PERDAGANGAN, INTERNASIONALISME, DAN KONVENSI AGAMA DIABAD 15-17
Perdagangan, Internasionalisme
dan Konversi Agama:
Perspektif Psiko-sosial dalam Islamisasi di Nusantara Abad ke-15–17
Oleh :
Moeflich Hasbullah
Dosen UIN Sunan Gunung Djati.
Dipublikasikan dalam Mimbar, Jurnal Kajian Agama dan Budaya,
Lembaga Penelitian (LEMLIT) UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta,
Volume 29, Nomor 1, 2012
________________________________________________________________________
alah satu penghampiran untuk memahami sejarah Asia Tenggara adalah melihatnya sebagai sebuah kawasan ‘pertarungan peradaban’ (fight of civilizations) dimana peradaban-peradaban besar dunia datang silih berganti dan saling berebut pengaruh didalamnya. Sejak awal sejarahnya, pengaruh India telah menancapkan hegemoninya berabad-abad[1]kemudian disusul kedatangan Cina, Islam dan Barat yang datang untuk kepentingan politik, ekonomi dan penyebaran agama.[2]Maka, muncullah beberapa pemenang yang produk historisnya yang bisa kita saksikan dewasa ini. Politik dimenangkan oleh Barat dengan sistem demokrasi yang dianut dan menjadi orientasi mayoritas negara-negara Asia Tenggara,[3] ekonomi dimenangkan oleh etnis Cina dengan fakta bahwa modal kapital atau kekuatan ekonomi berada pada kelompok minoritas Tionghoa,[4] dan agama dimenangkan oleh Islam dengan kenyataan sejak abad ke-17, mayoritas penduduk Asia Tenggara sudah memeluk Islam yang dewasa ini telah mencapai jumlah ±300 juta lebih (dengan ±200 juta berada di Indonesia), yang membuatnya sebagai kawasan Islam terbesar di muka bumi. Karena kontes peradaban tersebut, indianisasi, cinaisasi, Islamisasi dan baratisasi (westernisasi) kemudian dikenal sebagai proses-proses yang tak terpisahkan (inseperable) dari sejarah Asia Tenggara.
Pada masa-masa awal, yaitu abad pertama hingga abad ketiga belas, peradaban India menancapkan akar pengaruhnya yang kuat di Asia Tenggara dengan beberapa kerajaan besarnya: Sriwijaya di Sumatra, Kerajaan Mulawarman dan Pajajaran di Sunda dan Majapahit di Jawa. Diluar itu, banyak sekali kerajaan-kerajaan kecil yang bercorak Hindu dan berafiliasi dengan Kerajaan Majapahit. Semua kerajaan itu mengalami indianisasi (Indianized states) bukan hanya secara politik tapi juga hampir dalam semua aspek kehidupannya.[5] Sangat menarik, Islam kemudian datang ke kawasan ini, menyebarkan pengaruh dan merebut hati masyarakat penduduk dan menggantikan peradaban Hindu yang sudah berakar kuat. Para pembawanya yang berstatus saudagar dan sufi, bukan penguasa politik, membuat watak Islamisasi bersifat damai. Tesis sufi sebagai penyebar Islam ini masuk akal karena dihubungkan dengan situasi sejarah pada abad ke-13 dimana Islam sedang mengalami kemunduran dengan jatuhnya Bahgdad kepada pasukan Hulagu Khan dari Bangsa Mongol pada tahun 1258. Menurut Anthony H. Johns, pada periode ini, dunia Islam sedang didominasi oleh faham tasawuf dan para sufi menyebar ke berbagai negara termasuk ke Asia Tenggara untuk menyebarkan Islam.[6]
Pada masa-masa awal, Islam disebarkan di Nusantara melalui pendekatan kultural yaitu kegiatan perdagangan, dakwah, pendidikan, seni dan perkawinan dengan penduduk lokal. Setelah berdirinya institusi-institusi politik berupa kerajaan-kerajaan atau kesultanan Islam, barulah pendekatan struktural politik muncul mengambil peranan. Pendekatan struktural dilakukan melalui seruan dan ajakan kepada raja-raja dan istana yang belum memeluk Islam dan kerjasama politik antar kerajaan, yang dalam beberapa momen historis tidak terhindarkan berakhir dengan peperangan antara kerajaan-kerajaan Islam dengan kerajaan-kerajaan Hindu: Demak dengan Majapahit, Cirebon dengan Pajajaran, Mataram dengan Surabaya, Kediri, Sukadana, Banjarmasin dan lainnya, Gowa-Tallo dengan kerajaan-kerajaan sekitarnya. Hampir semua peperangan ini konteksnya adalah politik yaitu penyatuan kekuatan politik pribumi dalam rangka menghadang kekuatan baru yang sedang meluas di Asia Tenggara yaitu Portugis dan Belanda.
Tulisan ini secara khusus akan mengkaji Islamisasi sebagai fenomena psikologis dan sosial yang terjadi di kalangan istana dan juga lapisan masyarakat di Nusantara dan Asia Tenggara secara keseluruhan. Islam memasuki kedua lapisan masyarakat ini. Di level atas, para penguasa politik memegang peranan penting dalam akselerasi penyebaran Islam. Di Nusantara, masuknya Islam ke sebuah komunitas masyarakat banyak diprakasi dan diinisiasi oleh kelompok elit penguasa yang kemudian diikuti oleh rakyatnya. Dengan demikian, Islamisasi berlangsung efektif karena kedudukan dan peranan raja dan istana sangat sentral dihadapan rakyatnya. Di lapisan akar rumput, Islam berkembang melalui akulturasi budaya, perdagangan, dakwah, perkawinan dan lain-lain. Dalam kenyataannya, kedua metode tidak dapat dipisahkan karena kedua pendekatan ini juga terjadi pada kedua lapisan masyarakat tersebut pada abad ke-15–17. Sebelum masuk pada pembahasan pokok, perlu dijelaskan terlebih dahulu fenomena Islamisasi secara umum di Asia Tenggara.
Islamisasi Asia Tenggara
Diantara peristiwa-peristiwa sangat penting dan menarik dalam sejarah Asia Tenggara adalah gelombang Islamisasi yang hingga kini masih menyimpan kekaguman sekaligus rasa kepenasaran (curiosity) para sejarawan, terutama para sejarawan Barat. Hingga kini, kuriositas sejarah ini belum hilang dari memori kolektif sejarawan. Islamisasi dipandang sebuah sukses besar terutama bila dilihat dari aspek geografis yaitu jarak yang sangat jauh dari pusat Islamnya di Timur Tengah. Jarak yang jauh ini cukup mengherankan bila dilihat dari konteks tradisional saat itu dimana alat transportasi masih sangat sederhana dan tidak ada organisasi yang kuat yang mengorganisir penyebaran Islam.[7] Keheranan itu semakin menguat mengingat Islamisasi masa klasik mampu menggeser kebudayaan Hindu India yang sudah berakar ratusan tahun dalam endapan kultur, tradisi dan keyakinan masyarakat pribumi Nusantara. Padahal, seperti dikatakan George Coedès, ahli Asia Tenggara klasik, ekspansi kebudayaan India ke Asia Tenggara adalah "one of the outstanding events in the history of the world, one which has determined the destiny of a good portion of mankind.”[8]
Walaupun kompromi-kompromi dengan kepercayaan lama masih berlangsung selama periode Islamisasi, tidak lebih dari sekitar tiga abad Islam telah secara drastis menggantikan kebudayaan Hindu India yang sudah berakar kuat di Nusantara. Masih adanya kompromi dengan kebudayaan lama ini menimbulkan perdebatan diantara para sejarawan tentang apa yang sesungguhnya terjadi di Nusantara. Apakah masyarakat Asia Tenggara benar-benar melakukan “konversi” atau hanya “adhesi”? Menurut Anthony Reid, ketimbang “konversi” yaitu perpindahan agama kepada Islam atau Kristen, yang sebenarnya terjadi adalah “adhesi” (kelekatan) berdasarkan kenyataan bahwa yang mereka lakukan hanyalah konfesi (membaca kalimat syahadat) dan tidak sepenuhnya meninggalkan kepercayaan dan ritual-ritual animistik dan samanistik sebelumnya. Setelah masyarakat Nusantara melakukan “konversi agama” mereka masih tetap sebagai Muslim nominal.[9]
Terlepas dari persoalan itu, sejak abad ke-15 ketika penyebaran telah menyentuh seluruh kepulauan Nusantara, Islam kemudian muncul menjadi agama yang paling penting di Asia Tenggara dan mengubur puing-puing kebudayaan India ke sudut-sudut sejarah.[10] Islam seperti dikatakan Hall, “memberikan interupsi tiba-tiba” (conveys of a sudden break) dalam sejarah Hinduisme.[11] "Dewa-dewa lama Hindu-Buddha dilupakan, dan menjadi Jawa mulai berarti menjadi Muslim,” kata Robert Jay ketika dia menggambarkan suksesnya Islamisasi di Jawa.[12] Pendek kata, “interupsi Islam dan penyebarannya,” seperti dicatat Coedès, telah "memotong hubungan-hubungan spritual"[13] antara Hindu Asia Tenggara dengan Brahma India dan “membunyikan lonceng kematian kebudayaan India di Nusantara.”[14]
Dengan demikian, selain menarik, melacak proses-proses Islamisasi di Nusantara atau Asia Tenggara sangatlah penting mengingat bahwa Islam, setelah periode konversi atau "religious revolution" dalam istilah Reid, telah menjadi kata kunci untuk memahami perubahan-perubahan sosio-politik di kawasan Asia Tenggara sejak saat itu. Pelacakan ini berangkat dari sebuah pertanyaan historis, apakah yang menyebabkan penduduk pribumi Asia Tenggara begitu mudah melakukan konversi agama kepada Islam? Kekuatan apakah yang paling besar memberikan kontribusi bagi proses Islamisasi di Nusantara? Mengapa tidak kepada Kristen? Bila ada konversi kepada Kristen mengapa tidak semasif kepada Islam? Pertanyaan mendasar ini telah mengundang beragam spekulasi. Schrieke mencoba menjawab pertanyaan ini dengan mengajukan sebuah teori tentang persaingan antara Islam dan Kristen dalam memperebutkan pengikutnya di Nusantara yang ia sebut sebagai “race theory” (teori balapan). Schrieke mengatakan, tidak mungkin memahami penyebaran Islam di Nusantara bila tidak memperhitungkan konflik, persaingan dan permusuhan antara orang-orang Islam dengan bangsa Portugis.[15]
