PERANAN BUGIS-MAKASSAR DALAM POLA PERDAGANGAN DI SELAT MALAKA


Perdagangan Suku Bugis-Makasar
Sejak abad 16, Makassar merupakan pelabuhan yang ramai dengan berbagai macam komoditi dari berbagai daerah yang dapat dibeli seperti barang-barang dari Maluku, Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores, Timor, Irian, Jawa, Kalimantan dan Philipina Selatan. Budak, rempah-rempah, prodak dari laut dan juga kayu cendana merupakan produk utama dari daerah timur. Di Makassar pula diperdagangkan produk-produk dari India dan Cina yang didapat dari kehadiran kapal asing di Malaka, atau para pedagang Makasar yang membelinya dari Pelabuhan Malaka. Berdasarkan penggalian reruntuhan benteng Sumbaopu di Makassar, terukir gambar tripang dalam sisa batu bata. Hal ini menunjukan sejak abad ke-16 sesuai dengan pembangunan benteng Sumbaopu, perdagangan tripang sudah ada di Pelabuhan Makassar.
Dalam sumber-sumber abad ke-17 tercatat tripang sudah menjadi produk perdagangan dan konsumsi di Cina Utara dan Jepang. Pada tahun 1763 ada satu junk Cina yang mengunjungi Makassar untuk membeli tripang, jung Cina ini memiliki bobot 600 ton. Sejak itu pelabuhan Makassar tercatat sebagai pasar yang menjual produk tripang yang didatangkan dari berbagai wilayah.  Di antaranya laporan syahbandar Pelabuhan Makasar 1717-1718 mencatat adanya tujuh pikul tripang yang datang dari Buton dan Trambora (Sumbawa).
Dalam kasus perlayaran dan perdagangan tripang orang Bugis-Makassar, pelayaran penangkap-penangkap tripang ke Marege (yaitu nama penduduk Australia dalam bahasa Bugis-Makassar) mengambil rute sebagai berikut: Ujungpandang, Salayar, Wetar, Leti, Moa, selanjutnya ke arah Selatan Tenggara ke Pelabuhan Darwin, dan seterusnya. Produk tripang ini biasanya sudaha diolah (dikeringkan atau diasap) dan dipilah-pilah berdasarkan kualitasnya. Jenis tripang Marege merupakan produk tripang terbaik yang diperdagangkan dan yang ditangkap di perairan Australia.
Kondusifnya Makassar sebagai pelabuhan perdagangan tersebut karena didukung oleh dua faktor yakni faktor dari dalam dan faktor dari luar. Pertama, tumbuhnya kerajaan Gowa menjadi kerajaan yang menghimpun dan melindungi negeri-negeri orang Makassar di sepanjang pesisir selatan jazirah selatan Sulawesi. Kerajaan ini juga menjadikan Makassar sebagai pusat perdagangannya. Kemudian diikuti oleh penyusunan sistem administrasi dan birokrasi negara maritim kerajaan Gowa yang kuat. Kedua, kedatangan orang-orang bangsa Eropa ke Nusantara yang  meramaikan perdagangan di Makassar. Di samping itu dengan kedatangan Portugis ke Makassar, orang-orang Makassar belajar dan memperoleh pengalaman dalam membuat bangunan-bangunan istana yang indah dan mendirikan benteng-benteng pertahanan di pantai. Kemudian dampak faktor ini terhadap kemajuan Makasar adalah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis. Jatuhnya Malaka menyebabkan berpindahnya pusat penyebaran Islam ke bagaian timur Nusantara.
Kondisi tersebut mampu mencatatkan Makassar menjadi pusat perdagangan di Indonesia bagian timur pada awal abad 17. Pada masa itu Makassar memegang supermasi perdagangan sesudah Jawa Timur, yaitu tempat berkumpul barang-barang dagangan terutama rempah-rempah dari Maluku untuk selajutnya dikrim ke barat melalui pedagang-pedagang Melayu yang berpusat di Malaka. Kondisi tersebut terus berlangsung hingga kedatangan VOC di pelabuhan Makassar dan terdiasporanya orang-orang Makassar dari tanah asalnya.



