KONDISI NYATA DI WILAYAH SULAWESI DAN TANAH JAJAHANNYA
Sumber: Indische Gids, jilid I, tahun 1883
KONDISI NYATA DI WILAYAH SULAWESI
DAN TANAH JAJAHANNYA
Oleh P.J. Kooreman
Kontrolir klas-1
pemerintahan luar Jawa dan Madura
Baik di sini maupun di Hindia mungkin tidak ada persoalan yang begitu
sering dibicarakan dan sangat berbeda diselesaikan seperti ini: sejauh mana
pembuat kebijakan kolonial harus mempertimbangkan kebiasaan, aturan dan adat
dari penduduk pribumi? Mayoritas yang kecil tidak selalu berpikir bahwa
penduduk cukup beruntung dan puas dengan adatnya dan harus dianggap sangat
meragukan apakah mereka melalui peradaban yang biasa disebutkan di Barat lebih
beruntung dan lebih puas. Menurut pendapatnya diperlukan untuk sebanyak mungkin
memahami kebiasaan lama ini.
Terhadap hal itu mayoritas
memiliki dugaan bahwa adat menjadi penghambat yang merintangi pembuat hukum
kolonial dalam karya peradabannya, dan dengan demikian semakin awal semakin
perlu diperbaiki. Selama pembuat kebijakan ini tidak mau mengatur semua
persoalan ini, biarkan orang-orang itu hidup dengan aturannya sendiri namun
segera setelah dia memandang perlu atau terdesak, dia baru membuat aturan yang
jujur dan dia tidak membiarkan adat, yang juga berarti melaksanakan
kewajibannya; semua secepatnya bertumpu pada aturan Barat. Pandangan orang lain
tidak bisa lebih tepat diungkapkan daripada Profesor Van der Lith tentang
lembaga hukum yang muncul dalam edisi Agustus de Gids, seperti yang nampak dari generalisasi:”Lembaga hanya bisa
memperoleh pijakan kuat pada penduduk, ketika merupakan wujud dari keyakinan
yang bisa disamakan dengan perkembangannya dan dimasukan bagaikan darah dan
nadi melalui proses sejarah” (172).
Mereka menghendaki agar pada setiap pengaturan adat
yang ada terlepas dari semua sisi tajam yang akan membantah pengertian moral
yang diakui digunakan sebagai dasar dan
peraturan yang dibuat atas dasar hanya akan dirubah, diperluas atau
diperbaharui semuanya, ketika mayoritas penduduk pribumi melalui pengaruh kita
dan di bawah kepemimpinan kita dikembangkan sampai tahap yang lebih tinggi,
sehingga memerlukan perubahan, perluasan atau penghapusan sama sekali adat
lama. Pihak keempat (yang terbukti tidak begitu berpengaruh karena bagi Hindia
masa pengaturan nampaknya telah selesai)
mengakui bahwa pengaturan adat (apakah dirubah atau dihapuskan sama
sekali) bisa berarti perubahan. Menurut
pendapatnya proses peradaban besar harus dicegah, dihambat, oleh setiap
peraturan karena bersifat mengikat baik bagi mereka yang diperintah maupun bagi
para pejabat yang ditugasi untuk melaksanakan, mengawasi atau mempertahankan.
Jadi hanya bisa diatur meskipun ini baru bagi orang pribumi dan tidak ada
benturan yang bisa muncul dengan adat yang ada; selanjutnya adat ini diarahkan
sehingga setelah jangka waktu lama atau singkat mengarah pada kecocokan bagi
pengaturan atas dasar Barat. Pihak yang lemah menerima bahwa pencarian dan
penemuan bekas ini merupakan kewajiban utama, tugas utama pemerintah.
Akhirnya masih ada
pendapat kelima dan yang lebih baik
tidak memberikan pendapat, setidaknya tidak menerima pendapat. Saya teloah
sering membela empat pendapat pertama itu (yang kelima hanya terdengar secara
diam-diam) dengan danj tanpa bakat dan
menyerang melalui orang-orang yang berstatus dan berpangkat tinggi, sehingga
mereka segera nampak ketika saya mengetahui Lembaran Negara tahun 1882 nomer 22
yang memuat peraturan dalam tata hukum di wilayah Sulawesi Selatan dan tanah
Jajahannya, dan saya sendiri mengajukan
pertanyaan: bagaimana pemerintah pada umumnya berpikir dan khususnya mengenai
pembagian hukum atas adat, kebiasaan dan peraturan penduduk wilayah Sulawesi
Selatan, orang Makasar dan Bugis? Jawaban saya terdiri adas perpaduan unik dari
lima pandangan yang diuraikan di sini, yang saya setujui (173) untuk mulai
mencurigai kesan tinggal selama lebih dari sembilan setengah tahun di antara
orang Makasar dan Bugis.
Setelah siap, saya
memutuskan untuk mengungkapkan apa yang
bisa saya ingat telah dilihat, didengar dan dinyatakan tentang berbagai
pandangan pemerintahan umum atas wilayah
ini agar setiap orang mengajukan
kepentingan ini dalam koloni kita, bisa menjawab pertanyaan di atas, dan juga
berada dalam kaitan ini; apakah dari semua lembaga di wilayah Sulawesi Selatan
dan Sekitarnya tata hukum sangat memerlukan peraturan yang sama sekali baru? Tulisan
saya akan dibagi dalam bab-bab berikut ini: pemerintahan, pajak termasuk kerja
wajib dan peradilan oleh pengadilan agama, pembagian hukum dan keamanan, dinas
kesehatan, peternakan dan sarana komunikasi. Mengenai hal-hal yang ditetapkan
dalam Lembaran Negara, saya juga perlu menunjukan namun tujuan utama saya
adalah menuliskan selengkap mungkin bagaimana kenyataannya pemerintahan
dikelola, pajak dipungut dan dengan cara apa pemungutan dilakukan.
1. Pemerintahan
Setiap orang yang mengetahui kondisi di wilayah Sulawesi Selatan dan
Sekitarnya, beberapa saat tinggi di antara penduduk segera akan mengetahui
bahwa sejumlah besar warga disebut dengan istilah Karaeng (tuan, raja) oleh
orang Makasar dan Arung (tuan, raja)
oleh orang Bugis, gelar resmi yang hanya diberikan kepada para bupati. Dalam
perjalanan melalui 0nderafdeling Bangkala dan Binamu misalnya orang bukan hanya
menemukan Karaeng Bangkala dan Karaeng Binamu (bupati Bangkala dan Binamu),
namun juga dengan Karaeng Palingu, Karaeng Tanatowa, Karaeng Nassara, Karaeng
Garasikang (semuanya di Bangkala), Karaeng Tonro, Karaeng Tolo, Karaeng
Bontoramba, Karaeng Sidenreng, Karaeng Empoang (semuanya di Binamu), dan dengan
sejumlah orang yang tidak lagi disebut Karaeng.
Jika orang mengadakan
penelitian atas posisi semua Karaeng ini, maka akan diketahui bahwa Karaeng (mereka yang tidak lagi disebut
demikian) sama sekali tidak memiliki kekuasaan yang diakui dan hanya menyandang gelar itu (174), karena
mereka adalah anakaraeng (keturunannya) yang berdarah biru, dan para
kepala tersebut berasal dari Tanatowa, Nasara, Garasikang, Palingu, Tonro,
Tolo, Bontoramba, Sidenreng dan Empoang. (174) Jika orang membandingkan luas
wilayah dan jumlah para kepala bawahan dengan jumlah para kepala lain dengan
gelar rendahan Janang, Matowa, Gala atau
Galarang, Macoa, Pungawa dsb. maka
terbukti terlalu sering seorang pimpinan
disebut Karaeng atau Arung
dan pimpinan atas kampung yang
berpenduduk padat dan sedikit disebut Janang,
Matowa dsb. Misalnya kepala kampung
kecil Tonrowa (daerah Karaeng Tanatowa secara resmi tidak lagi diakui. Atas
kampung-kampung yang dulu ada oleh pemerintah para kepala adat diangkat seperti
Janang Tonrowa, Janang Bulu Bulu, Tautuwa Palagong. Namun para kepala ini tetap
masih selalu menyebut Janang Tonrowa sebagai Karaeng Banatowa sehingga Karaeng
Tanatowa ternyata masih ada), Karaeng Tanatowa dan para kepala kampung yang
jauh lebih besar dan makmur disebut Malasoro, Janang. Di Bulukumba orang akan
menyebut bupati Gantarang dari seorang bawahannya (kepala kampung kecil
Nyampa) dengan Aru Matowa, yakni Arung
tertua atau yang pertama, sebuah gelar yang sama seperti raja Wajo.
Jika orang bertanya kepada
orang pribumi siapa penyandang gelar asing ini, maka mereka akan menjawab: para
kepala yang kami sebut Arung atau
Karaeng yang memiliki pusaka, perhiasan,
dahulu mereka mandiri namun sekarang
mereka tunduk kepada bupati. Semua yang lain
selalu tunduk kepada Karaeng. Di semua kabupaten baik Bugis maupun
Makasar di wilayah pemerintah memiliki sebutan yang sama dan di sana semua
kabupaten ini dalam Almanak Pemerintah disebut tidak dalam distrik, jadi
merupakan tanggapan pertama yang dibuat tentang ini. Dahulu setiap kabupaten
terdiri atas beberapa kerajaan merdeka, yang ditundukan oleh para leluhur bupati
sekarang dan digabungkan dengan wilayahnya. Para raja yang dahulu otonom kini
menjadi kepala kampung dan semua sifat otonomi mereka masih ada, gelar dan
perhiasan serta pusaka mereka juga demikian.
Selain sejumlah besar Karaeng dan Arung perhatian khususnya dicurahkan pada peran besar yang
dimainkan oleh pusaka-pusaka dalam kehidupan orang Bugis dan Makasar. Jika
orang mengunjungi para bupati atau para kepala dengan gelar Karaeng atau Arung maka orang akan selalu mendengar istilah rumah pusaka bagi rumah mereka (di Makasar
Balla Kalompowang, di Bugis Bola rajae) dan tidak pernah rumah bupati atau
rumah Karaeng (175), dan jika orang
memasuki rumah ini maka orang akan
melihat kamar atau rumah mini dari bambu yang disambung, biasanya dekat
dengan tonggak utama (yang nampak karya potongan atau ukiran), digantungi
dengan tirai katun berwarna-warni. Di kamar atau rumah ini ditemukan pusaka
atau perhiasan. Jika orang meminta agar bisa masuk lebih dalam, maka hampir
pasti selalu akan ditolak. Namun kami akan menduga bahwa kita diijinkan.
