melanggar
perjanjian Tellumpoccoe, yang salah satu isinya, ....te sioti tello, te
sikajojo kalobeng, te siala mana.... (intinya berarti, tak saling
mengganggu wilayah).
Arung Matoa La I Sigajang to Bunne sepupu satu kali Arung
Palakka menolak itu, sehingga terjadi peperangan antara kerajaan Bone versus
kerajaan Wajo. Pada peperangan itu, Arung Matoa Wajo gugur. Tahun 1660 benteng
Panakukang jatuh ke VOC tanpa perlawanan dari kerajaan Gowa. Hal ini disebabkan
adanya orang dalam, yang dengan senang hati menyerahkan benteng itu ke VOC.
Nanti setelah Arung Palakka bersekutu dengan VOC barulah
perlawanan dari kerajaan Gowa muncul. Pada perang makassar (1667-1669),
kerajaan Wajo berafilisai dengan Gowa, dengan alasan;
1) Kerajaan Gowa lebih menjamin terjaganya wilayah Wajo,
dibanding dengan Bone.
2) Arung Matoa Wajo mempersunting salah satu anak Sultan
Hasanuddin.
Pada perang itu, kerajaan Gowa kalah. Namun Kerajaan Wajo tidak
bersedia menanda tangani perjanjian Bungaya, akibatnya kerajaan Wajo dikepung
oleh pasukan Arung Palakka di Tosora sebagai ibukota kerajaan Wajo. Satu
persatu palili (daerah bawahan) jatuh, kecuali Belawa dan
Gilireng, meski kedua palili ini dalam keadaan kritis. Kerajaan Wajo akhirnya
kalah, meski Arung Matoa Wajo sendiri, tidak pernah mengaku kalah.
Akibat hancurnya Benteng Tosora (1669), banyak rakyat merantau
ke beberapa daerah, termasuk Samarinda, di bawah Lamohang Daeng Mangkona
sebagai pemimpin imigran Wajo di Samarinda (dalam sejarah, Lamohang Daeng
Mangkona disebut sebagai pendiri Samarinda). Pasca kekalahan, kerajaan Wajo
menderita kemiskinan sampai Arung Matoa Wajo ke 30, La Salewangeng to Tenriruwa
memerintah. Penguatan ekonomi di mulai, dengan model koperasi.
Namun, belum sempat memulihkan kedudukan Wajo sebagai salah satu
kerajaan di Sulawesi. Oleh karena itulah, dia digelari Petta Mpelangi
Pattujunna, (raja yang meninggalkan harapannya). Untuk mengatasi dan memulihkan
hal itu, diutuslah Arung Ta La Dalle, untuk meminta Petta La Maddukkelleng
kembali ke Wajo yang saat itu berada di Pasir. Setelah menerima surat itu Petta
La Maddukkelleng kembali dari pasir bersama pasukan Gorae, pasukan
elitnya (sejenis pasukan bajak laut). Sebelum mendarat di Doping, pasukan Gorae
melewati perairan Mandar dan Pangkep, dan membakar pos-pos pertahanan terluar
Belanda di sana.
Kemudian masuk ke Somba Opu bertemu Karaeng Bonto Langkasa, dan
menyusun rencana perlawanan. Bersekutulah La Maddukkelleng, dengan Karaeng
Bonto langkasa, serta Arung Kaju Lapassompereng. Berita kedatangan La
Maddukkelleng terdengar oleh Batari Toja (Raja Bone waktu itu yang pro VOC,
meski suaminya anti VOC). Itulah sebabnya. ketika La Maddukkelleng masuk ke
Wajo melalui perairan Doping dia bersama pasukannya dikepung di daratan oleh
pasukan gabungan Tellumpoccoe (Bone, Wajo, Soppeng) yang tidak sepaham politik
terutama dalam melihat kedudukan VOC.
Namun, dengan modal cappa’ lila (kemampuan
lobi), La Maddukkelleng berhasil mendarat di Doping, dan menziarahi kubur Petta
Cinnong Tabi, dan berjalan ke Paria. Petta La Maddukkelleng kemudian dilantik
sebagai Arung Matoa Wajo di Paria, dan melanjutkan perjalanan ke Tosora, dan
menyusun kekuatan baru. Berkat lobi pula, pasukan Tellumpocce yang berasal dari
kerajaan Wajo yang mulanya ingin menyerang La Maddukkelleng, akhirnya berbalik
mendukung.
Ketika La Maddukkelleng di Tosora, kerajaan Wajo dikepung oleh
VOC, dan sekutunya termasuk kerajaan Bone, dan kerajaan Soppeng, dan terjadi
beberapa kali pertempuran. Namun, di bawah pimpinan La Maddukkelleng, Wajo
berhasil menduduki sampai di Palakka. Batari Toja (Arung Pone), bahkan
mengungsi ke Makassar. La Maddukkelleng kemudian melakukan lobi kepada pihak
kerajaan Bone, meminta kembali rampasan perang ketika Tosora awalnya kalah.
Setelah itu, La Maddukkelleng meminta sepupunya, La Sangaji Daeng Lebbi
(Ranreng Benteng Pola), untuk kembali ke wajo menjaga ibukota (Tosora),
sedangkan La Maddukkelleng melanjutkan ke Makassar untuk menyerang posisi VOC
di sana. Bersama Karaeng Bonto Langkasa Karaeng To Mabbicara Butta Gowa, La
Maddukkelleng menyerang VOC.