Teori ini memicu polemik di kalangan sejarawan. Al-Attas menolak anggapan balapan antara Islam dan Kristen telah memacu akselerasi Islamisasi karena Islam datang jauh lebih awal dari orang-orang Eropa (Kristen). Ia mengatakan Islam masuk ke Nusantara sejak abad ke-7. Jadi, bagaimana mungkin terjadi balapan? Berbeda dengan Al-Attas, teori ini dibenarkan Reid dan Azra bahwa percepatan Islamisasi terutama abad ke-16 memang didorong oleh adanya persaingan antara Islami dan Kristen. Reid mengatakan “yang terjadi sejak paruh abad ke-15 dan ke-17 adalah semakin menguatnya polarisasi dan eksklusifisme agama khususnya antara kaum Muslimin dan Kristiani. Peningkatan polarisasi yang lebih tajam di antara penganut kedua agama ini pada dasarnya disebabkan oleh ‘balapan di antara mereka’ untuk mendapatkan para pemeluk baru… pada abad ke-16, sejumlah besar orang, baik di perkotaan maupun pedesaan dengan jelas berpindah agama, masuk Islam, dan selanjutnya mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian integral dari komunitas Islam internasional.”[16]
dibalik proyek kolonialisasinya. Untuk menjalankan misi ini, pemerintah Belanda mewajibkan program Kristenisasi di seluruh wilayah Hindia-Timur. “Pada tahun 1602, VOC diwajibkan menyebarkan agama Kristen, VOC tidak memikirkan cara lain selain meniru Portugis dan Spanyol, yaitu cara paksa. Pada tahun 1661 ibadah umum agama Islam melaksanakan haji ke Makkah, dilarang oleh VOC. Cara paksa semacam ini oleh Kernkamp dipujinya sebagai energic.”[18] VOC pun mengeluarkan biaya dan memberikan dukungan finansial pada sekolah-sekolah misionaris Kristen dan memberikan dana jauh melebihi dari jumlah sekolahnya sendiri.[19] Dua pendekatan ini telah menunjukkan dua hasil yang berbeda. Melalui kesadaran, Islam masuk ke dalam jantung kalbu penduduk pribumi dan diterima secara luas. Kehadirannya dirasakan sebagai jalan keselamatan dan menjadi jati diri identitas mereka menggantikan kepercayaan lama. Ketika Islam telah menjadi kesadaran penduduk dan berfungsi menjadi identitas psikologis dan sosial mereka, kehadiran Kristen Eropa dianggap sebagai orang asing (kafir) yang tidak bisa diterima, apalagi mereka datang melalui penjajahan. Akhirnya, modal dan kekerasan sering menjadi cara mereka menyebarkan agamanya seperti dijalankan Portugis dan Belanda.
Menurut penulis, balapan Islam-Kristen dalam memperebutkan pengikutnya di Nusantara memang terjadi. Hanya, balapan tersebut berlangsung dengan berbasis pada dua kekuatan masing-masing yang berbeda: kekuatan doktrin (doctrinal power) yang mengandalkan ajaran dan penyadaran di satu pihak dan kekuatan modal (capital power) yang mengandalkan uang dan materi di pihak lain yang banyak diiringi dengan paksaan dan kekerasan. Kekuatan doktrin dan penyadaran diperankan oleh Islam.[17] Sepanjang sejarahnya, kekuatan doktrin ini telah menjadi watak Islamisasi di seluruh dunia. Di sisi lain, kekuatan modal yaitu pembiayaan misi dimainkan oleh Kristen melalui kolonialisasi. Karena modal tidak menciptakan kesadaran atau tidak bisa masuk ke dalam sanubari penduduk pribumi, paksaan dan kekerasan sering mengiringi penyebaran agama Kristen. Kristenisasi diperankan oleh aktor-aktor kolonial (Portugis dan Belanda) sebagai kekuatan modal, politik dan ekonomi. Kristenisasi di Asia Tenggara adalah misi terang Portugis, Spanyol dan Belanda
Berbeda dengan teori balapan Schrieke yang melihat faktor eksternal pada penyebaran agama, Soebardi menjelaskan dimensi ajaran Islam sebagai faktor penting yang menyebabkan mereka meninggalkan agama lamanya. Aspek sosial Islam, kemudahan praktek ritual agama, kemudahan cara masuk Islam atau proses menjadi Muslim serta persamaan derajat manusia dihadapan Tuhan, menurut Soebardi, menyebabkan tertariknya masyarakat berpindah agama kepada Islam.[20] Sambil membenarkan teori balapan Schrieke, Reid mengajukan tesisnya sendiri tentang Islamisasi. Ia mengemukakan tujuh daya tarik konversi (seven attractions of conversion) kepada Islam sebagai agama baru yang ia temukan di kalangan penduduk pribumi: (1) portability (kemudahan atau kepraktisan), (2) association with wealth (harapan akan kemakmuran ekonomi), (3) military success (sukses tentara Islam), (4) writing (kekuatan tradisi menulis), (5) memorization (kekuatan menghafal kitab suci), (6) healing (kemampuan menyembuhkan penyakit oleh para sufi/ulama), dan (7) a predictable moral universe (ajaran moral universal).[21] Sardesai menyebutkan aspek-aspek sosiologis dari konversi seperti pakaian, peranan madzhab Syafi’i, pengaruh raja yang sudah masuk Islam, perkawinan, persaingan perdagangan, kedatangan Kristen dan peranan yang dilakukan para sufi. Semua ini, kata Sardesai, merupakan alasan-alasan penduduk Nusantara menerima kehadiran Islam dan menganut agama tersebut.[22]
Berbeda dari yang lain, Coedès melihat Hinduisme sebagai faktor pendukung masuknya Islam. Ia mengatakan aristokrasi Hinduisme yang terstrukturkan dalam sistem kasta yang didesain hanya untuk kalangan elit "menjelaskan cepatnya masyarakat mengadopsi Sanghalese Buddhisme dan Islam."[23] Dalam Islam mereka menemukan egalitarianisme demokratis yang memungkinkan semua individu mendapat derajat yang tinggi di mata Tuhan dimana status tidak didasarkan pada keturunan melainkan perbuatan. Serupa dengan Coedès, Jay melihat aspek komparasi Hindu dan Islam tetapi lebih pada aspek mistiknya sebagai faktor penting terjadinya konversi masuk Islam.[24] Warna sufisme Islam yang dibawa para sufi bertemu dengan ajaran-ajaran mistik Hindu yang dipraktekkan masyarakat pribumi sehingga memudahkan jalan bagi pemahaman mereka pada agama baru tersebut.
Perspektif Psiko-sosial
Berbeda dengan semua penjelasan di atas, tulisan ini akan mengangkat faktor lain yang belum mendapat perhatian proporsional dalam analisis-analisis tentang Islamisasi yaitu transformasi identitas penduduk pribumi dan faktor-faktor psikologis-sosial penyebab suksesnya Islamisasi di Nusantara. Faktor psikologis-sosial adalah fenomena dimana penduduk pribumi menghayati situasi dan menyerap lingkungan secara psikologis yang kemudian terjadi tranformasi identitas diri dan mendorongnya melakukan sebuah keputusan penting yaitu konversi agama kepada Islam. Dalam pandangan psiko-sosial, sejarah Asia Tenggara bukanlah persepsi orang luar,[25] konstruksi sejarawan atau catatan penguasa dan kelompok-kelompok dominan melainkan sebuah perspektif pribumi (view from within) dari fenomena sosial sehari-hari terutama yang diperankan para pedagang. “Pedagang-pedagang Asia sebagai penggerak sejarah,” kata Lombard, “kurang sekali digambarkan” dan “kurang diakui.”[26] Dengan demikian, perspektif psiko-sosial adalah pendekatan Indonesia-sentris dalam penulisan sejarah Nusantara sebagaimana telah dirintis dan terus dilakukan oleh para sejarawan sejak tahun 1970-an.[27]
Fenomena sosial yang mendominasi panggung sejarah Asia Tenggara pada abad ke-15-16 adalah jaringan perdagangan internasional yang bercorak kosmopolit. Perdagangan Asia Tenggara memiliki jalur-jalur yang menghubungkan rute-rute laut antara Cina (pasar internasional terbesar sepanjang sejarah) dan kantong-kantong penduduk di India, Timur Tengah, Eropa dan Asia Tenggara (below the winds). Produk-produknya seperti cengkeh, pala, lada, kayu dan lain-lain, kata Anthony Reid, menemukan pasar dunianya di Roma dan kota-kota Eropa.[28] Di Malaka, Ricklefs menggambarkan, perdagangan Indonesia dihubungkan dengan jalur-jalur yang membentang ke barat hingga ke Siam, Pegu, India, Persia, Arabia, Syria, Afrika Timur, dan Laut Tengah. Sedangkan ke timur adalah ke Cina dan Jepang. Ini mungkin adalah sistem perdagangan terbesar di dunia saat itu, sedangkan Gujarat di India dan Malaka di Asia Tenggara adalah dua tempat transaksinya yang paling penting.[29] Rempah-rempah hasil olahan masyarakat Nusantara seperti lada, palawija, beras, cengkeh, tekstil, kapas, kayu, sutra, emas, batu permata, rotan dan lain-lain adalah produk-produk yang paling berharga dalam aktifitas perdagangan ini.