Beberapa wanita tua, ulama
pinati namanya, mendahului kita dan
di tangga melantunkan lagu dengan suara parau dan satu nada. Segera setelah
kita ke atas, mereka memukul gong (canang logam) dan ganrang (semacam
gendang) sambil meneruskan lagunya dan
menaburi kita serta seluruh kamar dengan beras yang dibakar. Mereka bisa
mengucapkan selamat apabila tinggal di sana dan mereka akan melumkurkan semacam minyak pada wajah terutama di dahi. Apa yang kini
terlihat di kamar itu? Pertama-tama di bale-bale (semacam meja) sebuah tikar
atau peti yang ditutup rapi dengan sarung. Pada tikar ini sebuah dupa dibakar,
dan beberapa kanjoli (sejenis lilin) menyala. Dengan sinar redup dari lilin ini
orang membuka sejumlah tombak, keris, badik (semacam senjata penikam pendek),
sebuah senapan, perisai, baju rante (semacam baju perang), pelindung
matahari, kotak sirih dengan penutupnya;
selanjutnya berbagai peralatan rumahtangga seperti pot, lembaran tembaga (bakara), akhirnya beberapa kotak
tembaga, satu dengan beras yang dimasak, yang lain dengan daun sirih dan
lauk-pauk lain untuk mengunyah sirih. Semua ini nampak digelar di atas tanah,
atau digantungkan di dinding. Mereka akan bertaka kepada kita bahwa semua benda
ini adalah pusaka dan Anda boleh melihatnya, memegangnya. Namun jika Anda
meminta untuk bisa melihat apa yang berada dalam keranjang atau peti di
bale-bale, maka orang akan jelas
menolaknya, dengan tegas berkata bahwa semua yang melihatnya akan mengalami
bencana besar yang berakibat pada kematian dan secepat mungkin akan
memerosotkan kedudukan orang (kunjungan yang digambarkan di sini menyangkut
pusaka Galesong, Polombangkeng, Bontain dan Bulukumba lama. Dalam kunjungan
pada pusaka Karaeng dan Arung yang lebih rendah, lebih sedikit bentuk yang
dijumpai. Hanya disertai oleh seorang pinati,
orang akan melihat jumlah pusaka yang lebih kecil dan kanjoli yang lebih sedikit, bahkan kadang-kadang tidak ada dupa
yang dibakar – penyebab utamanya adalah rasa hormat yang dalam, penghormatan
terhadap pusaka di mana-mana tetap sama). Dalam kesempatan lain akan
disampaikan (176) bahwa kalangan ulama (pinati)
pada saat tertentu akan menyediakan nasi dan sirih bagi semua pusaka ini,
menusukan kanjoli, membakar dupa dan
menyanyikan lagu yang isinya merupakan pujian pada kekuatan dan kebesaran
pusaka.
Mungkin Anda telah singgah
dalam perjalanan ke tempat di mana wabah melanda manusia atau ternak,
menggagalkan panen di sebuah tempat, pendeknya di mana bencana alam mengancam.
Dalam kasus itu Anda juga bisa melihat bahwa pusaka nini dibawa oleh sejumlah
besar warga dengan bupati sebagai pimpinannya dan dengan arak-arakan keluar
rumah pusaka, dengan darah kerbau yang baru saja dipotong dilumurkan dan
setelah itu dibawa keliling. Atas pertanyaan Anda mengapa semua ini terjadi,
biasanya orang akan menjawab: untuk menolak roh-roh jahat, yang bisa membaca bencana umum; kadang-kadang
juga bencana ini merupakan akibat
pelanggaran pusaka dan orang mencoba menenangkan kemarahannya melalui sesaji
dan penghormatan. Semua kebiasaan aneh ini jelas menarik perhatian kita di
antara penduduk Islam; Anda akan mencoba lebih memahaminya. Mungkin Anda bisa
menemui bupati Sulawesi Selatan yang paling fanatik, yakni dari Bulukumba lama.
Dia akan menerangkan
kepada Anda semuanya, bahwa juga olehnya, kawulanya dan di rumah pusakanya
semua kebiasaan ini masih tetap diikuti. Sementara Anda duduk berbicara
dengannya, masuk seseorang yang akan bertanya kepada bupati atau seorang
pengikutnya apakah dia bisa mengambil sumpah di depan pusaka itu. Dia pasti
akan mengijinkan. Dengan didampingi seorang pinati
dia akan naik dan dia tinggal sebentar dengan sikap menghormat duduk di dekat
pusaka. Dia mengucapkan janji kepada pinati,
yang mendengarkannya di dekat keranjang atau peti dan tanpa membukanya. Setelah itu dia
kembali; dia telah mengambil sumpah, biasanya berbunyi berikut ini: apabila
istri saya melahirkan seorang putra, apabila istriku, anakku, menjadi ayah atau
ibu yang baik, aku akan memenuhi sumpahku dengan memotong ayam, kambing atau kerbau.
Sebelum bupati
menyampaikan pernyataannya kepada Anda bahwa janji demikian akan semakin
ditaati, suatu sumpah yang dibuat pada pusaka ini memiliki nilai lebih besar
daripada sumpah atas Al-Quran, kembali seseorang masuk dengan seekor ayam hidup
di tangan. Dia berkata bahwa dia akan memenuhi janjinya. Pinati mengambil ayam itu, memotongnya dan menyerahkannya kepada
pusaka. (177) Ahirnya Anda masih akan mengetahui informasi berikut ini tentang
pusaka dari para bupati lain. Siapapun yang melawan perintah yang diberikan
oleh pemilik pusaka ini akan menderita kehilangan kesuburan tanahnya. Jika
penolakan itu benar-benar terjadi, maka sebelum penerapan kekuasaan
pemerintah mereka yang membangkang
menjadi budak puswaka atau ata
kalompowang (kadang-kadang bersama keluarga dan kerabat dekatnya). Para
budak wanita yang dipaksa oleh majikannya untuk memenuhi nafsunya dan diletakan
di bawah pusaka akan menjadi budak wanita pusaka sehingga majikannya tidak lagi
berhak kepadanya.
Sawah padi mereka yang
tanpa ahli waris meninggal, dikembalikan kepada pusaka dan segera setelah kolam
pembibitan sawah padi pusaka ini disiangi, tidak ada lagi reklame padi yang
disiapkan. Ketika pusaka itu diangkut, setiap orang yang mengetahui atau
melihatnya dipikul, wajib untuk bergabung dalam rombongan itu. Apabila Anda
melihat dan mendengar tentang pusaka, mungkin lebih jauh lagi daripada yang
disebutkan di sini, buatlah jawaban kedua, yakni: orang Bugis dan Makasar
adalah penganut Islam yang biasa. Mereka bukan penganut agama taat karena
mereka menghormati pusakanya. Tanggapan pertama Anda sepenuhnya tidak benar;
tanggapan kedua yang benar.
Kerajaan kecil tidak
ditaklukan oleh para leluhur bupati sekarang dan digabungkan dalam wilayahnya,
karena mereka masih ada dan tidak hanya namanya. Orang Makasar dan Bugis benar-benar menghormati pusaka mereka jauh
melebihi Allah dan NabiNya. Marilah kita mencoba untuk menunjukan sejelas
mungkin. Menurut cerita rakyat wilayah yang kini dikuasai oleh raja-raja Bugis
dan Makasar besar dan kecil serta daerah pemerintah sekarang ini pada masa lalu
dibagi dalam sejumlah besar kerajaan merdeka yang semuanya beridiri sendiri dan
memiliki sejarahnya sendiri. Petunjuk
itu tidak mengatakan bahwa semua
kerajaan ini telah ada ketika penduduk meninggalkan kehidupan suku nomaden, dan
tempat tinggal tetap mulai dipilih karena orang-orang Makasar dan Bugis dahulu
hidup dalam suku, jelas dari kebiasaan yang ada nampak di mana saya kemudian
akan mencurahkan perhatian pada pembahasan hukum perkawinan dan waris. Dengan
cara apa semua kerajaan ini muncul?
(178)Tradisi mengenai
pusaka memberikan jawaban atas pertanyaan ini; kadang-kadang mereka sangat
kacau isinya, namun sekali menghubungkan kemunculoan kerajaan ini dengan
penemuan pusaka (meskipun di sini nampaknya hanya berkaitan dengan lembaga asli
dan tidak pada kerajaan yang muncul kemudian yang didirikan oleh para pangeran
yang melarikan diri. Misalnya Takalar, Soreang, Balo dan pemukiman Bugis Mamuju
di tanah Makasar, serta Kalukuwa atau Segeri sebagai pemukiman Makasar di tanah
Bugis. Pusaka kerajaan-kerajaan ini
selalu disebut kalompowang = kebesaran atau tanda kebesaran, dan terdiri
atas senjata atau perhiasan pendirinya.
Yang menarik adalah bahwa raja-raja Makasar dan Bugis yang memerintah sebagai
despot selalu menghormati kerajaan ini
yang dianggap miniatur dan selalu juga puas sehingga raja-raja ini
mengikutinya, suatu tekanan yang akan kembali dibahas. Kekuasaan pemerintah
sebagian besar mengakhiri sifat otonom raja-raja ini).
Di antara pusaka ini
biasanya bisa dipahami seperti yang ditunjukan dengan namanya, namun siapapun
yang melihat perhiasan meskipun memahami, tidak akan menyebutnya perhiasan di
antara orang-orang Makasar dan Bugis yang kurang beradab. Orang pribumi juga
mnembedakan antara Kalompowang (lompo, besar, jadi kebesaran atau tanda kebesaran), arajang (dari kata Bugis
raja) dan gaukang (dari gau, berbuat atau bertindak). Gaukang adalah sebuah
batu, sepotong kayu, satu buah, secarik kain, sebuah senjata, perisai dalam
bentuk atau warna berbeda, pendeknya sebuah benda asing yang ditemukan secara
rahasia (telah jelas definisi gaukang di atas tidak berasal dari daerah itu,
namun dibuat setelah mendengar dan saling membandingkan beberapa tradisi dan
melihat beberapa benda seperti yang selalu disebut gaukang dan bukan
kalompowang. Gaukang Polombangkeng
disebut Lasikapaya dan tidak berbeda dari sikapa atau buah liar dalam
bentuk khusus. Gaukang Galesong adalah
sebuah batu, yang kurang lebih memiliki bentuk tubuh manusia. Ketika saya
melihat pusaka ini untuk pertama kalinya pada tahun 1873, dari Tanatowa atau Bangkala, saya menduga
telah mengenal kembali sebuah kotak cat lama yang dibelah. Gaukang Bontain yang
biasanya disebut Karaeng Lowe, merupakan sebuah patung emas dengan bagian
kelamin pria yang besar menurut perbandingannya. Saya masih menyampaikan bahwa
hanya ada satu tulang dan mereka berkata
kepada saya bahwa yang lain dicuri sekitar 25 tahun lalu di kantor pribumi di
Makassar, yang sementara ini ditemukan karena bupati Bontain saat itu daeng
Basunu karena membangkang ditangkap. Gaukang Moncongkomba adalah sebuah bendera
yang ditandai dengan gambar naga dan gaukang Gantarangkeke menurut Goudswaard
terdiri atas dua potong batu melalui bentuknya yang menunjukan peninggalan dewa
Siwa). Tempat di mana gaukang itu ditemukan (179) ditunjukan sebagai tempat
bermukim manusia dan gaukang sendiri dianugerahi dengan kekuatan gaib.
Menurut tradisi juga
tempat ini selalu menjadi pusat kerajaan kemudian. Menurut pandangan
tradisional gaukang dan bukan pembuatnya yang menjadi pendiri kampung pertama,
dan gaukang bisa mendatangkan kemakmuran atau bencana, bisa mempercepat atau
memperlambat. Pendeknya gaukang melakukan semuanya sehingga dari namanya
disebut demikian, melakukan tindakan dan juga memerintah masyarakat baru.
Biasanya fantasi ini melukiskan kekuatan gaib, di mana gaukang juga diberi
untuk memenuhi kebutuhan manusia. Jadi orang membangun rumah, rumah pusaka
pertama, kalompowang pertama dan memberikan kepada gaukang semua senjata, peralatan
rumah atau semua kalompowang. Sebagian proses rahasia dan kekuatan gaib gaukang
ini menurut gambaran rakyat dibawa serta oleh kalompowang, di mana beberapa
kisah menunjukan cara rahasia bagaimana gaukang bisa memiliki kalompowang, dan
kesempatan ketika kekuatan gaib gaukang dan kalompowang ditunjukan.