Namun Karaeng Bonto Langkasa gugur dalam penyerangan itu yang
berakibat La Maddukkelleng mundur, dan kembali ke Wajo. Serangan itu bisa
dikatakan gagal. Hal lain yang mengganggu konsentrasi perang, La Oddang sultan
Fakhruddin sepupu dari Batari Toja waktu itu, mengambil pusaka Bone dan Soppeng,
dengan tujuan menjadi Arung Pone dan Soppeng. Sesampai di Wajo, Petta La
Maddukkelleng tidak berhenti dan berniat menyerang kerajaan Sidenreng, dengan
alasana kerajaan Sidenreng juga bersekutu dengan VOC.
Namun kebijakan penyerangan itu tidak disepakati La Pallawagau
Pilla Wajo yang merupakan salah satu pemimpin pasukan ketika menyerang Bone dan
berhasil masuk ibu kota bone, dengan alasan La Wawo Addatuang Sidenreng adalah
ipar Pilla Wajo. Terjadilah konflik internal di kerajaan Wajo, pandangan Pilla
Wajo itu, oleh La Maddukkelleng, dinilai sebagai bentuk persekutuan dengan VOC.
Di sinilah pertunjukan demokrasi di Wajo terlihat. Artinya, meski La
Maddukkelleng yang dikatakan penolong, pahlawan yang berhasil mengalahkan Bone
dan berani menyerang VOC, namun tidak berarti semua kebijaannya bisa dilaksakan
semaunya.
La Maddukkelleng juga memperlihatkan ketegasannya, tidak mau
menerima pendapat Pilla Wajo meski, penyerangan ke Sidenreng tidak dilakukan.
bahkan dalam salah satu versi lontara dalam buku Cronic Van Wajo dikatakan,
petta La Maddukkelleng tidak mau menemui Pilla Wajo. Dan akhirnya La
Maddukkelleng, mengundurkan diri sebagai Arung matoa dan mengatakan, “rakyat
melantik saya sebagai Arung Matoa pada saat perang dan kini, saya kemalikan
pula tahta ini pada saat perang.” Sampai di sini, penulis akan mengungkap
sedikit hikmah yang dapat diambil sebagai pelajaran dari sepak terjang La
Maddukkelleng. Kenapa?,
1) Secara pribadi, penulis terkait secara geografis dengan
daerah yang disebutkan.
2) Kurangnya review secara historis mengenai pahlawan yang
tercatat, khususnya di daerah Sulawesi Selatan.
3) Harapan akan lahirnya inspirasi baru dari sosok seorang
pahlawan.
- Nasionalisme. Nasionalisme sebagai kecintaan akan tanah air
ditunjukan dengan nyata oleh La Maddukkelleng. Posisinya di Pasir sebagai
suami Raja Pasir waktu itu, rela ditinggalkan.
- Keberanian. Keberanian La Maddukkelleng, bukan hanya seperti
ungkapan bekalnya ketika hendak merantau ke Kutai. Bukan pula hanya
keberaniannya melawan VOC, dan kerajaan Bone. Namun, keberaniannya membela
martabat kerajaan ketika kisruh acara sabung ayam ditunjukan, meski
beberapa literatur sejarah mncatat waktu itu, beliau baru sembuh dari proses
khitan.
- Kekuatan Lobi. Bukanlah sebuah jaminan, bahwa kekuatan fisik,
keberanian, dan kemampuan berperang, seorang akan mencapai tujuannya. Hal
ini beberapa kali ditujukan oleh La Maddukkelleng. Kelihaian dalam lobi
dalam bentuk dialog dan tawar menawar, menjadi salah satu kunci sukses La
Maddukkelleng.
- Demokratis. Sifat inilah yang paling penulis saluti. Posisinya
sebagai Arung Matoa Wajo, keberanian, dan kepahlawannaya, tidak serta
merta menjadikannya sebagai Arung Matoa otoriter. Saran dari seorang pilla sekalipun
ia dengarkan, meski La Maddukkelleng tahu bahwa saran tersebut, berasal
dari perasaan nepotisme pilla yang kuat terhadap iparnya.
La Maddukkelleng bisa saja bersikeras dengan pendapatnya untuk menyerang
Kerajaan Sidenreng, namun dia ingin menghargai tatanan demokrasi yang
telah tertanam dari Arung Matoa pendahulunya.
Semoga
bermanfaat.
Glosarium:
1.
Arung: Penguasa Datu: Gelar Raja (wilayah daerah
tua)
2.
Arung Matoa: gelar raja wajo
3.
Pilla: Panglima perang
4.
Petta: Tuan
5.
Addatuang: Gelar Raja Sidenreng
6.
Karaeng: Gelar Penguasa di Makassar
7.
Ranreng: Pejabat Distrik yang Mengawasi Arung Matoa
8.
VOC: Verenigde Oost Indische Compagnie. Persekutuan dagang Hindia
Belanda pada abad XVII
*Gelar dalam
kebangsawanan Bugis-Makassar, disertai dengan nama daerah kekuasaannya.
Sumber:
1.
J. NorDuyn, Cronic Van Wajo
3.
Wawancara dengan Budayawan Wajo Andi Rahmat Munawwar (10
November 2012)
Komentar
Posting Komentar