Dilatarbelakangi situasi perdagangan yang sangat ramai seperti itu, konsekuensinya, motif ekonomi kemudian diasumsikan sebagai salah satu alasan kuat masyarakat Nusantara berbondong-bondong memasuki Islam,[30] karena saat itu para pedagang Muslim dan Cina adalah juragan-juragan yang menguasai jalur perdagangan dan menunjukkan kemakmuran hidup jauh di atas penduduk pribumi.[31] Walaupun faktor material ini masuk akal terbersit sebagai salah satu dorongan dan terbukti bahwa penduduk Muslim yang melakukan aktivitas perdagangan mengalami peningkatan status ekonomi, tulisan ini ingin menunjukkan bahwa faktor keuntungan ekonomi sesungguhnya hanyalah sebuah batu loncatan (stepping stone) atau langkah antara (temporary aims) untuk memasuki sesuatu yang lebih bermakna dalam konversi agama. “There is something beyond material gains!” Lain kata, lebih dari sekadar motivasi ekonomi, faktor-faktor psikologis sosial yaitu penghayatan masyarakat pribumi atas situasi perdagangan internasional yang melingkungi kehidupan sosialnya telah melahirkan imajinasi, harapan-harapan tentang masa depan dan identitas baru. Pada gilirannya, aspek-aspek tersebut berperan lebih kuat dalam mempengaruhi penduduk memasuki Islam dan memberikan kontribusi penting kepada percepatan Islamisasi. Dengan demikian, menjadi Muslim bukan hanya berarti memperoleh kemajuan ekonomi atau meningkatnya kesejahteraan hidup melainkan juga menjadi warga dunia (world citizenry). Dengan menjadi Muslim, ungkap Neher, “membawa mereka memasuki komunitas Islam internasional, yaitu ummat, sebagai faktor penting dalam kehidupan ekonomi masyarakat Nusantara. Perasaan komunitas (sense of community) dan kepercayaan diantara para pedagang Muslim memperluas kesempatan-kesempatan entrepreunership mereka.”[32]Mengomentari hasil studi Robert Jay tentang bagaimana masyarakat petani Jawa telah memasuki Islam bukan sakadar untuk tujuan ekonomi, Benda berkata: “Dr. Jay membuktikan bahwa Islam bukan hanya merupakan kekuatan dinamik dalam sejarah petani Jawa, bahkan merupakan faktor yang sangat menentukan bagi petani pada umumnya.”[33]
Dengan perspektif psiko-sosial, tulisan ini mencoba menangkap settingpsiko-sosial politik konversi agama dengan masuk ke dalam relung jiwa dan dunia pandang masyarakat pribumi yang mengalami transformasi identitas seperti dirasakan oleh berbagai lapisan penduduk pribumi Nusantara terutama para pedagang dan juga kelompok elit penguasa (raja-raja) serta kalangan istana. Perspektif psikologis ini dimaksudkan untuk memperkaya analisis dan melengkapi teori yang sudah dikemukakan oleh para sejarawan tentang motivasi-motivasi konversi masyarakat Asia Tenggara. Faktor penghayatan penduduk sebagai “view from within” ini relatif belum banyak diungkapkan karena dalam melakukan rekonstruksinya, sejarawan tidak membaca sosiologi emosi seperti penghayatan, rasa, respon, bayangan, emosi, harapan, imajinasi yang mengendap dalam fikiran dan perasaan manusia dalam panggung sejarah kehidupan.
Dalam sosiologi kontemporer, emosi mendapat perhatian besar sebagai faktor sentral dalam memahami perilaku dan tindakan manusia. Emosi adalah suatu realitas psikologis yang hadir melekat pada perasaan tapi ‘tidak empiris’ dan ‘tidak terbaca’ dalam realitas sosial. Sebagai realitas batin, ia berupa keyakinan, harapan, cita-cita, kekecewaan dan seterusnya. Seperti diungkapkan Geertz, emosi yang merajut rangkaian makna dalam kebudayaan adalah kata kunci dalam memahami tindakan dan kebudayaan manusia. Simbol-simbol lewat mana manusia berkomunikasi, mengekspresikan perasaan dan mengembangkan pengetahuannya dalam kehidupan, ujar Geertz, harus dipahami agar mengerti mengapa manusia melakukan tindakan sosial tertentu.[34] Dalam dunia perasaan penduduk pribumi Nusantara, berkembang harapan-harapan, imajinasi, optimisme, dorongan, kehendak peningkatan status sosial ekonomi dan idealisasi-idealisasi disebabkan oleh pengaruh lingkungan. Agar terkuaknya dunia pandang dan harapan-harapan penduduk pribumi, membaca gejolak yang terendap dalam perasaan dan fikiran adalah kebutuhan analisis sosiologis yang tak terelakkan.
Dengan kata lain, sejauh menyangkut tindakan manusia, begitu banyak sisi kehidupan yang harus dipertimbangkan. Disinilah, ungkapan Braudel, pelopor pendekatan total history, menginspirasikan kita bahwa semua unsur di masa silam –manusia, alam, peristiwa sosial politik dan situasi psikologis– memiliki ritme-ritme kehidupan, pertumbuhan dan perannya sendiri-sendiri, dan sebuah panggung sejarah baru hanya akan lengkap bila keseluruhan aspeknya memainkan perannya sendiri-sendiri ibarat sebuah orkestra.”[35] Tranformasi identitas yang kemudian mendorong penduduk Nusantara melakukan konversi agama kepada Islam dapat dilihat pada tiga fenomena: kalangan kerajaan, situasi internasional dan identitas baru masyarakat pribumi.
Raja, Istana dan Konversi Agama
Peranan penting istana-istana dan para raja di Asia Tenggara dalam mendorong proses Islamisasi tidaklah diragukan. Dalam membahas Islamisasi di sepanjang rute laut dan peranan yang dimainkan para penguasa dihadapan rakyatnya, banyak sejarawan tidak bisa menghindari kenyataan betapa kuatnya peranan istana dan para raja tersebut. Milner, karena itu, mengingatkan untuk tidak mengabaikan perhatian atas peranan mereka.
Para penguasa Asia Tenggara haruslah dilihat bahwa mereka telah (sebagaimana mereka memerankan dirinya) memainkan peranan yang sangat penting dalam proses Islamisasi, bahwa inovasi-inovasi dan inkalkulasi agama harus disandarkan pada mereka. Para raja telah berperan sentral dan memainkan karakteristik dominan di negara-negara Asia Tenggara.[36]
Paling tidak ada tiga alasan mengapa para penguasa dan istana harus diberi perhatian lebih dalam mengkaji proses Islamisasi: Pertama, dimilikinya peranan istimewa dan posisi stategis mereka dihadapan rakyatnya. Dunia pandang kerajaan-kerajaan dan para rajanya di Asia Tenggara relatif homogen, semuanya memiliki sistem penghayatan, tradisi dan dunia pandang yang relatif seragam sebagai warisan dunia pandang tradisi lokal dengan nilai-nilai Hinduisme India. Kerajaan-kerajaan Asia Tenggara merupakan titik pertemuan antara tradisi-tradisi politik Jawa, Burma, Thailand dan Vietnam di satu sisi dan ide-ide politik agama India di sisi lain. Reid menggambarkan bahwa unsur dominan kepercayaan tradisional tentang kekuasaan pada istana-istana di Asia Tenggara bersifat spiritual. Penguasa yang kuat “mengendalikan kekuatan-kekuatan kosmis, … yang tidak hanya dimediasi melalui dewa-dewa tetapi mewujudkan kehadiran-dewa-dewa tersebut di bumi.”[37]
Melalui “kekuasaan politik duniawi” yang dikombinasikan dengan realitas “kepercayaan agama,” raja-raja Asia Tenggara hadir menggantikan peranan-peranan yang dimainkan para kepala suku lokal sebelumnya. Seorang raja tidak hanya mendeklarasikan diri “sebagai intermediasi antara manusia dan keberadaan Tuhan; tetapi juga mengklaim sebagai inkarnasi Bodhisatwa atau Dewa Hindu…”[38]Dalam kasus Melayu, Milner mengatakan, “sebagaimana halnya Raja Jawa, Raja Melayu juga dipercaya sebagai pemilik semua tanah di wilayahnya dan rakyatnya menyadari dirinya sebagai budak-budak Raja.” Dengan demikian, “orang-orang Melayu menyadari dan menggambarkan dirinya,” kata Milner, “hidup tidak dalam negara atau dibawah hukum-hukum Tuhan, melainkan di bawah hukum Raja.”[39]Masyarakat Jawa percaya bahwa “mereka hanya memerlukan beberapa hari saja di dalam istana untuk menyadari keharusan melakukan pemujaan berhala dimana para penguasa istana memerintah atas nama Tuhan, mereka juga percaya tanah dan rakyat adalah milik raja-raja mereka.”[40]Raja Alam di Minangkabau dipandang oleh rakyatnya sebagai pancaran Tuhan. Seperti halnya rakyat Pasai, Dampier menyatakan, “rakyat Mindanau juga mendekati rajanya dengan hormat dan pemujaan, dengan membungkuk dan berlutut.”[41]
Ketika Islam masuk ke dalam struktur masyarakat seperti ini, dengan tradisi penghayatan dan dunia pandang yang sudah mengakar kuat, posisi tradisional raja dan rakyat seperti digambarkan di atas tidak berubah dan pada gilirannya memfasilitasi saluran yang efektif bagi proses Islamisasi. Sekali rajanya berpindah agama memeluk Islam, dengan mudah diikuti oleh seluruh rakyatnya. Gejala ini adalah umum terjadi di kerajaan-kerajaan Nusantara dan Asia Tenggara sebagai model konversi agama kerajaan-kerajaan Hindu kepada Islam.