Sebuah benda yang sangat
berharga seperti gaukang memerlukan penjaga atau perawat, dan biasanya untuk
itu dipilih seseorang yang sangat menonjol dalam kasus penemuan gaukang.
Kepadanya diijinkan untuk tinggal di rumah pusaka, di mana sebagian disediakan
bagi gaukang, umumnya ruangan depan. Di bagian ini juga kalompowang disimpan.
Seperti yang disebutkan di sini, gaukang dianggap sebagai pendiri dan pengatur
masyarakat. Status pengatur ini menuntut seorang perantara untuk menyampaikan
keinginan gaukang kepada anggota masyarakat. Juga tugas ini diserahkan kepada
penjaga; darinya perintah dan petunjuk dikeluarkan lewat gaukang, dan dia
ditugasi untuk melaksanakannya. Jadi penjaga harus menjadi kepala duniawi
masyarakat, namun dia mengambil kekuasaannya (dan ini terutama tidak boleh
diabaikan) dari gaukang.
Melalui cara yang sangat
primitif di mana pertanian dikelola dan melalui pertambahan penduduk sebagian
terpaksa pindah. Pada mulanya orang pindah tidak jauh dari tempat di mana
gaukang ditemukan, sehingga sekelompok kampung muncul di sekitarnya yang
seluruhnya saya sebut kampung induk (180). Kemudian orang harus pindah lebih
jauh dari tempat ini dan kampung baru didirikan apakah di tanah yang subur atau
di tanah yang ditunjukan oleh gaukang
sebagai paling cocok untuk dihuni dengan
pemberian tanda lain, kadang-kadang melalui sebuah batu, sepotong kayu, senjata
dsb. Masih ada beberapa orang kepala kampung yang diduga memiliki batu,
potongan kayu atau senjata dan biasanya orang juga menyebut benda-benda ini
kalompowang. Nama aslinya sebaliknya adalah kajanangan, dari janang; kepala yang dihormati, dipilih
dari keturunan pendirinya, dan ikatan yang saling menghubungkan berbagai
kelompok dan dengan kampung induknya, menjadi gaukang atau lebih tepatnya
kepercayaan pada asal-usul gaib dan kekuatan gaibnya.
Semakin banyak kampung
induk dan pemukiman baru yang menyebar, semakin tinggi statusnya, juga semakin
besar jumlah kalompowangnya. Jumlah
senjatanya meningkat, ada sebuah bendera, sebuah perisai, sebuah kotak sirih,
sebuah penutup kotak, sebuah pelindung matahari, peralatan musik seperti gong
(canang perunggu) dan ganrang (sejenis genderang), lembaran piring tembaga dsb.
semua benda ini khususnya menjadi hak milik dan disimpan di ruang gaukang.
Namun dengan ini orang tidak puas; orang membuka lahan dan kebun kalompowang,
di sana-sini ditemukan kolam kalompowang.
Selanjutnya diduga bahwa gaukang seperti hampir setiap orang Makasar dan
Bugis menggemari perburuan. Gaukang
menerima dari tempat perburuan dan hutannya sendiri hadiah, biasanya disebut
ongko. Menurut kata orang di Bone ada timbunan pusaka ini. Akhirnya ada ulama pinati yang diangkat, yang harus menjadi
penjaga dalam merawat gaukang dan segera muncul perbudakan pusaka di mana
mereka diberi status demikian setelah menunjukan pembangkangan terhadap
perintah yang diberikan, atau berarti sama dengan perintah gaukang. Kepada
penjaga ini, kepala duniawi, hanya diberikan hak untuk menggunakan kalompowang.
(181) Sebagai jabatan ini
dipilih salah seorang keturunan dari penemu asli dan biasanya status pimpinan
ini bisa naik seiring seperti gaukang di mana penggunaan kalompowang yang
mendatangkan keuntungan dan penggunaan apapun bensa yang dianugerahi kekuatan gaib
banyak ikut mendukung. Lembaga gaukang tumbuh di mana-mana sampai kerajaan,
kesatuan politik masyarakat Makasar dan Bugis; kepercayaan dan penghirmatan
terhadapnya menunjukan bentuk tertentu, dan keturunan penemu aslinya mengangkat
penjaga menjadi raja, di tanah Makasar dengan gelar Karaeng sementara di Bugis
bergelar Arung. Namun kekuasaan raja
ini bukannya tidak terbatas. Dia mengambil kekuasaannya hanya dari gaukang dan
sebagai penjaga atau raja dia dipilih oleh para kepala penghuni kampung sebagai
pengausa agama. Para kepala ini juga berhak memecat dia.
Kepentingan raja sendiri
juga diperhitungkan dengan keinginan dan harapan para kepala yang melalui cara
pembentukan kelompok kampung ini memiliki ukuran sifat mandiri. Selain itu
segera kebutuhan terasa untuk bersepakat dalam membahas kepentingan umum,
sehingga dewan muncul di mana raja menjadi anggota utama dan para kepala
kelompok kampung sebagai anggotanya. Pertemuan ini, dewan kerajaan atau hadat, seperti yang ditunjukan diadakan
menurut hukum adat. Dengan cara seperti yang diungkapkan di atas, sejumlah
besar kerajaan segera muncul yang semuanya bersumber dan dibatasi dengan
kepercayaan pada gaukang. Tetapi kebanyakan gaukang lenyap dengan perjalanan waktu, sehingga kini
orang harus membantu dengan tradisi dan
keyakinan pada asal-usul gaib dan kekuatan gaib kalompowang. Karena kondisi ini
orang lebih banyak mendengar kalompowang daripada gaukang, dan orang akan
menyamakannya dengan yang lain. Namun di sana-sini pusaka itu masih tetap
tersimpan, dan dalam peti yang disebutkan di atas di mana orang tidak akan
menunjukan isinya, terdapat sebuah gaukang, Lasikapaya dari Polombangkeng.
Pada banyak pembaca
mungkin muncul pertanyaan: apa yang dihormati orang Makasar dan Bugis dalam
gaukang dan kalompowangnya? Jika orang bertanya kepadanya maka biasanya tidak
akan menerima jawaban, atau jawaban kabur: sebuah roh, tanpa petunjuk lain
(182). Namun jika kita melihat dari dekat keyakinan mereka, maka terbukti bahwa
semua nampak aneh atau tidak bisa dijelaskan, diakui dihuni atau dikuasai oleh
roh. Pada kepercayaan terhadap gaukang dan kalompowang ini segera diputuskan
dalam kualu atau jimat; mungkin ini hanya merupakan dampak dari yang lain. Yang
dimaksud kulau adalah sebuah batu atau benda dari batu, yang ditemukan dalam
sarang atau perut hewan seperti ikan, burung, kerbau dsb., kadang-kadang
manusia; sebuah tunas pohon dalam bentuk khusus, juga sebuah kerang, akar pohon
atau batu yang berbentuk atau berwarna aneh, sejenis buah yang dibentuk oleh
penyakit dengan cara khusus, kadang-kadang bentuknya mirip butiran, pendeknya
setiap benda yang ditemukan dengan cara yang sulit dijelaskan di sebuah tempat
seperti akar atau buah di pohon, di mana tidak termasuk di dalam rumah. Setiap
orang pribumi memiliki satu atau beberapa kulau dan selalu membawanya. Menurut
tempat penemuannya, mereka menganggapnya sebagai obat, sarana perlindungan
terhadap penyakit atau nasib malang, tanda keberhasilan. Juga ada kulau yang membuat pemiliknya kebal terhadap semua
senjata, kadang-kadang hanya untuk tombak, keris atau senapan. Yang lain
menimbulkan kegemaran untuk minum, para pemburu rusa terhadap ancaman jatuh
dari kuda, dan nelayan bisa memperoleh hasil tangkapan yang baik, pedagang
memperoleh keuntungan, pencuri menerima hasil yang baik. Seperti pada gaukang
dan kalompowang, kepada kualu dianggap
terdapat kekuatan rahasia, namun dibatasi pada bentuk tertentu, sementara pada
gaukang kekuatan ini bisa muncul dalam semua bentuk dengan berbagai cara.
Meskipun luar biasa,
meskipun tidak bisa dijelaskan, semua ini menjadi bahan kepercayaan bagi orang
Bugis dan Makasar. Sebuah pohon rimbun, pohon yang tumbuh dengan cara khusus
yakni dalam dua batang, yang kembali bersatu pada ketinggian tertentu, atau dua
pohon yang saling disambungkan dan sangat besar, yang disebut pohon magga besar
dekat Takalar dengan banyak sarang ngengat putih pada batangnya, menurut mereka
dianggap sebagai tempat tinggal roh dan orang yakin pada pohon ini ditemukan
sebuah rumah kecil yang mirip dengan rumah penyimpangan gaukang dan sesaji
secara rutin diberikan bagi roh penunggunya. Sebuah pohon rimbun dan besar yang
tumbuh menjadi tempat tinggal roh jahat.
Pada pohon ini tidak ditemukan rumah sesaji, namun ada kebiasaan bahwa
setiap orang yang lewat harus berhenti
beberapa jarak (183) untuk melemparkan sebuah batu kepada pohon itu. Di
sana-sini orang melihat pohon yang hampir tenggelam di bawah batu-batu yang
menumpuk seperti di Bangkata; namun tidak ada orang lewat yang lupa untuk
melemparkan batu itu.
Tentang apa yang dikatakan
mengenai pohon ini juga berlaku tentang batu berukuran besar dan puncak gunung
dalam bentuk yang khusus. Kisah-kisah menakutkan bisa diketahui tentang roh dan
ular penunggu yang selalu menghuni puncak gunung Sinalu (Bangkala) yang bentuknya
sangat unik, dan di daerah yang kaya goa ini orang percaya bahwa masing-masing
merupakan tempat tinggal roh, kadang-kadang roh dari pangeran masa lalu, tempat
berbahaya bagi para pelaut seperti beberapa penebangan merupakian tempat
tinggal roh jahat dan yang sangat menarik adalah kebiasaan untuk menyumpahi roh
di atas geladak perahu serta membawa serta ayam dengan warna tertentu. Yang
lebih praktis jelas adalah kepercayaan bahwa
dengan melewati tempat itu semua pengawas yang berlayar harus berpaling.
Ketika tahun lalu di
sungai Kasimpurang (Bulukumba) beberapa perahu yang memuat kopi tenggelam, ini
dianggap berasal dari kenyataan bahwa beberapa tahun lamanya orang lupa memberi
sesaji kepada roh sungai dan terburu-buru memperbaiki kesalahan itu. Setahun sebelumnya
bupati Gantarang digigit seekor buaya di sungai Sapiri, dan sebuah upacara
sesaji diadakan untuk menenangkan kemarahan roh penunggu sungai ini.
Jika di distrik ini terjadi kegagalan panen,
maka ini merupakan tanda jelas bahwa ada noda yang muncul dan roh terlibat di
sini. Biasanya ada tuduhan demikian dan apakah bersalah atau tidak terdakwa
harus menyingkir, karena mereka mengetahui bahwa warga distriknya tidak akan
segan menerapkan hukuman adat kepada mereka, di sini nampak bahwa pria dan wanita
akan dimasukan dalam sebuah sarung dan ditenggelamkan di laut. Hukuman ini pada
tahun 1875 diterapkan oleh Lomo
(kepala) Sampulungan (Galesong) dan ketika pada
tahun 1877-1878 musim hujan sama sekali berakhir, panen padi sebagai
akibatnya gagal, ribuan kerbau mati karena wabah pes, dia ditangkap di Takalar
di mana saya menjadi Kontrolir, seorang terdakwa lokal yang sebelumnya dituduh
telah berzinah dengan saudarui tirinya.
Sebagian penduduk daerah ini
tempat dia tinggal menuntut penyerahannya karena menurut keyakinan
mereka (184), bencana ini tidak akan berakhir selama dia tidak mengalami
hukuman adat. Semua kemampuan membujuk saya perlukan untuk menenangkan para
pemohon agar mereka kembali dan ketika
terdakwa ini dibebaskan karena berakhirnya masa hukuman, saya atas
permintaannya menyuruh dia pada kesempatan ini menarikan diri ke Sumbawa dengan
sebuah perahu.
Suatu peristiwa keyakinan
takhayul ini muncul di Bangkala, pada awal tahun 1875 selama terjadi wabah
kolera di sana. Penyakit yang menakutkan ini paling keras melanda daerah
Pelingu dan Garasikang. Pada suatu hari saya mengetahui bahwa seorang wanita di
Panyapilang (Palingu) telah berusaha membuktikan kepada penduduk bahwa roh
bangsawan Upu (bupati) dari Selayar mendatanginya dan yang lain mengakui
dirasuki oleh roh penunggu gunung suci Karebosi di Garasikang. Wanita pertama
menyebut dirinya Upu lompoa (Upu besar), yang kedua menyebut dirinya Karaeng
Karebosi; keduanya berbusana seperti pria, mengenakan ikat kepala dan
dilengkapi dengan keris; keduanya mengaku bisa menyembuhkan puah atau kolera (puah disebut roh yang telah mendatangkan penyakit menular itu di
antara manusia dan ternak. Mereka yang mengancam, termasuk yang mengaku
diturunkan dari langit atau Tomanurung, berusaha menakuti penduduk dan mencari
pengikut dengan menyampaikan bahwa mereka bisa menyuruh puah. Segera setelah puah
melanda, tidak lagi ada kerbau, kuda, kambing atau ayam yang dipotong, tidak
boleh ada bambu atau pohon yang ditebang, tidak boleh ada buah yang dipetik
atau dipanen. Harga umum seekor ayam di
Bangkala berkisar dari f 0,20 sampai f 0,30, namun pada tahun kolera 1875 saya
hanya bisa menetapkan dengan syarat bahwa saya menangkapnya sendiri, untuk
seekor ayam dihargai f 2,50) dengan
tinggal di kampung dan mengucapkan
kata-kata yang sulit dipahami.
Beberapa orang percaya
pada kekuatan wanita ini, mengunjunginya di mana hadiah dalam bentuk uang,
bahan makanan, kue-kue, sirih tidak dilupakan dan meminta bantuannya untuk
melawan puah. Diperlukan banyak kesulitan untuk mengakhiri
tindakan merugikan dari wanita ini. Pada masa yang sama tampil seorang pribumi
terkenal yang memberitahu saya telah bermimpi bahwa saya telah memberinya obat
yang ampuh untuk melawan kolera. Saya menawarkan kepadanya minum obat kolera
dan asam karbol, namun dia menjelaskan memiliki sesuatu yang lain yang saya
miliki juga. Karenanya saya memberikan pena (yang tidak dimiliki oleh orang
lain); dia terbukti merasa puas dan kemudian saya mengetahui bahwa hadiah saya
dalam potongan kecil ini dipotong dan potongan itu oleh oleh pribumi ini dan
anggota keluarganya diikat dengan tali untuk dikalungkan sebagai sarana
penangkal terhadap kolera, menurut pandangannya sebagai sarana untuk menolak puah (185).
Sangat unik, mungkin
satu-satunya ini sebagai keyakinan penyakit di antara orang Bugis dan Makasar.
Menurut keyakinan ini seorang saudara atau saudari anak yang baru lahir yang
hidup di bumi akan mengunjunginya dalam bentuk cacar. Kunjungan ini tidak bisa
ditolak; dari sana istilah kasuwiyang (pelayanan wajib) bagi cacar
dengan penambahan puru muncul. Jika
cacar melanda di dekat tempat itu, penyakit ini disebut Masagala yang jarang dalam arti roh atau tamu yang jarang muncul,
dan orang segera bersia-siap melakukan penyambutan selayaknya dengan sebuah tikar
baru, pot tanah baru yang dibersihkan. Jika cacar ini muncul di sebuah
rumah maka untuk menghormati masagala, lagu-lagu dilantunkan di mana
kepada anak yang baru lahir atau rohnya berbagai nama diberikan untuk
membuatnya beruntung. Jika pasien meninggal, maka ini adalah bukti bahwa anak
yang baru lahir tidak bisa dipisahkan dari saudara atau saudarinya.
Kadang-kadang pada petang
hari di tengah jalan orang melihat kanjoli
(sejenis obor) yang menyala dan pada saat itu sebuah keranjang atau baki dengan
sirih, nasi atau kue-kue. Ini merupakan bukti bahwa ada penyakit di sekitar
tempat itu yang obatnya tidak dimiliki orang, sehingga mereak akan berlari
untuk memberi sesaji kepada roh. 0rang Makasar dan Bugis juga percaya kepada
dukun tenung, yakni wanita tua yang dirasuki oleh roh jahat dan melalui
kunjungannya juga membawa penyakit atau nasib buruk lainnya. Kasus baru seperti
saluran air yang dibuka 50 tahun lalu menurut mereka dihuni oleh roh. Pada
tahun ini di bendungan besar Gantarang (Bulukumba) painre lompoa memotong seekor kerbau untuk menghormati roh penunggu
tempat itu di mana ini dirancang karena lahan padi kekurangan air.
Jika seorang pribumi
membangun sebuah rumah baru, maka dengan pendirian tonggak dia yang dibantu
oleh kerabat dan sahabatnya mengadakan pesta, menancapkan tonggak itu di tanah,
kemudian obor dan kadang-kadang juga dupa dibakar, dan sirih disajikan. Setiap
kampung memiliki rumah sesaji sendiri, seperti tempat untuk menyimpan gaukang
dan kalompowang. Tidak ada upacara yang
dilakukan oleh penduduk atau sesaji yang disediakan; selain itu setiap tahun
upacara sesaji bersama dilakukan (186). Penanam padi memberi sesaji kepada roh
penunggu bendungan dari saluran airnya, pembangun rumah kepada roh penunggu
tanah tempat dia membangun rumahnya, penghuni kampung kepada roh kampungnya
atau apapun yang sama, kepada roh tanah tempat kampungnya berada.
Apakah kini bisa diduga
bahwa dalam gaukang juga dihormati roh tempat di mana gaukang berada, wadah
dari kekayaan lainnya? Apakah juga tidak bisa diterima bila gaukang dihormati
sebagai wakil roh ini seperti dahnyang desa di Jawa? Selain kepercayaan dan
penghormatan gaukang dan kalompowang, juga pengertian lain tentang hal ini
masih berlaku. Dari orang-orang pribumi tua yang dikenal di berbagai daerah
sebagai sanga percaya kepada kebiasaan dan adat lama, orang bisa mengetahui
bahwa gaukang atau kalompowang merupakan karaeng dan pemilik tanah (perlu
dicatat bahwa pusaka apabila tidak ditempatkan dalam ruang pusaka atau tidak
bisa disimpan karena sesuatu alasan
selalu berada dalam rumah tempat karaeng baene atau Aru Makunrai
tinggal. Pada tahun 1874 di Bangkala tidak ada rumah pusaka dan bupati
berkonflik istrinya. Dia meninggalkannya,
tinggal di kampung lain dan
membawa serta pusaka itu. Juga menurut kebiasaan lama tidak seorangpun bisa
diangkat sebagai raja apabila dia tidak kawin dengan wanita keturunan raja.
Jika seseorang dipilih maka dia baru diangkat dan kepadanya baru diserahkan
pusaka, setelah dia bersedia menikah, kadang-kadang dengan wanita yang ditunjuk
oleh adat. Di daerah pemerintah kebiasaan ini tidak lagi dipatuhi secara ketat.
Dengan wafatnya raja, adat tampil sebagai penjaga pusaka dan adat ini juga
memiliki wewenang yang sama seperti raja). Menurut dia bupati (karaeng atau
arung) hanya merupakan pengganti dan penjaga gaukang atau kalompowang, dan
apabila demikian berhak menggunakan dan menggunakan hasilnya.
Kami kemudian melihat
bahwa kebiasaan yang ada dengan pandangan ini nampak sesuai. Kekuasaan pusaka
diperoleh dari sana, saya telah mengalaminya sendiri. Ketika pada tahun 1876
menjadi penjabat Asisten Residen distrik selatan bupati Bontain meninggal dan
semua pusaka Bontain termasuk patung emas yang disebut Karaeng Lowe disimpan di rumah saya (187). Terbukti mereka
pada saat itu menganggap saya sebagai penjaga karena tidak pernah selama saya
bertugas di Sulawesi Selatan perintah dari saya begitu taat dilaksanakan, dan
tidak pernah orang menunjukan penghormatan begitu tinggi kepada saya. Hal
serupa terjadi ketika pada tahun 1879 pusaka dari Moncongkomba (Polombangkeng)
disimpan di kantor saya. Pada kesempatan ini
terutama harus diperhatikan karena penduduk sebelum pusaka itu saya
miliki mulai menunjukan sikap penentangan.
Pada setiap pemberontakan
untuk mengusir raja, terutama orang mencoba memiliki pusaka. Jika berhasil maka
dia akan benar-benar kehilangan kekuasaannya. Sebuah contoh dari masa
belakangan ini adalah komplotan untuk menggulingkan raja Goa pada tahun 1865
atau 1866. Anggota komplotan yang dipimpin oleh Glarang Mangasa selama tidak
adanya raja yang berkedudukan di Kandang, berhasil menguasai pusaka Goa dan
tanpa perantaraan pemerintah, di mana almarhum J.A. Bakkers kembali melalui
tindakannya berhasil menengahi, segera diserahi dengan pemerintahan raja ini
dan berusaha keras untuk memulihkan dia pada kekuasaannya. Pusaka itu
ditinggalkan, dikembalikan kepada raja Goa yang karenanya merebut kembali
kekuasaannya dan para anggota komplotan ini segera dihukum berat.
Dalam pembunuhan bupati
Bulo-Bulo (jika saya tidak salah pada tahun 1872) pusaka ini oleh para
pembunuhnya dibawa serta, yang bermaksud untuk memberontak terhadap pemerintah.
Rencananya gagal dengan kecermatan Asisten Residen Holz. Selama pemberontakan
Karaeng Bonto Bonto berkali-kali terdengar berita bahwa dia menguasai pusaka
Lebakang dan karenanya diangkat menjadi raja Lebakang. Tanpa ragu-ragu alasan
yang tidak perlu jauh dicari telah mencegah dia namun orang pribumi tidak
mengetahui hal ini, di mana mungkin harus dianggap berasal dari kenyataan bahwa
Karaeng Bonto Bonto menurut dugaan banyak orang memiliki pusaka sendiri.
Semakin besar pengikut seorang raja, semakin besar juga pengaruhnya dan kini
ada hal lain pada saya yang menyolok bahwa dampak pusaka Bontain dan
Moncongkomba ketika diserahkan kepada saya dan kemudian diambil kembali, jauh
lebih besar daripada pengikut bupati baru di Bontain dan Glarang Moncongkomba.