Kedua, terdapat hubungan para penguasa istana dengan jaringan perdagangan dunia. Sudah menjadi determinasi sejarah Nusantara bahwa Islamisasi terjadi pada saat era perdagangan (the age of commerce) yang mengalami puncak kesibukannya pada abad ke-15–17. Dapat dikatakan bahwa pada saat itu hampir tidak ada satu pun kerajaan yang berada di pelabuhan-pelabuhan kota (city-ports) yang tidak terhubungkan dengan perdagangan internasional. Sementara itu, situasi perdagangan sendiri tengah mengalami puncak kesibukannya pada periode booming perdagangan perak (silver boom) yang terjadi antara tahun 1570–1630.[42] Agar perdagangan itu tetap aktif dan terjaga, adalah tidak mungkin bagi istana-istana di Asia Tenggara tidak mengikatkan diri mereka pada situasi perdagangan internasional saat itu.[43]
Konsekuensinya, relasi antara istana dan perdagangan tumbuh berkembang luar biasa. Dalam konteks inilah, Hooker mengatakan, "Islam secara khas adalah sebuah fenomena istana,"[44] dimana saudagar-saudagar besarnya umumnya adalah orang-orang Arab, Muslim India dan Cina. Sejak
awal, Islam –selain sebagai agama rakyat yang menyebar di lapisan bawah– kemudian juga berkembang menjadi karakter istana. Sebagai agama dakwah (missionaris), Islam kemudian menyebar melalui kota-kota pelabuhan di Asia Tenggara dimana transaksi-transaksi antara para saudagar Muslim dan kerajaan-kerajaan lokal terjadi. Maka, “perpindahan agama kepada Islam,” ungkap Jay, “menyebar ibarat gelombang, dari Timur ke Barat, melalui negara-negara kepulauan … Setelah itu, selama lebih dari bentangan dua abad, kebanyakan pusat-pusat perdangan besar termasuk pelabuhan-pelabuhan di utara Jawa, berada dalam pengaruh penguasa-penguasa Muslim lokal.”[45]
Ketiga, dampak besar masuk Islamnya para penguasa. Dalam pandangan dan kepercayaan tradisional pra-Islam, penguasa atau raja-raja dipersepsi sebagai “dewa-raja” (god-kings), “pancaran dewa” (god-emanations), atau “reinkarnasi dewa" (god-reincarnations) dimana rakyat menghamba dan melayani mereka sepenuh hati dengan jiwa raga karena raja dipercaya oleh rakyatnya sebagai titisan dewa sehingga legitimasi kekuasaan raja sangat kuat. Taat kepada raja dihayati sebagai taat kepada dewa. Maka, berontak kepada raja adalah sesuatu yang tabu atau tidak mungkin. Kepercayaan ini terus berlanjut hingga masuknya pengaruh Islam. Karenanya, mudah diduga, sistem kepercayaan lama ini melempangkan jalan yang mudah bagi Islamisasi. Konversi agama para penguasa lokal memfasilitasi percepatan gelombang masuknya Islam secara kuantitatif. Sejarah Melayu, seperti dikutip oleh Milner, menginformasikan bahwa Sultan Muhammad Syah, Raja Malaka, "adalah orang pertama yang masuk Islam di Malaka, dan kemudian memerintahkan semua rakyatnya, baik golongan rendah atau golongan elit, untuk masuk Islam.”[46]Di Buton, Halu Oleu atau Timbang-timbangan raja ke-6 Kerajaan Buton masuk Islam pada 1538 dan bergelar ‘ulul amri wa qa’imuddin(pemerintah dan penegak agama). Setelah ia masuk Islam kemudian diikuti serentak oleh rakyatnya.Alauddin masuk Islam pada 1605, ia merubah Gowa menjadi kerajaan Islam dimana ia menjadi sultannya yang pertama. Setelah Alauddin mengumumkan Islam sebagai agama resmi kerajaannya, ia memerintahkan seluruh rakyatnya untuk masuk Islam. Setelah mengislamkan rakyatnya, Sultan Alauddin juga menyeru kerajaan-kerajaan tetangga yaitu Bone, Soppeng dan Wajo untuk bersatu dan memeluk Islam dengan bayangan ancaman perluasan kekuasaan kompeni Belanda yang sudah melebar ke perairan Maluku.[47]Masuknya Islam ke kerajaan Banjar Kalimantan selatan dibawa oleh Demak saat Majapahit tengah mengalami kemunduran. Rajanya yang terkenal adalah Sultan Suriansyah, sultannya yang pertama yang sebelumnya bernama pangeran Daha. Ia merupakan tokoh terpenting dalam sejarah sejarah di Kalimantan karena melalui keislaman dialah, para pembesar dan rakyat Kesultanan Banjar masuk Islam. Kekuasaan Banjar meliputi daerah-daerah Sambas, Sukadana, Kotawaringin, Sampit, Batanglawai, Medawi, Landak, Mendawai, Pulau Laut, Kutai Pasir dan Berau.[48]Diberitakan dalam sejarah Tallo bahwa Islam dibawa ke Makassar oleh Sultan Abdullah dari Tallo[49]dan kemudian secara resmi diikuti oleh seluruh penduduk kerajaan Makassar dan Bugis selama tahun 1605–1612.[50]Selain penyebaran Islam, raja-raja Nusantara juga dipercaya sebagai penjaga syari’ah (the guardians of Islamic shari'a). Iskandar Muda, penguasa Aceh (1607–1636), "diberi tanggung jawab untuk memperkuat pemberlakuan syari’at Islam bagi rakyatnya.” Sementara, Siegel menyatakan, "sultan telah berfungsi sebagai penjaga berlakunya hukum Islam dan negara kerajaan difungsikan sebagai aparat dan administrasi untuk mengelola dan mengorganisasikannya."[51]
Dari penjelasan tersebut, nampaklah bahwa proses Islamisasi khususnya di daerah-daerah urban yaitu kota-kota pelabuhan sepanjang jalur pantai dimana kerajaan-kerajaan umumnya berada, berlangsung secara efektif. Malaka, selain sebagai pelabuhan terbesar juga "telah mendorong perluasan agama Islam di seluruh daerah pantai Semenanjung Malaka dan Sumatra bagian timur. Negara-negara pelabuhan baru Islam tumbuh subur di sepanjang rute-rute rempah-rempah ke pantai utara Jawa dan Maluku yang terus meluas ke Brunei dan Manila.”[52]
Komunitas Internasional
Akan keliru dan tidak lengkap bila analisis terhadap aspek-aspek konversi agama di Nusantara tidak memperhitungkan aspek-aspek jaringan global Asia Tenggara, atau dengan kata lain, hanya menekankan pada pertimbangan-pertimbangan dinamika lokal dan regional semata. Situasi internasional abad ke-15–17 saat itu sangat berpengaruh dan penting untuk diamati. Koneksi antara situasi internasional dengan saluran perdagangan negara-negara tradisional di kepulauan Nusantara adalah faktor penjelas yang nyata. Tetapi penting dicatat disini, bukan dalam konteks hanya sekadar perolehan-perolehan praktis ekonomi, melainkan faktor psikologisnya. Sudah menjadi kesimpulan bahwa selat Malaka dan kerajaan dagangnya berperan sebagai rute perdangangan paling penting pada masa pra-kolonial, sebagaimana dinyatakan Ricklefs,
Di Malaka, jaringan perdagangan Indonesia terhubung dengan rute-rute yang mencapai wilayah barat India, Persia, Arab Saudi, Syria, Afrika Barat dan kawasan Mediterranean, wilayah utara Siam, Pegu, dan wilayah timur ke Cina dan mungkin hingga Jepang. Ini adalah sistem perdagangan terbesar saat itu dan dua tempat pertukaran penting adalah Gujarat di barat utara India dan Malaka.[53]
Oleh karena internasionalisme kawasan ini, suasana kosmopolitan diberbagai kota pun sangat terasa. Kesultanan-kesultanan Islam di Nusantara adalah tempat berpadunya antara aktifitas politik dan perdagangan yang membentuk kultur kosmopolit. Denys Lombard membandingkan corak perdagangan di pelabuhan-pelabuhan kesultanan ini dengan corak kota-kota dagang di Italia dan Vlaanderen yang menurutnya memiliki kesamaan. Sultan sendiri, menurutnya, beserta kerabatnya turut berdagang dan memiliki saham dalam ekspedisi-ekspedisi kelautan dan negara memiliki pendapatan sangat besar dari aneka ragam pajak perdagangan. Bangsa-bangsa Asia ramai mengunjungi pelabuhan-pelabuhan itu, mereka menyatu dalam kegiatan perdagangan tanpa adanya sekat-sekat atau batasan keagamaan. Bangsa-bangsa Eropa pun ditemukan disitu belajar kepada penduduk prubmi.[54]
Melalui rute perdagangan ini, masyarakat Asia Tenggara tidak hanya disadarkan tentang adanya sebuah aktivitas perdagangan yang luar biasa, tetapi juga mereka menyaksikan sebuah realitas internasional dan kosmopolitanisme dunia yang diperankan pedagang-pedagang yang banyak sekali yang datang dari berbagai negara. Catatan perjalanan Tome Pires memberikan kesaksian atas kosmopolitanisme kota-kota pelabuhan ini. Di Malaka, ditemukan orang-orang asing yang sangat banyak: orang Gujarat, Bengali Tamil, Pegu, Siam, Cina, Habsyi, Armenia dan lain-lain. Mereka datang dan bergabung dengan orang-orang Melayu, Jawa, Bugis, para pedagang dari Luzon, dan kepulauan Ryukyu. Menurut Lombard, Pires dalam teks Portugisnya menyebutkan sekitar enam puluh etnis. Dan kosmpolitanisme seperti ini ia temukan di Cirebon, Banten, Ternate, Aceh, Makasar, Banjarmasin dan Palembang.[55]
Dalam konteks ini, secara psikologis, menjadi Muslim tidak hanya berarti berpindahnya agama dan bayangan kemakmuran hidup, lebih dari itu adalah masuk kepada sistem masyarakat global dan menjadi warga dunia. Sehubungan dengan ini, Neher menyatakan,
Masuk agama Islam membawa para pedagang kepada komunitas Muslim internasional, yaitu ummat, sebagai faktor penting kehidupan ekonomi Indonesia. Perasaan kelompok yang lebih besar (the greater sense of community) dan kepercayaan diantara para saudagar Muslim memperluas jaringan dan kesempatan mereka mengembangkan usahanya.[56]
pergi ke Mekkah melaksanakan ziarah ke Masjid al-Haram. Haji mempersatukan umat Islam Nusantara dengan seluruh umat Islam di dunia, haji yang merupakan saluran komunikasi dan informasi yang terpenting. Makkah, selain kiblat, juga merupakan jendela untuk melihat dunia luar dan sumber pemurnian dan pembaharuan agama. Ajaran Islam, “mengintegrasikan kaum Muslimin Asia Tenggara ke dalam komunitas global,” kata Ellen.[57] Bagi para penguasa, menyatu dengan masyarakat internasional atau kekuatan global melalui konversi agama, selain memberikan harapan dan janji-janji, juga merupakan langkah strategis untuk mendapat beberapa keuntungan:
Sebagaimana perdagangan, sistem kepercayaan dan ritual Islam juga memberikan landasan bagi terbentuknya imajinasi komunitas internasional, terutama melalui ibadah haji dimana sejumlah besar gelombang kaum Muslimin
Pertama, para penguasa atau para raja secara personal masuk ke dalam lingkaran komunitas politik ekonomi internasional. Seiring dengan kekuatan Islam sedang menggurita secara politik dan ekonomi, konversi kepada Islam memperkuat posisi politik para penguasa karena kekuatan Islam akan mempengaruhi kemajuan atau keruntuhan sebuah kerajaan. Dalam konteks inilah, Jay mengatakan, “hingga akhir abad ke-15 sejumlah orang Jawa yang
sudah masuk Islam telah mengalami kenaikan kepemimpinan politik di kota-kota sepanjang pantai utara Jawa seperti Ngampel, Bonang, Gresik, Demak, Tuban, Jepara dan Cirebon.”[58]
Kedua, perpindahan agama telah menaikkan ekonomi perdagangan dan kesejahteraan negara kerajaan. Menerima agama baru bermakna memperkuat ekonomi perdagangan karena para penguasa Asia Tenggara harus tetap menjalin kontak persuasifnya dengan para pedagang Arab, Muslim India dan Cina.