Muncul kesan seolah-olah pusaka ini menjadi karaeng yang lebih besar daripada
bupati Bonthain dan Glarang Moncongkomba (188). Seperti yang telah disebutkan
pusaka Bonthain disebut karaeng Lowe, pusaka Gantarangkeke disebut nama yang
sama. Dalam dialek Bonthain juga di sebagian tanah Turatea dan 0nderafdeling
Bulukumba lowe berarti banyak atau besar, jadi karaeng Lowe berarti raja yang
besar. Jika orang bertanya kepada bupati Bonthain atau kepada Galarang
Gantarangkeke yang masih ada namun tidak banyak mengetahuinya: apa gaukang
Anda? Maka jawabannya pasti, Karaeng Lowe. Kini Karaeng Lowe dihormati seperti
Gaukang dan Kalompowang dengan cara yang sama di tempat lain, yang oleh orang
Makasar disebut Kakaraengan. Kata ini juga berarti raja, kebesaran raja.
Perbedaan antara Karaeng Lowe dan Kakaraengan hanya terletak pada kata sifat
lowe (besar) dan mungkin bertolak dari situ orang Bonthain biasa menegaskan
juga apa yang dipercaya oleh orang
Makasar bahwa Kakaraengan lebih besar daripada raja atau bupatinya yang pasti
merupakan Karaeng Lompo atau Karaeng Lowe. Selain itu Karaeng Lowe dari
Gantarangkeke adalah yang paling dihormati. Kerajaan itu kini menjadi bagian
dari kabupaten Bonthain, sekarang dilebur dalam kampung-kampung namun dulu
sangat kuat dan rajanya memiliki kedudukan sangat tinggi. 0rang pribumi tidak
melupakan ini karena bila mereka mengisahkan sejarah lama, maka sering
terdengar kata-kata: dulu ketika Gantarangkeke masih besar dan Bonthain masih
kecil atau belum ada. Raja Gantarangkeke dulu disebut Karaeng Lowe atau raja
besar, meskipun ini berasal dari pusakanya. Pusaka Gantarangkeke terdiri atas
dua buah batu di mana yang satu disamakan dengan keturunan pria dan yang lain
dengan keturunan betina dan pusaka Bonthain terdiri atas patung Hindu tua, yang
saya lihat namun tidak berani saya komentari, yang menurut pendapat saya belum
bisa menjadi bukti bahwa Hinduisme pernah dipeluk di Sulawesi Selatan. Bentuk
batu ini sepenuhnya sesuai dengan apa yang saya sampaikan tentang gaukang, dan
mengenai patung Hindu di antara para penemu gaukang merupakan tokoh yang sangat
dihormati atau Tomanurung, yang diturunkan dari langit di mana para raja Bone, Gowa,
Talo dan Sanrobone mengaku sebagai keturunannya. Simbol ini dengan mudah
dimiliki oleh patung Hindu itu dan digunakan sebagai gaukang).
Di sini kita telah melihat
betapa kuatnya kepercayaan dan penghormatan pada kekuatan gaib gaukang dan
kalompowang, meskipun terdapat penyebaran Islam kemudian. Namun daya hidup
kerajaan-kerajaan yang ditopang oleh gaukang juga sangat besar, karena mereka
juga berlaku di wilayah Makasar atau Bugis, di wilayah pemerintah atau milik
raja-raja (189), di mana-mana orang kembali menemukan dan bukan hanya namanya
melainkan juga menjadi kenyataan. Semua kerajaan ini memiliki pusaka sendiri,
adat dan dalam batas-batas tertentu juga otonominya dan memilik para raja atau
pemimpin mereka dari generasi rajanya sendiri. Saya tidak bisa menduga bahwa
kerajaan-kerajaan kecil ini muncul melalui pinjaman atau pembagian wilayah dari
kerajaan besar; terutama saya berpendapat bahwa di Sulawesi Selatan seperti di
tempat-tempat lain kepulauan ini kerajaan-kerajaan kecil menjadi sel yang dibangun
menjadi besar.
Tujuh belas bulan saya
menjadi Kontrolir Bangkala dan hampir setiap hari mengalami bahwa 0nderafdeling
ini terdiri atas kerajaan Bangkala, Tanatowa, Garasikang, Palingu, Nasara,
persekutuan Galarang Barana dan Baruangin dan daerah perburuan serta
penggembalaan raja di Malasoro. Dari informasi orang-orang pribumi tua dan
terpercaya sehubungan dengan pengalaman sehari-hari, saya merangkum sejarah
perkembangan kerajaan Bangkala berikut ini. Pada masa lalu dengan cara seperti
yang digambarkan di atas kerajaan Bangkala, Tanatowa, Palingu dan Garasikang
didirikan. Beberapa perbedaan, sengketa
dan perang baik di antara mereka sendiri maupun dengan lingkungan sekitarnya,
yang bersumber pada sifat rakyat Makasar yang mudah marah dan mudah tersinggung,
memunculkan kebutuhan bagi persekutuan erat. Empat kerajaan tersebut
bergabung dalam ikatan saling membantu
dan menolong. Perlahan-lahan persekutuan ini berkembang menjadi konfederasi,
dengan pimpinan seorang raja yang dipilih dari keempat raja anggotanya
tersebut.
Setiap anggota konfederasi
ini memiliki otonomi sendiri, memerintah wilayahnya sendiri tanpa dipersalahkan
bagi tindakannya, namun mengikuti perintah raja utama atau minawang (sistim kepatuhan yang akan dibahas dalam bab tentang
bangsawan ini menjadi bukti ambisi orang Makasar dan Bugis bagi persekutuan
sukarela. Para pengikut itu juga memberikan ikatan yang menghubungkan mereka
dengan pimpinannya, dengan istilah minawang
atau mematuhi. Perlu dikatakan: dahulu saya mengikuti Karaeng Bontoparang atau
bupati yang ditunjuk, kini saya mengikuti Karaeng Polombangkeng. Minawang memungkinkan ikatan yang
dibentuk dan diputuskan secara sukarela), suatu tekanan masih selalu digunakan
di mana-mana dan dimaksudkan bahwa kepentingan dan sengketa bersama di antara
para raja akan saling ditangani dan diputuskan dalam sebuah dewan, di mana raja
utama adalah anggota pertama atau yang terpenting dan para raja lain menjadi
anggotanya. (190) Dewan yang juga disebut adat berkumpul di rumah raja utama,
yang ditugasi untuk melaksanakan keputusan itu dan dari kondisi ini bisa juga
mempengaruhi hasil keputusannya. Tentang pribadi raja utama dan hubungannya
dengan raja-raja lain terutama tergantung pada kekuasaannya.
Orang tidak memandang adat
sebagai rapat permanen; para anggotanya masing-masing tinggal di wilayahnya dan
hanya berkumpul apabila dipanggil oleh raja utama. Nasara merupakan jabatan
karaeng yang baru belakangan dan menjadi anggota adat Bangkala. Menurut kata
orang, Nasara dahulu adalah kampung:
setiap pelanggar betapapun berat tindak kejahatannya misalnya melakukan
perzinahan, di sana akan dibebaskan. Nampak bahwa kampung ini melalui letaknya
yang menguntungkan bagi perdagangan dan pembuatan garam akan segera berkembang.
Dalam suatu peperangan kepala Nasara dan kawulanya dikenal karena kebijakan dan
keberaniannya. Sebagai penghargaan Nasara menerima status karaeng dan
pimpinannya menjadi anggota adat.
Barana dan Boroangin
adalah sebuah daerah otonom, yang bersama-sama memiliki sebuah pusaka yang
disimpan oleh Galarang selama setahun. Mereka tidak tergantung pada raja
Bangkala namun bersepakat dengannya yang hanya diikat oleh kontrak persahabatan
dan saling membantu. Kedua Galarang kini masih dianggap sebagai terlepas dari
bupati Bangkala dan secara rutin meminta kepada setiap Kontrolir baru agar
bnisa duduk dalam bangku seperti bupati Sulewatang, menduga bahwa mereka
seharusnya duduk di bangku di samping raja Bangkala untuk menyambut kunjungan
Gubernur. Jabatan raja kepala Bangkala kemudian bisa diwariskan dalam satu
keturunan, apakah karena anggotanya selalu dipilih dari satu keturunan dan
kebiasaan ini kemudian dijadikan hukum, atau dengan hak yang terkuat. Pada
mulanya raja Palingu menjadi raja kepala turun-temurun, namun kemudian hak itu
harus dialihkan kepada raja Bangkala karena peperangan, yang sampai sekarang
keturunannya masih menjabat (ketika Muda Karaeng Palingu pada tahun 1874
menentang adat, karena dia bukan anggota keturunan raja Bangkala untuk diangkat
menjadi bupati Bangkala, dia berkat: apa yang membuat leluhurku puas dan
beruntung seperti yang bisa diketahui adalah bahwa Palingu kini kembali yang
terbesar dan aku menjadi Kraeng Bangkala).
Para raja lain sebaliknya
berhak memilih raja kepala dan tampil demikian, sementara mereka sendiri dipilih
dan dipecat oleh adatnya sendiri, yakni (191):
oleh para kepala yang berwenang untuk itu di daerahnya sendiri.
Karenanya otonomi kerajaan dengan raja sekaligus menjadi raja kepala dikurangi,
sehingga jabatan Sulewatang (dari Sule,
diganti dan watang atau batang,
tubuh) diciptakan. Lembaga ini menggantikan raja kepala di kerajaannya, oleh
adat kerajaan itu dipilih bersama dengan raja kepala dan menjadi rekan anggota
adat. Kemudian Sulewatang menggantikan
raja kepala dalam semua fungsinya dan dia menjadi perdana menteri. Melalui
pewarisan jabatan raja kepala dalam generasi itu, muncul juga bangsawan raja
kepala di mana para anggotanya melalui perkawinan atau karena alasan lain
tinggal di berbagai bagian konfederasi itu.
Di antara orang-orang
Makasar dan Bugis ada aturan tetap bahwa pangkatnya sama atau dipersamakan
karena kelahirannya, dan yang lebih rendah tidak bisa menegakan kekuasaan atas
yang lebih tinggi. Para anggota keluarga raja kepala memiliki status kelahiran
lebih tinggi daripada raja, dan tidak bisa menjadi bawahan mereka. Jadi mereka memiliki pengaruh pada semua
urusan kerajaan dan berbagai sengketa yang melibatkan mereka atau di mana
mereka berkepentingan, kembali tidak bisa diselesaikan oleh para raja melainkan
oleh raja kepala sebagai pimpinan generasi itu. Pembatasan kekuasaan raja dan
perluasan kekuasaan raja kepala (gelar raja kepala di Makasar tidak ada, dan
oleh saya digunakan. Para raja kepala dan raja hanya disebut Karaeng. Bagi
Karaeng Goa biasanya disebut Karaeng ri Goa. Ratu Bone disebut Arumpone, untuk
Arung Bone melalui pergantian huruf dan salah satu vasal bawahannya Aru Meru –
raja yang berasal dari keturunan Tomanurung seperti Goa, Talo, Sanrabone, Bone
ditambah dengan Sombah, yakni ucapan terhormat. Di wilayah Bugis raja kepala
bergelar Aru Matowa, Datu Adatuang, Pajung). Atas seluruh bagian konfederasi
merupakan akibat dari status ini; konfederasi ini memiliki sifat kerajaan dan
para raja ini adalah vasal mereka.
Dengan sedikit perubahan
uraian di atas juga berlaku bagi semua daerah jajahan pemerintah, yang
mengangkat bupati sebagai kepalanya selain untuk Topejawa yakni pemukiman Sumbawa pada masa kemudian, dan untuk
Sanrabone, di mana konfederasi kerajaan Padiengin, Tonasa, Banyuanjara, Jene,
Parapa, Puang dibentuk oleh Tomanurung (orang yang diturunkan dari langit).
(192) Semakin kecil perbedaan kelahiran antara raja kepala dan para raja
terutama melalui saling perkawinan – semakin murni sifat konfederasi tetap
terjaga dan semakin luas pengaruh bangsawan raja kepala, semakin besar sifat
primitif konfederasi ini di sebuah kerajaan. Suatu tipe konfederasi misalnya adalah
0nderafdeling Binamu sekarang ini; Baringan masih tetap demikian ketika
kabupaten di sebelah timur Bulo-Bulo itu sekarang ini masih merupakan daerah
Bugis. Begitu juga dulu di kabupaten
Bira, Kajang, Ujunglu, Galesong, Polombangkeng, Segeri, Pangkajene, Lebakang,
daerah pegunungan mencakup sejumlah kerajaan mandiri; ketika pertama kali
berada di bawah kekuasan pemerintah, semua itu digabungkan dalam kabupaten yang
besar. Hasilnya masih akan kita lihat kemudian.
Dari lembaga semula
melalui konfederasi ini muncul kerajaan seperti Bangkala, Binamu, Laikang.
Sejarah kemunculan kerajaan ini yang bisa kita sebut kecil menunjukan kepada
kita sebuah sarana untuk menjelaskan juga kemunculan kerajaan besar. Di antara
ketiga kerajaan tersebut (semuanya disebut tanah Turatea) sebelum digabungkan
dengan wilayah pemerintah ada juga persekutuan saling menolong dan membantu
yang dikenal dengan nama persekutuan Turatea. Dari situ Binamu disebut yang
tertua atau yang utama, Laikang yang termuda atau terkecil. Diusulkan agar
persekutuan ini semakin bisa berkembang. Binamu lebih menonjol dan semakin
dihargai di antara Bangkala dan Laikang, sehingga untuk konfederasi ini Binamu,
Bangkala dan Laikang digabungkan dengan raja Binamu sebagai raja kepala, semua
masih diperlukan untuk mencegah ancaman bersama, perang dan ambisi raja Binamu.
(193) Konfederasi ini jauh
lebih mudah dan lebih cepat dibentuk oleh seorang Tomanurung. Mereka tidak
menduga bahwa masa Tomanurung telah berlalu. Berkali-kali nampak bahwa para
penentang dengan tujuan untuk mengalahkan mereka, mengakui telah diturunkan
dari langit dan memiliki kekuatan gaib dan cukup aneh selalu berhasil
melaksanakan rencana mereka, selalu bisa menemukan pengikutnya. Pada tahun lalu
seorang Tomanurung wanita yang disebut anakaraeng Gantarangkeke berhasil
menarik sejumlah besar pengikut di Bulukumba; dan pada tahun 1867 di Goa dan
Bontain suatu peristiwa yang menarik terjadi. Di bagian Goa yang berbatasan
dengan Bontain tampil seorang pria yang sangat tampan mengakui bernama I Pelo,
putra dari raja Batara Goa yang dibuang ke Ceylon pada tahun 1767. Dia mengaku
turun dari langit untuk membalas dan memulihkan perlakuan yang telah terjadi
pada ayahnya pada saat itu. Tujuannya
memperoleh perhatian umum dan dalam waktu singkat dia berhasil meraih banyak
pengikut di Goa, sehingga raja Goa memandang perlu untuk memulihkan
kekuasaannya di wilayah ini. I Pelo
tidak mampu melawan kekuasaan yang ada, yang melibatkan raja Goa sehingga meninggalkan daerah Goa dan tinggal
di sekitar Lokka (Bonthain) yang diikuti oleh sebagian pengikutnya, yang segera
ditambah oleh sejumlah penghuni pegunungan Bontain. Oleh pemerintah kini tindakan diambil untuk mengakhiri
petualangan I Pelo. Di sebuah rumah di Loka dia dikepung oleh bupati Bonthain
dan pengikutnya serta dibunuh. Dan kini siapa yang membuktikan Tomanurung I
Pello adalah putra Batara Goa? Seorang Jawa yang ditahan dalam rantai.
Karena kerajaan besar Goa
dan Bone terdiri atas lembaga gaukang sebagai kesatuan politik yang sampai
sekarang masih mempertahankan otonominya, atau dalam dua dan beberapa kerajaan
lain membentuk suatu konfederasi, dan saya tidak pernah diberitahu mengenai
kerajaan lain yang menunjukan keberadaannya dari sebuah kerajaan besar sebagai
pinjaman, maka saya menduga bahwa seorang penentang yang ambisius termasuk
Tomanurung yang dilaporkan merupakan satu-satunya yang berusaha menggabungkan
kelompok ini sebagai suatu kerajaan besar dan yang lain kemudian mengikuti
apakah secara sukarela atau dipaksa.
Saya tidak membantah bahwa
perang telah menjadi bagian untuk pembentukan
kerajaan besar Makasar dan Bugis (194), namun terutama saya menganggap
ini berasal dari kemasukan dalam konfederasi dan penyerahan kada kekuasaan
Tomanurung. Lembaga pemerintahan yang ada sekarang ini sangat sesuai. Ketika
Bulo-Bulo (daerah timur) masih merupakan Palili
(kerajaan yang memihak) Bone, kerajaan kecil Nangka (pada tahun 1879 pusaka
Nangka diminta oleh pemerintah. Kalompowang itu diserahkan namun gaukang tetap
disimpan konon di Bone) yang kini merupakan nama sebuah kampung dari
0nderafdeling Bikeru, memiliki raja sendiri. Rajanya menjadi anggota adat
Bulo-Bulo dan memiliki suara dalam pemilihan Aru Bulo-Bulo, penguasa Bone.
Dengan menerima penyerahan sebagai penyebab utama penggabungan kerajaan kecil
menjadi besar, prinsip pemerintahan yang ada tidak bisa disetujui (mengenai
kemunculan kerajaan Gorontalo atau Horontalo di Sulawesi Utara saya ingat pada
tahun 1871 legenda berikut ini telah ditulis. Kerajaan tersebut dulunya terdiri
atas kerajaan Lupuyo, Hungina, Wabu dan Tapa. Raja-rajanya membentuk
persekutuan namun Lupoyo adalah yang utama. Raja Lupoyo menghendaki agar diakui
sebagai pimpinan oleh para raja lain dan memanfaatkan ini sebagai
keuntungannya. Dia mengadakan pesta besar dengan mengundang para raja lain dan
dalam gedung pesta itu menyiapkan sebuah tempat yang lebih tinggi daripada
tempat para raja lain. Ketika para raja lain beserta seluruh keluarganya duduk,
raja Lupoyo tampil sebagai tuan rumah yang tempat duduknya cukup menonjol lebih
tinggi daripada yang lain dan yang juga atas permintaannya di mana dia duduk,
diakui oleh para raja yang lain. Dia menduduki tempatnya dan ketika pesta
selesai dia berkata kepada para hadirin bahwa melalui tempat duduknya yang
lebih tinggi juga kebetulan dia menjadi raja tertinggi dari semuanya. Para raja
yang lain cukup menerima dan mengakuinya sebagai kepala mereka. Kerajaan itu
kemudian menerima sebutan Holontalo, dan kemudian diperluas melalui penaklukan
dengan Pahuato atau Paguat. Persekutuan lima kerajaan atau Limo lo Pahalaa
yakni Gorontalo, Limboto, Bone, Bintauna, Suwawa menjadi awal konfederasi lebih
lanjut).
Marilah kini kita
menyelidiki apa pengaruh pemerintah pada lembaga asli ini yang saya sebut
lembaga gaukang. Bagi maksud ini di sini ada sejarah singkat dari kabupaten
Polombangkeng (0nderafdeling Takalar, Afdeling distrik selatan) sejak awal abad
ini sampai sekarang. Kabupaten ini merupakan salah satu daerah yang paling lama
termasuk wilayah pemerintah dan pengaruh pemerintah paling lama terasa. Pada awal abad ini (195) Polombangkeng
terdiri atas daerah Galarang Malewang, Bontokedato, Moncongkomba, dan Lasang serta
kampung pusaka (Kalompowang) Patalasang, Sompu, Pasuleang, Bilacadi, Tamasongo,
Salaka dan Sabientang. Empat daerah Galarang ini yang para kepalanya disebut
karaeng memiliki pusakanya sendiri, jadi menjadi lembaga gaukang seperti yang
dikukuhkan oleh tradisi. Pada mulanya Malewang, Bontokedato dan Moncongkomba
menjadi suatu konfederasi, dan kepalanya harus dipilih dari tiga galarang atau
karaeng (juga disebut bate) dari tiga generasi raja ini.
Kekuasaan kepala (bupati,
pertama Tumalompo kemudian karaeng Polombangkeng) dibatasi oleh dewan kerajaan atau adat di
mana bupati menjadi anggota pertama dan
tiga galarang menjadi anggotanya. Kepentingan umum atau sengketa di
antara anggota konfederasi dan dengan
kerajaan-kerajaan sekitarnya diselesaikan dalam dewan ini. Lasang kemudian
bergabung dalam konfederasi, menjadi anggota adat dan karenanya juga menerima
hak memilih dan memecat karaeng Polombangkeng, namun yang tidak bisa dipilih
dari keturunan galarang Lasang. Kerajaan yang telah ditaklukan adalah Papa,
Balo dan Manuju. Dari Papa tidak ada informasi khusus yang saya terima; Balo
dan Manuju didirikan oleh dua bersaudara, para pangeran yang menyingkir dari
Bone dan kini disebut lembaga bersaudara, sehingga sekarang masih bisa dipilih
dari keturunan galarang Balo dan galarang Manuju, dan sebaliknya.
Ketiga kerajaan ini telah
lama muncul dan mereka telah lama mempertahankan otonominya, namun demikian
letaknya berada di tengah kabupaten Polombangkeng, di mana anakaraeng dan
penduduknya dikenal sangat suka mengacau dan merompak, jelas menjadi bukti
kehormatan Makasar bagi lembaga mandirinya. Menurut kata orang dataran tempat
kampung kalompowang ini berada (196), dulu merupakan tempat penggembalaan dan
perburuan pusaka dan kampung-kampung ini
terutama didirikan oleh para pengikut raja, kemudian bupati Polombangkeng.
Mengingat tanah ini adalah tanah pusaka, kampung-kampung ini juga menjadi
kampung pusaka dan segera tunduk kepada raja atau bupati. Melalui saling
perkawinan keturunan raja Malewang, Moncongkomba dan Bontokedato menjadi satu keturunan. Para galarang
memiliki status yang sama seperti bupati; semuanya menjadi anakaraeng dan patola yang melalui kelahirannya
disahkan untuk diangkat menjadi bupati.
Kini ada kebiasaan untuk
memilih seorang anakaraeng menjadi bupati yang terlahir dalam pusaka ini, yakni
selama ayahnya menajdi bupati namun aturan demikian tidak ada dan tidak jarang
terjadi bahwa salah seorang galarang dilahirkan juga dalam pusaka itu. Bupati
tinggal di Paleko daerah Malewang, jadi dekat daerah Lasang. Di sini terdapat
galarang otonom, yang kekuasaannya perlahan-lahan menyamai bupati. Banyak
keinginan untuk menjadi galarang Malewang dan Lasang tidak muncul di antara
anakaraeng yang dianggap sah untuk itu, sehingga ada kebiasaan untuk memilih
anggota yang lebih jauh dari keturunan galarang. Jadi bisa diterima bahwa
daerah langsung bupati itu selain kampung kalompowang terdiri atas daerah
galarang Malewang dan Lasang. Sejarah Polombangkeng berikutnya juga merupakan
sejarah bupati dan galarang Moncongkomba dan Bontokedato.