Ketiga, konversi juga berarti memperkuat negara. Kesultanan Aceh menjalin aliansi dengan Turki Ustmani dimana Sultan meminta bantuan Turki untuk menghadapi Portugis.[59]Aliansi Aceh-Turki bahkan dengan Amerika ini kemudian menyulut perang pertama Aceh dengan pihak Belanda pada tanggal 5 April 1873 yang kemudian menjadi peperangan yang berlangsung lama. Kerajaan Madjapahit yang oleh sebagian dipercaya diruntuhkan oleh tentara Demak pada 1520, kemudian diikuti oleh hegemoni Islam di Jawa. Kasus-kasus tersebut memunculkan asumsi kuat bahwa orang-orang Islam memiliki pasukan militer yang kuat. Beberapa istana kerajaan memiliki pasukan tentara yang kuat dengan 3.000 tentara di Pasai (pada tahun 1518), 40.000 tentara di Aceh (tahun 1620), 30.000 pasukan dimiliki Tuban yang siap bergerak selama 24 jam, hingga 100.000 tentara tersedia di Malaka (sekitar tahun 1520).[60]Agama baru, kata Reid, dengan dukungan massa dan ekonominya dapat menjadi sumber kekuatan yang ditakuti pesaing-pesaingnya.[61]Karenanya, dapatlah dimengerti bahwa Islamisasi di Asia Tenggara sejak masa awal, disambut oleh istana dan para raja karena perdagangan telah banyak memberikan arti pada mereka selain ekonomi. Melalui perdaganganlah para penguasa Asia Tenggara tertarik menjadi Muslim dan terlibat dalam aktifitas-aktifitas agama baru yaitu Islam.[62]
Identitas Baru
Telah dijelaskan dimuka bahwa Asia Tenggara adalah kawasan pertemuan peradaban-peradaban besar yang kemudian mendorong banyak perubahan dan perkembangan sosial politik yang terjadi didalamnya, mempengaruhi orientasi berfikir, semangat jiwa, corak kehidupan masyarakat dan menentukan arah perkembangan sejarah kawasan tersebut. Salah satu dampak yang segera muncul dari perkembangan sosial ekonomi akibat perdagangan adalah kemakmuran dan naiknya status sosial. Transformasi status sosial ekonomi adalah sesuatu yang niscaya dilihat dari situasi kegiatan ekonomi dalam bentuk perdagangan di yang sangat kaya di Jawa. Kekayaan pulau itu digambarkan Marco Polo pada tahun 1291 sebagai berikut:
“Pulau itu kaya sekali. Ada lada, buah pala, sereh, lengkuas, kemukus, cengkeh dan semua rempah-rempah yang langka di dunia. Pulau itu didatangi sejumlah besar kapal dan pedagang, yang membuat laba tinggi disana. Di pulau itu terdapat harta kekayaan sedemikian banyaknya hingga tak ada orang di dunia ini yang dapat menghitungnya ataupun menceritakannya semua. Dan ketahuilah bahwa Khan Agung tidak dapat memperolehnya, karena jauh dan berbahayanya pelayaran menuju ke sana. Dari pulau itu, para pedagang dari Zaitun (Quanzhou) dan Mangi (Cina selatan) telah memperolah harta banyak sekali dan begitulah halnya setiap hari.”[63]
Dalam situasi perdagangan Jawa seperti itu, para budak berubah menjadi orang penting dan para pedagang kecil menjadi saudagar besar. Denys Lombard menceritakan perubahan-perubahan ekonomi dan status sosial masyarakat Jawa karena posisi keislaman mereka. “Kelompok-kelompok sosial baru terbentuk dengan harta kekayaan berupa modal bergerak. Elit-elit baru tidak lagi berada di tengah-tengah dataran pesawahan yang kaya tetapi di dekat laut yang menjadi sumber penghidupan mereka, di kota-kota pelabuhan dan perdagangan yang bakal menjadi pusat-pusat sebuah peradaban baru. Karena fungsi dagang menjadi sangat penting, kota-kota batu itu tidak lagi berada di bawah kekuasaan ibukota-ibukota lama yang agraris di pedalaman. Jenis negara baru pun berkembang yaitu kesultanan.”[64]
Tome Pires menceritakan asal-usul para patih yang asalnya dari kalangan budak kemudian menguasai pusat-pusat terpenting di persisir. “Pete Rodim,” penguasa Demak, mungkin sekali seorang budak atau pedagang yang oleh Demak diangkat sebagai kapten untuk memerangi Cirebon dan menempatkan dirinya sebagai patih di kota itu. Patih Unus, penguasa Jepara yang kekuasaannya cukup besar, sebelumnya adalah seorang pekerja kasar yang “bekerja dengan tangannya.” Namun ketika ia pergi ke Malaka dengan kemuliaan yang rendah dan harta yang sedikit, disana ia menjadi orang kaya karena perdagangannya dengan orang Jawa dan berhasil menyingkirkan patih Jepara lalu menggantikannya. Ada seorang bernama Pate Adam, dari Gresik ia pergi ke Malaka untuk mencari rezeki. Disana ia menikahi seorang perempuan Melayu dan baru pulang lagi ke Gresik ketika ia telah mendapatkan warisannya. Di Surabaya, berkuasa seorang Patih Bubat yang dihormati dan memiliki citra diri yang baik sekali walalupun status dan latar belakang sebelumnya tidak diketahui. Tapi, sebagai seorang Muslim yang shaleh, ia mempunyai hubungan dengan Guste Pate, raja Hindu dari pedalaman. Konon ia berasal dari Sunda.[65]
Secara umum, abad ke-15-17 adalah periode munculnya orang-orang baru –budak-budak, rakyat kecil dan pedagang-pedagang yang menjadi kaya– meskipun beberapa dari mereka kurang mampu mengatur dirinya, Tome Pires menilai bangsawan-bangsawan besar Jawa itu “senantiasa berlagak sombong dan membuat orang menghormati mereka seakan-akan merekalah penguasa jagat raya…”[66] Pada perkembangannya, setelah terjadinya perubahan ekonomi dan naiknya status sosial, di kawasan Asia Tenggara muncul sebuah tipe masyarakat baru yang dicirikan oleh dua perubahan besar dalam kehidupan ekonomi dan politiknya. Perubahan besar dalam ekonomi adalah perkembangan sistem keuangan dimana masyarakat Nusantara untuk pertama kalinya menciptakan ekonomi moneter dan memiliki sistem keuangannya sendiri. Munculnya sistem moneter tentu menggoncangkan sistem sosial lama dan merubah sistem dependensi sosial politik. "Sebuah elit baru terbentuk, yang tidak lagi berdasarkan kelahiran dan keuntungan tanah pertanian, tetapi berdasarkan kekayaan benda bergerak.”[67]
Asia Tenggara pada umumnya dan kepulauan Nusantara Barat pada khususnya, menurut Lombard, “sesungguhnya merupakan laboratorium yang betul-betul luar biasa… hal ini karena kepulauan Nusantara yang selama lebih dari seribu tahun menjadi salah satu kawasan penghasil emas terpenting di dunia (lihat tradisi-tradisi mengenai Suvarnadvipa, “Negeri Emas”) mengalami kemerosotan produksi emasnya sampai habis sama sekali. Sumber-sumber emas di Jawa, tempat asal cincin-cincin emas yang sangat indah dari abad ke-9 dan ke-10, juga asal tempat pertukaran Majapahit, sudah tidak ada lagi setelah abad ke-15. Sumber-sumber di Sumatra, terutama di daerah Minangkabau, masih beberapa lama merangsang ekonomi Kesultanan Aceh, tetapi juga akhirnya habis pada abad ke-17.”[68] Revolusi ekonomi ini terjadi pada periode itu menyangkut perubahan sistem moneter, revolusi alat tukar, perniagaan emas, perak, perunggu, penjualan kerang-kerang mahal, keramik dan sebagainya.