Kini ada kebiasaan untuk
memilih seorang anakaraeng menjadi bupati yang terlahir dalam pusaka ini, yakni
selama ayahnya menajdi bupati namun aturan demikian tidak ada dan tidak jarang
terjadi bahwa salah seorang galarang dilahirkan juga dalam pusaka itu. Bupati tinggal
di Paleko daerah Malewang, jadi dekat daerah Lasang. Di sini terdapat galarang
otonom, yang kekuasaannya perlahan-lahan menyamai bupati. Banyak keinginan
untuk menjadi galarang Malewang dan Lasang tidak muncul di antara anakaraeng
yang dianggap sah untuk itu, sehingga ada kebiasaan untuk memilih anggota yang
lebih jauh dari keturunan galarang. Jadi bisa diterima bahwa daerah langsung
bupati itu selain kampung kalompowang terdiri atas daerah galarang Malewang dan
Lasang. Sejarah Polombangkeng berikutnya juga merupakan sejarah bupati dan
galarang Moncongkomba dan Bontokedato.
Bupati, galarang
Moncongkomba dan Bontokedato memiliki pusaka, rumah pusaka, lahan padi, hutan
dan tempat berburunya sendiri; mereka sebagai raja menguasai kawulanya;
memungut pajak atas setiap orang di wilayahnya; memiliki pasar sendiri dan
mengadakan upacara agama dan pusaka tahunan di wilayahnya. Dalam upacara agama
sebaliknya orang harus mengutamakan bupati, karena para galarang saat itu
hadir. Sebagai akibatnya upacara kelahiran Nabi (yang disebut Maulud) oleh
bupati dan galarang dirayakan pada hari yang berbeda, kadang-kadang dengan
jarak yang jauh. Begitu juga bupati pada setiap kesempatan umum selalu menjadi
oprang pertama dan kepadanya menurut pandangan selalu diutamakan. Pertanyaan
pertama yang kini muncul adalah: hubungan kekuasaan apa yang ada antara bupati,
galarang dan para kepala kampung kalompowang?
(197) Di sebuah negara di
mana kondisi primitif masih berlaku seperti di kabupaten Polombangkeng pada
awal abad ini ada pengaturan dalam penghormatan dan pelaksanaan penghormatan
adat, penelitian atas keluhan pribadi yang muncul dari situ. Wewenang hukum
dengan demikian menjadi satu-satunya ukuran untuk menilai kekuasaan berbagai
kepala. Jika orang melakukan penelitian atas para kepala adat menurut hubungan
kekuasaan, maka jelas terbukti bahwa tidak adanya aturan tetap masih terasa.
Hanya bisa diketahui beberapa fakta, beberapa keputusan dan beberapa aturan
yang bisa dibuat dari situ, yakni: bupati, galarang, para kepala masing-masing
di wilayahnya sendiri melakukan apa yang menurut mereka bisa dikerjakan, saat
itu berpegang teguh pada kebiasaan yang sama sejak lahir pada beberapa orang,
dan yang lebih rendah statusnya tidak bisa menegakan kekuasaan atas yang lebih
tinggi.
Kasus pelanggaran termasuk
pembunuhan, melukai berat, penyerangan, pencurian penting, perzinahan, semuanya
termasuk wewenang bupati dan galarang Moncongkomba dan Bontokedato,
masing-masing untuk daerahnya sendiri. Dari sini bisa disebut perkecualian kasus
yang oleh pengadilan negeri di Topejawa
dipimpin oleh penguasa atau harus
diselesaikan oleh pengadilan negeri di Makasar. Namun jika orang percaya pada
kisah-kisah itu maka dari Polombangkeng tidak pernah muncul suatu kasus dalam
dewan ini dan saya cenderung percaya karena kini hampir tidak pernah suatu
kasus diajukan kepada kontrolir di Takalar oleh para kepala adat Polombangkeng,
meskipun oleh penduduk sejumlah besar pelanggaran telah dilakukan.
Semua pelanggaran dijatuhi
hukuman dengan denda dan ganti rugi namun kadang-kadang orang bisa menuntut
terutama apabila kepada orang itu atau hartanya hukuman terlalu berat
dijatuhkan. Dalam kasus ini pelanggar
apakah secara umum atau diam-diam dihukum, karena tentang peradilan tidak
pernah disebutkan. Tidak jarang terjadi bahwa
seorang anakaraeng menjadi hakim sendiri, dan sekarang orang
Polombangkeng masih menganggap sangat wajar bila pencuri yang tertangkap basah
akan dibunuh oleh korbannya dan jika kasus ini diselidiki maka selalu
disebutkan bahwa pencuri itu mengamuk. Jika denda yang dijatuhkan tidak
dilunasi, maka terdakwa bersama keluarganya dan kadang-kadang kerabat dekatnya
akan dijadikan budak. Para kepala adat ini juga dijatuhi hukuman bila melakukan
pelanggaran tersebut, apakah dengan membayar denda atau dengan pembalasan atau
karena kerakusannya.
Pada tahun 1875 seorang
kepala kampung telah menangkap seseorang
di daerah Goa yang telah mencuri darinya uang sebesar f 0,25; (198) dan
dalam pemeriksaannya dia mengungkapkan bahwa ketika dipercaya menurut adat dia
tidak boleh meninggalkan rumahnya untuk menyerahkan pencuri itu kepada bupati.
Semua sengketa perdata dan pelanggaran yang dilakukan atau dimulai oleh orang
biasa diselesaikan oleh para kepala kampung dan wakil kepala Malewang, Lasang,
Moncongkomba, Bontokedato yang disebut tau
samara (tau = orang atau manusia, samara = bersama atau umum),
masing-masing untuk daerahnya sendiri. Segera setelah seseorang dari status
tinggi selain para kepala adat yang pengikut atau budaknya terlibat dalam suatu
kasus, akan diadili oleh para kepala kampung kalompowang untuk diserahkan
kepada bupati dan oleh para wakil kepala kepada galarang yang terkait.
Keputusan para kepala ini sebaliknya tidak segera bisa dilaksanakan; jika salah
satu pihak tidak merasa puas, maka pengumuman akan disampaikan kepada bupati
atau kepada galarang terkait, yang melakukan penelitian baru selain
mempertahankan keputusan yang telah diambil oleh pimpinan, kadang-kadang dengan
cara paling kasar. Namun jika diduga bahwa protes ini akan memancing
ketegangan, penuntut akan didenda.
Jika harta pihak yang
dirugikan tidak bisa memenuhi tuntutan yang dibuat maka pihak ini kadang-kadang
dengan keluarga dan kerabatnya bisa dijadikan sebagai budak atau anak semang
dari pihak yang menang atau dari para kepala. Bupati, galarang dan para kepala
lain membagi denda itu dengan pihak yang dirugikan atau dimenangkan, dan selain
itu menuntut hak apakah dari pihak yang kalah saja atau dari kedua pihak. Kasus
perdata dan pidana dengan cara yang sama diselesaikan; penelitian ini singkat
dan sangat netral, dan jika pihak yang dituntut termasuk sahabat para kepala,
maka ini akan menempuh proses yang panjang atau sama sekali tidak bisa
diputuskan. Pada semua keputusan galarang Malewang dan Lasang, bupati memiliki banyak
pengaruh; merka jarang menyelesaikan kasus ini tanpa mengungkapkannya. Jika
seseorang berstatus tinggi terlibat atau berkepentingan, maka mereka mengajukan kasus ini kepada
bupati dan karena galarang tidak berstatus sangat tinggi dan sebagian besar kerabat serta pengikutnya
tinggal di sekitar bupati, maka sangat sering proses ini akan mengorbankan kekuasaan galarang.
Galarang Moncongkomba dan
Bontokedato memiliki status sama atau hampir sama dengan bupati. Mereka bisa menyelesaikan hampir semua kasus yang
terjadi di wilayahnya dan kekuasaan mereka hanya dibatasi oleh pengaruh kerabat
dekatnya; juga kekuasaan bupati (199). Jika kerabat atau yang berkepentingan
terlibat, maka perantaraan bupati diminta apakah melalui kerabat atau melalui
galarang namun kekuasaan atas mereka juga tidak begitu besar. Lihat sumber
utama berbagai peperangan yang telah melanda Polombangkeng dahulu. Jelas bahwa
dalam menyelesaikan sengketa yang melibatkan kaum bangsawan, kelemahan keluarga
dan keistimewaan mereka yang berstatus tinggi akan menyisihkan yang lemah.
Semakin tinggi status kebangsawanan seseorang, semakin banyak orang
memperhitungkan pembebasan dari hukuman berdasarkan hak istimewanya. Seorang
anakaraeng selain memiliki hak atau wewenang juga menjatuhkan denda dalam kasus
berikut ini:
-
apabila
dalam kunjungan kepada kawulanya bahan makanan kurang memadai, tidak disajikan
kepadanya dalam kondisi layak, atau dengan cara lain kurang menunjukan
penghormatan tradisional; apabila seseorang berstatus lebih rendah tidak turun
dari kudanya, atau sarungnya tidak diletakan di bawah ikat pinggang ketika dia
lewat;
-
apabila
seorang pribumi biasa tau samara atau
kalangan bangsawan rendah mengenakan ikat kepala terlalu tinggi menjulang di
sebelah kanan;
-
apabila
orang biasa di sebuah daerah tempat seorang anakaraeng meninggal mengenakan
emas atau perak dari paopao(sejenis
karung yang dikenakan di depan perut) atau membawa senjata (tentang sarana ini
tidak jarang digunakan untuk merampok orang kecil. Mereka membiarkan paopaonya terbuka dan dari situ
mengambil uang emas dan perak dan kadang-kadang juga tembaga serta menjatuhinya
denda); apabila dengan meninggalnya seorang bupati atau anakaraeng penting di
rumah sarung masih ditenun atau di luarnya padi ditumbuk atau menjemur pakaian
yang digantung. Aktivitas ini biasanya terjadi di sebuah kompleks yang
disediakan bagi maksud itu di luar kampung;
-
apabila
seseorang membangun rumahnya dengan sejumlah tonggak, tangga atau perlengkapan
di luar statusnya;
-
apabila
seorang anakaraeng tidak dilayani oleh wanita muda yang tinggal di rumah itu
bila dia melakukan kunjungan;
-
apabila
kepada bupati atau seorang anakaraeng terkenal dalam mengunjungi orang
rendahan, secara kebetulan atau terpaksa oleh kebutuhan, kembali tidak
disediakan piring untuk meletakan ramuan makan sirih di atasnya (ramuan ini
diutamakan dan dilumurkan pada pipi anak-anak yang tinggal di rumah untuk
mencegah agar mereka tidak terkejut karena kunjungannya);
-
(200)
apabila seseorang yang tidak berwenang
mengarahkan tombak dengan ujungnya ke atas atau oleh pembawanya terutama
dilakukan tanpa mengikuti perintah yang diberikan olehnya.
Karena sampai dua tat atau tail (f 16) denda bisa dijatuhkan olehnya, bisa
dipahami bahwa anakaraeng selalu memiliki sarana untuk mempertahankan
martabatnya, dengan menindas orang kecil atau memperoleh uang, dan diduga orang
yang didakwa tidak akan mampu membayarnya sehingga dia akan kehilangan kuda,
kerbau dan sawahnya. Seorang bangsawan tinggi bisa memerintah bangsawan lebih
rendah.
Apabila seorang anakaraeng mengeluarkan perintah sesuatu kepada seorang
kepala kampung, dia harus patuh kecuali ketakutan pada bupati atau galarang
mencegahnya untuk berbuat demikian. Kepala adat itu tidak akan menyampaikan
kepada anakaraeng, tidak membuktikan apabila dia berusaha agar anakaraeng ini
tidak termasuk sahabat bupati atau galarang, namun menyampaikan perintah atau
permohonan kepadanya dan menolak keinginannya. Bupati Polombangkeng adalah
anggota keturunan galarang Moncongkomba dan Bontokedato. Jika dia mengunjungi salah
seorang galarangnya, dan dia menyuruh sesuatu kepada anakaraeng, para kepala
adat atau bangsawan rendahan, maka orang selalu menjawab dengan hormat : Ya,
Karaeng; namun apakah perintah ini diikuti sepenuhnya tergantung pada hubungan
bupati dengan galarang. Jika hubungan ini penuh persahabatan, maka perintah itu
akan berjalan baik; namun jika mereka bermusuhan maka perintah itu tidak akan
diikuti dan kini tergantung pada pribadi bupati dan galarang, apakah tidak
mematuhi ini bisa memberi alasan bagi sengketa dan peperangan.
Jika kita bertanya kepada
orang-orang tua Polombangkeng tentang
sebab-sebab peperangan yang dahulu sering terjadi, maka terbukti ini hampir
selalu sama: keterlibatan bupati dalam persoalan intern Bontokedato atau Moncongkomba,
atau seorang anakaraeng penguasa yang bersama bupati dan galarang dipersamakan.
Tentang sebab ketiga “gejolak” dalam hukum perkawinan akan dibahas. Pencegahan
perang, penyelesaian sengketa, pencegahan
pemerasan yang terlalu besar oleh bupati, anakaraeng dan para kepala,
biosa dianggap sebagai tugas utama dari penguasa sipil distrik selatan yang
berkedudukan di Topejawa, di mana selain Polombangkeng juga mencakup Galesong,
Aeng, Bontokedato, Sawakung, Takalar, Topejawa, Lenkes, Lakatong, Papa, Balo
dan Monuju (201).
Memang, pejabat ini juga
ditugasi dengan pemungutan dan penafsiran 1/14 (pajak atas tanaman padi),
keamanan dan jabatan ketua pengadilan negeri, namun jabatan utamanya adalah
agen keamanan dan dalam jabatan ini masih diutamakan suatu politik.
Bagaimana diputuskan bisa
terbukti dari vonis pengadilan negeri, di mana para pelakunya yang dituntut
adalah tentara pasukan Hindia dan agen politik tidak bisa mengabaikan
kepentingan pribadinya, kisah berikutnya menunjukan bahwa orang-orang ini
berasal dari kalangan yang terpercaya dan mewarnai kondisi masa itu. Dua
anakaraeng bersengketa dan saling
menuduh sehingga mereka memutuskan untuk bertarung. Masing-masing mereka
membayar f 80 denda umum bagi penyerangan kepada penguasa di Topejawa,
memberinya uang dan mengungkapkan maksudnya untuk saling berkelahi sampai salah
satu pihak terbunuh. Penguasa menyetujui rencana itu dan perkelahian terjadi di
persawahan padi dekat rumahnya. Pada mulanya mereka berkelahi dengan tombak,
dan kemudian dengan keris. Akhirnya kedua pelaku itu menemukan kematiannya di
tempat tersebut, dan penguasa menerima f 160.
Kondisi yang terjadi bagi
kabupaten Polombangkeng seperti yang baru digambarkan ini juga terjadi di
berbagai daerah wilayah pemerintah, sehingga tidak mengherankan bila Gubernur
Jenderal van der Capellen dalam
pertimbangan Pengumuman 17 Juli 1824 (Lembaran Negara nomer 31a) menganggap
mundurnya kesejahteraan penduduk sehubungan dengan letak daerah ini yang
menguntungkan dan cabang industrinya terutama dari kurangnya keamanan bagi
orang dan barang karena tidak adanya perlindungan dan kemampuan yang memadai
pada pemerintah serta lembaga hukum yang terkait”. Para pembaca pasti mengetahui bahwa sebaiknya
bagi lembaga hukum ini digunakan lembaga sederhana. Dua cara terbuka bagi
pemerintah untuk mengadakan perbaikan di sini: dipertahankannya kekuasaan
otonom para galarang dan penghapusan kekuasaan bupati, atau penghapusan jabatan
galarang dan pengukuhan serta perluasan jabatan bupati.
Akhirnya diputuskan untuk
memperkuat jabatan bupati. Dalam struktur pemerintahan baru di Makasar
(Lembaran Negara 1824 nomer 31a) dengan meniru struktur di Jawa, hanya
disebutkan bupati dan kepala desa atau kepala kampung. Kepada bupati diberikan
kekuasaan luas, sementara kepada para kepala desa diberikan kekuasaan terbatas
untuk kasus pelanggaran dan perdata. Pasal-pasal yang terutama berkaitan dengan
ini adalah 38, 39, 45, 46, 50, 54, 59, 64 dan 68 (pasal 38; dalam kasus perdata
kepala kampung atau kepala desa sebagai penengah berwenang dan wajib untuk
menggunakan segala pengaruhnya guna mencegah dan menyeklesaikan semua sengketa
di antara para kawulanya. Pada pasal 39, apabila perantaraan yang disebutkan
ini gagal dan kasusnya menjadi rawan, pihak yang bersengketa tidak bisa saling
bertemu, kepala kampung atau kepala desa yang dibantu oleh seorang ulama dan
seorang tetua rakyat memiliki wewenang untuk membuat keputusan
sebagai hakim:
- dalam
semua kasus antara orang-orang pribumi, yang nilainya tidak melebihi f 25;
- dalam
semua sengketa tentang saluran air, perbatasan tanah, pencurian atau
pendakian pohon buah dan masalah sejenis yang biasanya terjadi di antara
petani;
Pasal 45 menyebutkan, dalam kasus keamanan kepala desa atau kampung dibantu
oleh seorang ulama dan seorang tetua rakyat seperti yang disebutkan di atas
mengumumkan:
- semua
keluhan terhadap kawula desa atau kampung dalam kasus kecil seperti
kata-kata hinaan, pendakwaan, perkelahian dsb.
- Semua
pelanggaran peraturan keamanan, seperti tidak taat atau melawan perintah
kepala kampung dan kepala desa, atau para pejabat rendahan, tidak
membersihkan rumah, jalan dan gang, setelah peringatan sebelumnya; lalai
dalam memperbaiki pagar atau sarana perlindungan lain.
Pada pasal 46, ketika tindakan ini terbukti disampaikan kepada kepala
klampung atau desa dan para pembantunya, kepala desa akan menjatuhi terdakwa
dengan hukuman berikut ini:
- denda maksimal f 4;
- hukuman
kurungan dipasung tidak melebihi masa 3 hari.
Pasal 48, kepaal kampung atau desa harus membuat catatan tentang semua
keputuannya atau melaksanakannya dan pada saat yang ditetapkan membuat laporan
untuk disampaikan kepada hakim di Makasar dan di Afdeling lain kepada bupati
yang menjadi penguasanya.
Pada pasal 50, di setiap
Afdeling lain dibuka sebuah pengadilan kabupaten yang terdiri atas bupati
selaku ketua dan para kepala kampung atau desa atau pegawai penting lainnya
yang termasuk kabupaten itu sebagai anggota yang diangkat oleh Residen dengan
persetujuan Gubernur. Dalam pasal 54, kasus perdata yang diajukan kepada
pengadilan kabupaten adalah:
- dari
semua kasus yang disampaikan kepada kepala desa atau kampung pada nomer 1.
dan karenanya bisa naik banding;
- dari
semua kasus antara orang pribumi yang nilainya tidak kurang dari f 25 dan
tidak lebih dari f 160;
- semua
sengketa antara penduduk berbagai desa dan kampung dan yang tidak bisa
diputuskan oleh kepala kampung;
Pada pasal 59 peradilan kabupaten
akan membuat catatan tentang semua keputusan yang sama dengan tujuan untuk bisa
menunjukan apa yang dituntut. Pada pasal 64, sehubungan dengan pelanggaran
hakim di Afdeling Makasar dan pengadilan kabupaten di Afdeling lain berhak
untuk mengambil keputusan:
- atas
semua keluhan terhadap kepala desa atau kampung dan orang-orang penting
yang dipersamakan dengan mereka, yang tidak memiliki kedudukan atau sifat
demikian, yang segera harus ditangani oleh pengadilan negeri dan asalkan
orang yang menjadi sasaran keluhan itu bermukim di wilayah hukum
pengadilan hakim Makasar atau pengadilan kabupaten, atau bertahan di sana
pada saat keluhan ini diajukan;
- atas
semua kasus di mana terdakwa apabila dia dinyatakan bersalah terhadap
tindakan yang dibebankan kepadanya, tidak ada hukuman berat yang harus
dijalaninya, kecuali denda uang dari f 4 sampai f 24 atau hukuman kurungan
dengan atau tanpa dipasung selama 2 sampai 8 hari atau hukuman cambuk
rotan sebanyak 6 sampai 20 kali.
Pada pasal 68, hakim di Makasar dan pengadilan kabupaten di Afdeling lain
akan membuat catatan tentang semua keputusan mereka).
(203) Tentang keberadaan
galarang Monjongkomba, Bontokedato, Malewang dan Lasang tidak terpikirkan
apalah orang mengakui keberadaan mereka dan apakah orang akan menghapuskan
jabatannya? Di sini saya harus menjawab tetap sulit, namun untuk memberi para
pembaca bukti yang meyakinkan bahwa para galarang tidak bersedia dipilih,
melalui sejarah beberapa abad lembaga gaukang yang dihormati tidak bisa
dihancurkan oleh beberapa peraturan pemerintah Hindia Belanda, saya meminta
agar mereka mendampingi saya dalam perjalanan ke Takalar. Kami pada tahun 1882
menulis dan kami dengan tenang bisa mnenyebutkan tanggalnya sekarang.
Asisten Residen Distrik
Selatan mengadakan inspeksi dan bersama
para kepala 0nderafdeling ini bertemu. Para kepala adat Polombangkeng ikut
serta. Paling depan adalah bupati yang segera diikuti oleh para galarang
Moncongkomba, Bontokedato, Malewang dan Lasang. Pada saat itu dengan sedikit
jarak para kepala kampung kalompowang serta para wakil kepala empat daerah
galarang. Bupati dan galarang memberi jalan kepada Asisten Residen dan
Kontrolir serta duduk di atas kursi. Jika tidak cukup kursi tersedia, maka para
galarang Malewang dan Lasang duduk di tanah bersama para kepala lain namun
sering di depan. Jika tidak ada bangku bagi galarang Moncongkomba dan
Bontokedato, maka mereka tetap berdiri selama pertemuan berlangsung, karena
duduk di tanah seperti para kepala lain
dan yang dipersamakan dengan mereka merupakan penghinaan.
(204) Bagaimana terjadi
bahwa keempat galarang ini masih ada, meskipun dalam struktur tahun 1824 yang
mulai diberlakukan sejak 1 Juli 1882
memutuskan bahwa mereka tidak ada lagi? Karena faktor apa di seluruh wilayah
hukum pengadilan bupati dan pengadilan desa atau kampung tidak lagi ditemukan
bekasnya? Mengapa kini tidak lagi terbukti bahwa kepada salah satu pasal yang
disebutkan di atas bisa dilaksanakan? Jawaban atas semua pertanyaan ini adalah:
karena bupati dan galarang yang telah mengatur organisasi ini dan pengalaman
juga menunjukan bahwa mereka tidak siap melaksanakannya; karena suatu peraturan
dari penguasa yang betapapun tingginya juga tidak akan mampu menghapuskan suatu
lembaga sekaligus, yang telah merasuki nadi dan darah orang Makasar serta Bugis
itu.
Komentar
Posting Komentar