Pada periode tersebut, selain terjadinya restrukturisasi sistem perbudakan, muncul juga sebuah konsep baru tentang negara dimana negara tidak lagi dilihat sebagai interaksi antara mikro dan makro kosmos tetapi juga sebagai perangkat hukum dan kontrak sosial. Eksistensi kesultanan di Asia Tenggara sendiri adalah sebuah tahap perkembangan penting dalam modernisasi sistem politik.[69] Pada periode dimana mayoritas masyarakat Asia Tenggara tengah dipengaruhi oleh perubahan-perubahan sosial, ekonomi dan politik ini, mereka sendiri secara simultan sedang terserap ke dalam sistem ekonomi internasional. Karena itulah, kebutuhan untuk melakukan transformasi diri ke dalam sebuah tatanan dunia baru dengan identitas diri yang baru pula akhirnya tidak terelakkan.
Dalam menghadapi tantangan-tantangan perubahan sosial pada abad ke-17 di Asia Tenggara, tradisi dan mentalitas lama tidak lagi relevan. Dalam konteks inilah, konversi agama kepada agama baru menemukan pijakan eksplanasinya. Selain tidak terhindarkan, berpindah agama kepada Islam juga bermakna memasuki sebuah lembaran hidup dan pergantian identitas baru. Perubahan identitas masyarakat pribumi ini dapat diamati pada abad ke-16 ketika sejumlah masyarakat rural dan urban masuk Islam. Diprakarsai oleh para penguasanya, mereka “meninggalkan cara hidup lama, seperti mengkonsumsi babi, kemudian mengenakan pakaian ala Islam, mengucapkan ‘assalamu’alaikum,’ melaksanakan ritual baru dan mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari masyarakat Islam internasional.”[70]
Selain itu, aspek penting lain dari konversi Islam yang menjelaskan bahwa masuk Islam berarti memiliki identitas baru adalah, seperti diutarakan Coedès, tentang sistem aristokrasi Hinduisme. Sebagaimana sejarah membuktikan bahwa Hinduisme Asia Tenggara berasal dari India, sistem kasta India juga “terkubur dan hilang ke dalam lapisan bawah kesadaran masyarakat Jawa.”[71] Dalam doktrin Hinduisme, tidak akan pernah ada perubahan status pemeluk Hindu dari kelas bawah ke kelas di atasnya selama mereka dilahirkan sebagai kelas rendah. Ketika Islam datang dengan prinsip egalitarianismenya dihadpan Tuhan, prinsip ini berfungsi sebagai pendorong penting bagi percepatan Islamisasi.[72] Doktrin egalitarianisme ini sepanjang sejarah Islam telah menjadi kekuatan pembebas (liberating force) bagi masyarakat-masyarakat tertindas yang terstruktur secara hirarkhis. Di Asia Tenggara, terutama di Jawa, prinsip persamaan ini menemukan momentumnya. Bagi kelas bawah (sudra) dalam struktur masyarakat Hindu, menjadi Muslim berarti menaikkan status dan posisi sosial, derajat kemanusiaan, harga diri dan identitas. Islam memperlakukan mereka sebagai manusia yang mulia dan terhormat. Prinsip ini, sebagaimana dicatat Nieuwenhuijze, adalah faktor pendorong bagi akselerasi Islamisasi bagi masyarakat urban dan penduduk yang tinggal di sepanjang pantai utara Jawa yang tidak menyukai ajaran kasta Hindu yang merendahkan mereka.[73]
Kesimpulan
Demikianlah, sejauh ini, tulisan ini sudah mendiskusikan proses-proses perubahan sosial dan Islamisasi di masyarakat Nusantara dan Asia Tenggara pada umumnya. Islamisasi dan perubahan sosial adalah dua sisi mata uang. Dari proses-proses perubahan sosial yang terjadi abad ke-15-17 yang ditimbulkan oleh aktifitas perdagangan seperti diuraikan di atas, sebagai kesimpulan, terdapat beberapa pergeseran yang penting dicatat pada periode tersebut:
Pertama, situasi sosial lokal dan regional Nusantara ke situasi global dan kosmopolit melalui aktifitas perdagangan internasional. Johan Meuleman menyimpulkan, orang seolah baru merasakan era globalisasi terjadi pada abad ke-20, padahal di Asia Tenggara, globalisasi sudah terjadi sejak abad ke-15/16.[74] Kedua, terjadinya peningkatan status sosial dari “buruh-buruh petani miskin” di ladang dan pesawahan ke “orang-orang kaya baru” dari pekerjaan dagang dan produksi barang-barang jadi. Ketiga, pergeseran dari sentra-sentra ekonomi pesawahan di daerah-daerah pedalaman kepada ekonomi maritim dan perdagangan di pelabuhan dan pantai-pantai. Seperti diuraikan Pires di atas, pada abad ke-15-17, orang-orang asing yang melakukan transaski jual beli sangat banyak ditemukan di sepanjang pantai Asia Tenggara: Malaka, Cirebon, Banten, Ternate, Aceh, Makasar, Banjarmasin dan Palembang. Keempat, pergeseran bentuk kegiatan ekonomi dari ladang-ladang pertanian ke kelautan yaitu tangkapan ikan dan ekspor-impor barang-barang produksi, dan keempat, pergeseran institusi dan sistem politik dari kerajaan (kingdom) ke kesultanan (sultanate) ketika pengaruh politik Islam meluas di Asia Tenggara.
Islamisasi pada hakikatnya adalah proses perubahan sosial budaya yang didorong oleh Islam sebagai driving force. Islam, dalam semua aspeknya (ajaran, perdagangan, politik dan kebudayaan), berperan sebagai media transformasi identitas masyarakat pribumi dari identitas lokal-regional ke identitas internasional atau warga dunia. Islam menjadi faktor penentu perubahan-perubahan sosial, budaya, politik yang terjadi. Transformasi identitas yang terjadi setelah menjadi Muslim pada gilirannya memperkuat akselerasi Islamisasi Asia Tenggara.
Pada hakikatnya, semua peristiwa di atas panggung drama sejarah kehidupan manusia bisa dijelaskan oleh pendekatan dan teori apa saja selama terdapat fakta-faktanya. Fakta-fakta itulah yang membuktikan validitas sebuah pendekatan. Seperti kutipan sejarah total Braudel di atas, dalam panggung sejarah manusia ada dimensi politik, sosiologis, ekonomi, hukum, agama, budaya, psikologis, emosi, peristiwa alam dan sebagainya. Masing-masing unsur tersebut bisa menjelaskan sendiri-sendiri wilayahnya, medannya, peran-perannya dan kontribusinya kepada konstruksi pengetahuan. Maka, beberapa teori, pendapat dan pandangan yang diungkapkan banyak sejarawan yang berusaha menjelaskan fenomena Islamisasi Asia Tanggara pada hakikatnya adalah saling melengkapi selama matching dengan fakta-fakta historis. Maka, pendekatan psiko-sosial dalam tulisan ini atas tak lain merupakan sebuah upaya pengayaan perspektif agar panggung sejarah dapat difahami lebih variatif dan lebih mendekati kebenaran. Wallahu ‘alam![]
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Fachry, Refleksi Faham Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern, Jakarta, Gramedia, 1986.
Ali, Fachry dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, Mizan Bandung, 1986.
Anderson, Benedict R. O’G., Language and Power. Exploring Political Culture in Indonesia, Ithaca and London: Cornell University Press, 1990.
Azra, Azyumardi, The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Networks of Middle Eastern and Malay-Indonesian 'Ulama in the Seventeenth and Eighteenth Centuries, Ph.D diss, Columbia University, 1992.
Azra, Azyumardi, Renaisans Islam Asia Tenggara, Rosda Bandung, 1999.
Azra, Azyumardi, Islam Nusantara. Jaringan Islam Global dan Lokal, Mizan Bandung, 2002.
Bastin, Jhon and Harry J. Benda, A History of Modern Southeast Asia, Prentice Hall, 1967.
Benda, Harry J., and John A. Larkin, The World of Southeast Asia, Selected Historical Readings, Harper & Row, 1967.
Berg, C.C., "The Islamization of Java," Studia Islamica, IV, Paris, 1955.
Cloud, Donald, G., Southeast Asia, Tradition and Modernity in the Contemporary World, Westview Press, Inc.
Coedès, George, The Indianized States of Southeast Asia, Autralian National University Press, Canberra, 1975.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Nasional Indonesia (SNI), Balai Pustaka Jakarta, 1993.
Emmerson, Donald K., Indonesia's Elite, Political Culture and Cultural Politics, Cornell University Press, Ithaca, London, 1976.
Geertz, Clifford, The Interpretation of Culture, Basicbooks, HarperCollins Publishers, 1973.
Hall, D.G.E, A History of Southeast Asia, Third Edition, Macmillan, ST Martin Press, New York, 1970.
Hasbullah, Moeflich (ed.), Asia Tenggara dan Konsentrasi Kebangkitan Islam, Bandung, Fokusmedia, 2003.
Hooker, M.B (ed.), Islam in Southeast Asia, Leiden, B.J Brill, 1983.
Jay, Robert R, Religion and Politics in Rural Central Java, Cultural Report Series No. 12, Southeast Asia Studies, Yale University, 1963,
Lombard, Denys, Nusa Jawa: Silang Budaya, Jilid II, Jaringan Asia, Gramedia, Jakarta, 2005.
McKay, Elaine (ed)., Studies in Indonesian History, Pitman Australia, 1976.
Mehden, Fred R. von der, Two World of Islam, Interaction Between Southeast Asia and the Middle East, University Press of Florida, 1993.
Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram, Kanisius Yogyakarta, 1987.
Neher, Clark. D., Politics in Southeast Asia, Schenkman Publishing Company, Inc., Cambridge, Massachusetts, 1981.
Nieuwenhuijze, C.A.O van, Aspects of Islam in Post-Colonial Indonesia, W. van Hoeve Ltd., The Hague and Bandung, 1958.
Ricklefs, M.C., A History of Modern Indonesia, Asian Histories Series: MacMillan, 1981.
Reid, Anthony, "Sixteenth-Century Turkish Influence in Western Indonesia," dalam Journal of Southeast Asian History 10, No. 13, December 1969, hal. 395 – 414.
Reid, Anthony, "Sixteenth-Century Turkish Influence in Western Indonesia," dalam Journal of Southeast Asian History 10, No. 13, December 1969, hal. 395 – 414.
Reid, Anthony, "The Structure of Cities in Southeast Asia, Sixteenth to Seventeenth Centuries," in Journal of Southeast Asian Studies 11(September), 1980.
Reid, Anthony, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680, Volume Two: Expansion and Crisis, Yale University Press, New Haven and London, 1993.
Reid, Anthony (ed.), The Making of an Islamic Political Discourse in Southeast Asia, Monash Paper on Southeast Asia - No. 27, 1993.
Reid, Anthony, (ed.), Southeast Asia in Early Modern Era, Trade, Power, and Belief, Cornell University Press, Ithaca and London, 1993.
Reid, Anthony (ed.), Sojourners and Settlers, Histories of Southeast Asia and the Chinese, Allen&Unwin, 1996.
Sardesai, Southeast Asia, Past and Present, Westview Press, Inc., Boulder-San Francisco, Third Edition, 1994.
Siegel, J.T., The Rope of God, Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1969.
Soebardi, S, 'The Place of Islam' dalam Elaine McKay (ed.), Studies in Indonesian History, Pitman Publishing Pty Ltd., 1976.
Steinberg, David Joel (ed.), In Search of Southeast Asia, A Modern History, Revised Edition, Allen&Unwin, 1987.
Suminto, Aqib, Politik Islam Hindia Belanda, LP3ES, 1986.
Suminto, Aqib, "Relation between the Ottoman Empire and the Muslim Kingdoms of the Malay-Indonesian Archipelago," Der Islam 57, 1980, hal. 301 -310.
Tarling, Nicholas, A Concise History of Southeast Asia, Frederick A. Praeger, New York, Washington, London, 1966.
William, Lea A., Southeast Asia: A History, New York, Oxford University Press, 1976.
Wu, Wang Gung, Nation and Community: China, Southeast Asia and Australia, Allen&Unwin, 1992.
-------------------
CATATAN KAKI.
[1]Untuk studi Asia Tenggara masa pengaruh India yaitu sejak abad pertama hingga abad ketiga belas, bisa dibaca beberapa literatur yang telah menjadi klasik. Yang terkenalnya misalnya Hall, D.G.E, A History of Southeast Asia, Macmillan, ST Martin Press, New York, 1970; George Coedès, The Indianized States of Southeast Asia, Australian National University Press, 1975, dll.
[2] Untuk masa-masa sesudahnya, lihat diantaranya, Neher, Clark. D., Politics in Southeast Asia, Schenkman Publishing Company, Inc., Cambridge, Massachusetts, 1981; Ricklefs, M.C., A History of Modern Indonesia, Asian Histories Series: MacMillan, 1981; Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680, Volume One, Yale University Press, New Haven and London, 1993; Milner, Anthony, The Invention of Politics in Colonial Malaya. Contensting Nationalism and the Expansion of the Public Sphere, Cambridge University Press, 1994; McCloud, Donald G., Southeast Asia, Tradition and Modernity in the Contemporary World, Westview Press, Inc., 1995. Lombard, Denys, Nusa Jawa: Silang Budaya, Jilid I dan II, Gramedia, Jakarta, 2005, dll.
[3] Sebagai konsekuensi dari kemunculan strata inteligensia sekular hasil sekolah Barat yang mendominasi percaturan politik Indonesia sejak awal abad ke-20, Indonesia pasca kemerdekaan tahun 1945 sudah berorientasi pada sistem politik demokrasi. Indonesia sudah bereksperimen dengan Demokrasi Liberal tahun 1950-an. Karena tidak cocok, kemudian dirubah dengan demokrasi ala Soekarno yaitu Demokrasi Terpimpin (1959-1966). Soeharto mengembalikannya ke demokrasi bernilai dasar Indonesia yaitu Demokrasi Pancasila selama Orde Baru walaupun dalam prakteknya penuh dengan reduksi dan distorsi makna. Era reformasi kembali ke demokrasi liberal yang sesungguhnya. Malaysia, Singapura, Vietnam, Thailand dan Filipina, kendati diwarnai kuatnya kultur Melayu tetapi semuanya bersemangat dan berorientasi pada demokrasi.
[4] Minoritas Cina selalu menjadi segelintir kekuatan ekonomi hampir di banyak negara dimana mereka berada. Selain jiwa pengembara dan pedagang yang inherent dalam kulturnya, sense of minority mereka membentuk sense of community yang kemudian melahirkan sense of survival. Di negara-negara pengembaraan, sebagai minoritas asing, mereka mengamankan diri dengan berafiliasi dengan kelompok-kelompok penguasa. Sejak zaman kolonial hingga kemerdekaan Indonesia, etnis Cina menempati posisi ini. Selama kekuasaan Orde Baru, ekonomi Indonesia yang kapitalistis sangat menguntungkan mereka. Akibat kebijakan proteksi, kolusi dan nepotisme, kelompok ini mendominasi ekonomi Indonesia dari level yang paling tinggi di pusat-pusat kota besar sampai tingkat rendah di daerah-daerah perdagangan. Gordon Redding dalam The Spirit of Chinese of Capitalism(New York: de Gruyter, 1993), mengatakan, “kelompok Cina hanya berjumlah 4 persen dari total penduduk Indonesia, tetapi mereka menguasai kurang lebih sepertiga kemakmuran ekonomi.”
[5] Lihat, George Coedès, The Indianized States of Southeast Asia, Australian National University Press, 1975.
[6] Walaupun bernada menyetujui, Ricklefs masih meragukan pandangan ini dengan alasan “tidak terdapat satu catatan pun mengenai persaudaraan sufi yang terorganisasi di Indonesia pada periode awal itu”(1993: 18). Keheranan Ricklefs ini adalah representasi sekelompok sejarawan Asia Tenggara yang belum menemukan jawaban mengapa Islam bisa tersebar luas dan diterima masyarakat Nusantara tanpa sebuah organisasi dalam pengertian modern.
[7] Ricklefs, 1993: 18.
[8]G. Coedès, The Indianized States of Southeast Asia(1975). Lihat juga, Neher, Politics in Southeast Asia, Schenkman Publishing Company, Inc., Cambridge, Massachussetts, 1983.
[9] Lihat, Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce, Part Two: Expansion and Crisis, Yale University Press, 1993, hal. 140-143. Argumen ini diikuti Azyumardi Azra bahwa “konversi” umumnya adalah perubahan atau pergantian dari kepercayaan sebelumnya kepada kepercayaan dan agama kitab suci, dan konsekuensinya, menunjukkan komitmen total penganutnya kepada agama barunya tersebut. Sementara “adhesi” adalah perpindahan atau kepengikutan agama tanpa meninggalkan praktek-praktek sebelumnya. Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, 2002, hal. 18-24. Sarjana lain, Berg, memberikan pandangannya, "yang sebenarnya terjadi adalah kebudayaan mereka secara gradual menyerap nilai-nilai Islam, setelah mereka menyerap elemen-elemen kepercayaan Hindu-Budha, dan kemudian menyerap juga elemen-elemen peradaban Eropa.” Lihat C.C Berg, "The Islamization of Java" Studia Islamica, iv, Paris, 1955, hal. 137.
[10]Menyangkut pengaruh India ini, penting untuk membedakan antara "Indianisasi” dengan "warisan India." Warisan kebudayaan India masih dipraktekkan oleh kalangan masyarakat Muslim tertentu hingga tahun 1970-an terutama di masyarakat Jawa yang sangat kuat diwarnai sinkretisme Islam-Hindu. Tetapi, “proses Indianisasi” atau Hinduisasi sudah benar-benar hilang dari bumi Nusantara, sudah berakhir dengan kedatangan Islam yang menggantikannya dengan Islamisasi. Sementara Indianisasi sudah menghilang, Islamisasi masih berlangsung terus hingga kini. Islamisasi adalah proses sosial budaya yang tidak pernah berhenti (never ending process). Akhir dari sisa-sisa kepercayaan Hindu adalah saat kaum abangan semakin terus berganti identitas menjadi santri pada akhir kurun Orde Baru. Indianisasi atau Hinduisasi kini hanya tinggal “warisan” Nusantara masa lalu.
[11]D.G.E. Hall, A History of Southeast Asia, Macmillan, ST Martin Press, New York, 1970, hal. 214.
[12]Robert R. Jay, Religion and Politics in Rural Central Java, Cultural Report Series No. 12, Southeast Asia Studies, Yale University, 1963, hal. 6.
[15] Schrieke, Indonesian Sociological Studies, Bagian 2, Den Haag dan Bandung: W van Hoeve, 1855, hal. 233.
[16] Pembahasan tentang “race theory” ini, lihat Azyumardi Azra, Jaringan Lokal dan Global Islam Nusantara, Mizan, 2002, hal. 37-50.
[17] Lihat pernyataan-pernyataanCoedes, Reid, Jay dan Soebardi tentang Islamisasi pada halaman-halaman selanjutnya tulisan ini
[20]Soebardi, "The Place of Islam," dalam Elaine McKay, Studies in Indonesian History, Pitman Australia, 1976, hal. 40.
[21] Reid, Southeast Asia … hal. 132-201. Dalam buku lain, sambil mengutip Max Weber, Reid juga menyebutkan "kekacauan tatanan sosial” (destructive social order) sebagai unsur pendorong lain perpindahan agama penduduk pribumi kepada Islam. Lihat, Anthony Reid, Southeast Asia in the Early Modern Era, Trade, Power, and Belief,Cornell University Press, 1993, hal. 152.
[22] Lihat D.R. Sardesai, Southeast Asia, Past and Present, Third Edition, 1993, hal. 53-55.
[23] Coedès, The Indianized States, hal. 33. Lihat Jay, Religion and Politics, hal. 7.
[25] Persepsi orang luar ini lama sekali menjadi ciri panggung sejarah Asia Tenggara, baik berupa berita Cina, kisah-kisah Arab atau catatan-catatan Portgis dan Belanda. Karena dikenal melalui kesaksian-kesaksian luar, menurut Denys Lombard, “kawasan Asia Tenggara lama sekali hanya dianggap sebagai kawasan pertemuan, penampungan, dan ‘kolonisasi’; istilah-istilah seperti ‘pengaruh,’ ‘sumbangan budaya,’ memiliki bobot yang paling penting dalam historiografinya.” Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Jaringan Asia, Jilid 2, Gramedia, 2005, hal. 10.
[27] Hingga pertengahan abad ke-20, penulisan sejarah Indonesia didominasi oleh pendekatan Eropa-sentris dimana peran-peran kolonial Eropa lebih ditonjolkan dalam penulisan sejarah. Namun, setelah ditemukan sumber-sumber dan kajian sejarah penting seperti disertasi J.C. van Leur tentang perdagangan di Asia Tenggara tahun 1934, Suma Oriental karya Tome Pires dan kemudian Asian Trade and European Influence in the Indonesian Archipelago between 1500 and 1630 karya M.A.P. Meilink-Roelofz yang diterbitkan di Den Haag tahun 1962, kecenderungan mulai berubah. Aspek-aspek lokal, regional dan nasional dalam melukiskan fenomena Indonesia masa silam mulai mendapat tempat sejak saat itu.
[28] Reid, Southeast Asia … hal. 1.
[30] Neher, Politics in Southeast Asia, hal. 15.
[31] Di Gresik misalnya, ada sebuah “pantai tanpa penghuni.” Ketika rombongan Zeng He (Cheng Ho) singgah, hanya ada sekitar seribu keluarga disitu dan orang-orang pribumi datang dari berbagai penjuru membuat sebuah komunitas baru perdagangan. Orang-orang Cina yang sudah masuk Islam tampak mentaati agamanya dan memperdagangkan emas, batu mulia dan barang- barang impor. Banyak dari mereka yang menjadi kaya dari aktifitas perdagangan itu. (Lombard 2005: 42).
[32] Neher, Politics in Southeast Asia, hal. 15.
[35] Fernand Braudel, The Mediterranean and the Mediterranean World in the Age of Philip II, trans. Siân Reynolds, Glasgow, William Collins, 1972, Vol. I, hal. 30.
[36] A.C Milner, "Islam and the Muslim State," in M.B Hooker (ed.), Islam in South-East Asia, Leiden, 1983, hal. 31.
[37] Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce, hal. 169.
[38] Lea A. William, Southeast Asia: A History, New York, Oxford University Press, 1976, hal. 25.
[39] Milner, Islam . . . , hal. 31.
[40] Ibid.Konsep faham kekuasaan Jawa nampaknya lebih filosofis dan agak rumit dari pada konsep-konsep kekuasaan lain di Asia Tenggara, apalagi dibandingkan dengan yang berkembang di Barat. Bagi masyarakat Jawa, kekuasaan itu abstrak, sumber kekuasaan bersifat heterogen, akumulasi kekuasaan tidak terbatas dan secara moral ambigus. Di sisi lain, dari interaksi diantara premis-premis yang bertentangan, koherensi dan konsistensi tradisi berkembang dan berubah. Namun demikian, kekuasaan berubah menjadi konkrit, homogen, jumlah kekuasaan di alam semesta adalah konstan dan kekuasaan tidak mempersoalkan legitimasi. Lihat, Benedict R. O'G. Anderson, Language and Power, Exploring Political Culture in Indonesia (Cornell University Press, Ithaca and London, 1990). Lihat juga, Donal K. Emerson, Indonesia's Elite, Political Culture and Cultural Politics (Cornell University Press, Ithaca and London, 1976); Fachry Ali, Refleksi Faham Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern, Gramedia Jakarta, 1986; Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa, Penerapannya oleh Raja-raja Mataram, Kanisius, Yogyakarta, 1987.
[41] Ibid.
[42]Reid, Southeast Asia . . . , hal. 133.
[43] McCloud mengatakan bahwa di negara-negara tradisional Asia Tenggara sendiri, salah satu fungsinya adalah mengelola perdagangan internasional. Fungsi negara yang uatama adalah (1) mengelola konflik, (2) mengelola sumber daya ketika jumlah penduduk meningkat, (3) mengelola perdagangan domestik yang berkembang, (4) dan mengelola perdagangan internasional.” Lihat, Donald McCloud, Southeast Asia, Tradition and Modernity in Contemporary World, Westview Press, hal. 89.
[44] M.B Hooker, "The Translation of Islam into Southeast Asia," dalam M.B Hooker (ed.), Islam in South-East Asia, Leiden, 1983, hal. 7.
[45] Jay, Religion and Politics, hal. 5.
[46] Milner, Islam . . . , hal. 30.
[49] Ibid
[50] Lihat, Anthony Reid, "Kings, Kadis and Charisma in the Seventeenth Century Archipelago," dalam Anthony Reid (ed.), The Making of an Islamic Political Discourse in Southeast Asia, Monash Paper on Southeast Asia No. 27, 1993, hal. 93.
[51] J.T Siegel, The Rope of God, Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1969, hal. 39.
[52] Reid, Southeast . . . , hal. 133.
[53] M.C Ricklefs, A History of Modern Indonesia, Macmillan, 1981, hal. 19.
[56] Neher, Politics . . . , hal. 15.
[57] Roy F. Ellen, 'Practical Islam in Southeast Asia,' in M.B Hooker (ed.), Islam . . . , hal. 73.
[58] Jay, Religion . . . , hal. 6. Lihat juga, J.C van Leur, Indonesian Trade and Society, The Hague and Bandung, 1955, terutama Bab 2, 3 dan 4; C.C Berg, "The Islamization of Java," Studia Islamica, IV, 1955, hal. 155.
[59] Lihat A. Reid, "Sixteenth-Century Turkish Influence in Western Indonesia," dalam Journal of Southeast Asian History10, No. 13, December 1969, hal. 395 - 414; H. A Suminto, "Relation between the Ottoman Empire and the Muslim Kingdoms of the Malay-Indonesian Archipelago," Der Islam 57, 1980, hal. 301 -310.
[60] Anthony Reid, "The Structure of Cities in Southeast Asia, Fifteenth to Seventeenth Centuries," dalam Journal of Southeast Asian Studies 11, (September 1980), hal. 329.
[61] Reid, Southeast Asia . . . , hal. 160.
[62] Hooker, The Translation . . . , hal. 7.
[67] Ibid, hal. 165.
[69] Ibid, hal. 178.
[70] Reid, Southeast Asia . . . , hal. 143.
[71] Jay, Religion. . . , hal. 5.
[72] Reid mengatakan bahwa prinsip egalitarisme Islam "secara ekstrim bersifat subversif" bagi kedudukan raja di istana (Reid, Southeast . . . , hal. 169, dan Reid (ed.), The Making . . . , hal. 83-84). Menurut penulis, fenomena itu mungkin hanya ditemukan pada kerajaan-kerajaan yang secara sangat kuat dipengaruhi oleh Hinduisme seperti kerajaan-kerajaan Jawa pedalaman (inland states). Dan, sulit ditemukan pada kerajaan-kerajaan di Sumatra yang pangaruh Indianya relatif kurang. Realitas historisnya, ide persamaan derajat ini memang lebih mudah diterima dan ditemukan pada kerajaan-kerajaan non-Jawa seperti Pasai dan Malaka, dan kerajaan-kerajaan pesisir utara Jawa (Gresik, Tuban, Demak, Cirebon dan Banten) yang secara kultural lebih terbuka terhadap ide-ide luar dan pengaruh asing, atau kerajaannya tidak menganut sistem feodalisme seperti yang kuat ditemukan pada negara-negara tradisional pedalaman Jawa. Karena itulah, gejala ini menjadi salah satu penjelasan, mengapa Islam lebih dulu masuk dan diterima di kerajaan-kerajaan wilayah Sumatra daripada di Jawa.
[73] C.A.O van Nieuwenhuijze, Aspects of Islam in Post-Colonial Indonesia, W. van Hoeve Ltd., The Hague and Bandung, 1958, hal. 36.
[74] Lihat Johan Hendrik Meuleman, “Islam Asia Tenggara dan Proses Globalisasi,” dalam Moeflich Hasbullah (ed.), Asia Tenggara dan Konsentrasi Kebangkitan Islam, Bandung, Fokusmedia, 2003, hal. 56-73.
Komentar
Posting Komentar