            Peranan  Pelaut Bugis Makassar  dalam Perdagangan di Selat Malaka

            Sejak kejatuhannya ke tangan Portugis tahun 1511, Malaka berubah dari pusat perdagangan menjadi pusat konflik internasional. Hal ini karena konflik tersebut bukan hanya melibatkan kerajaan-kerajaan pribumi dan etnis pribumi di Indonesia melainkan juga menyeret kekuatan asing seperti Portugis, Belanda, Inggris dan Spanyol dalam percaturan politik selama abad XVI-XVII di sana.
            Dominasi Portugis atas Malaka yang terjadi selama lebih dari seabad (1511-1641) telah menjadikan Malaka sebagai daerah tertutup dengan strategi monopoli dagangnya. Berbeda dengan Portugis, VOC yang mengusir Portugis dari sana meskipun menerapkan monopoli dagang tetapi juga memberi peluang kepada bangsa pribumi yang dianggap bersahabat dengannya untuk datang dan berdagang di Malaka atau perairan sekitarnya. Hal ini terbukti dengan banyaknya komunitas pelaut Bugis yang datang ke perairan Malaka pada pertengahan pertama abad XVII untuk melakukan aktivitas niaga di sana.
            Sejak tahun 1650-an gelombang kedatangan pelaut Bugis ke Malaka dan Riau semakin banyak. Menjelang akhir abad XVII mereka bahkan berhasil memantapkan posisinya di Riau dengan adanya tawaran dari raja-raja Melayu Riau yang saling berkonflik untuk membantu dan bersekutu dengan mereka. Kesempatan yang terbuka ini kemudian dimanfaatkan untuk memperkuat pengaruh Bugis di perairan Riau. Setelah memiliki posisi berpijak yang kuat di daerah Karimun, para pelaut Bugis ini kemudian mengangkat penguasa setempat dari kalangan mereka. Pengaruh itu menjadi semakin besar dengan peran mereka dalam pergantian raja-raja Riau.
            Posisi dan kekuatan ekonomi orang-orang Bugis ini berkembang bukan hanya di Riau tetapi juga ke semenanjung Malaya termasuk Malaka. Hal ini karena Malaka dianggap memberikan potensi ekonomi yang baik bagi para pedagang dan pelaut Bugis di sana. Di Johor pengaruh orang-orang Bugis ini menjadi sangat kuat setelah terlibat dalam konflik politik di sana. Salah seorang tokoh Bugis Daeng Merewah bahkan berhasil menduduki jabatan Yam tuan Muda.
            Gubernur Murman di Malaka melihat perkembangan ini dengan khawatir. Dengan statusnya sebagai sekutu VOC dalam perang Makasar, orang-orang Bugis bebas melayari wilayah VOC dan tidak bisa dikendalikan dengan monopoli VOC di sana. Sampai kejatuhan Malaka ke tangan Inggris, komunitas Bugis memegang peranan penting dan memiliki potensi ekonomi yang cukup besar di perairan itu.
            Dengan demikian bisa disimpulkan, bahwa penyebaran komunitas Bugis di wilayah Melayu tidak ditentukan oleh kejatuhan Makasar pada tahun 1669. Mereka sudah berada di sana sejak abad XVII awal dan memperoleh kebebasan dari VOC untuk berlayar dan melakukan aktivitas perdagangan.
             Dalam sejarah  Indonesia, Malaka bukan hanya memiliki nilai strategis sebagai pembatas dari periodisasi tetapi juga memainkan peranan penting dalam peristiwa politik dan ekonomi global yang menyebar secara internasional dan nasional. Dengan lokasinya yang terletak di tepi Selat antara Sumatera dan Malaysia sekarang yang merupakan jalur pelayaran internasional ke dan dari kepulauan Indonesia, di samping juga kondisi geografi yang mendukung, Malaka mampu mengembangkan dirinya sebagai pusat gravitasi bukan hanya bagi kepulauan Indonesia tetapi juga bagi seluruh kawasan Asia Tenggara bahkan mencapai Asia Timur dan Asia Selatan. Hal ini cukup menarik perhatian, mengingat sebagai suatu pusat perdagangan Malaka pada abad XV-XVI tidak memiliki produk komoditi lokal yang cukup diandalkan bagi kebutuhan niaga global masa itu. Tetapi dengan fungsi dan statusnya sebagai pelabuhan niaga dan bandar transito, Malaka mampu membuktikan dirinya sebagai suatu kekuatan baru yang tumbuh di kawasan Melayu dan menempati posisi yang sejajar dengan kekuatan-kekuatan besar maritim masa itu seperti Aceh, Johor dan Banten.
             Telah banyak karya sejarah yang ditulis mengenai Malaka sebagai suatu pelabuhan dagang dan pusat kekuasaan Melayu selama periode tersebut di atas. Banyak sejarawan telah menyoroti perkembangan Malaka dari berbagai sudut pandang sehingga hampir tidak ada lagi tempat yang tersisa bagi penelitian dan penjelasan sejarah lebih jauh. Akan tetapi pertumbuhan Malaka sebagai suatu bandar dan pusat kekuatan politik tidak terlepas dari unsur-unsur yang menopangnya.2 Unsur-unsur yang membentuk Malaka pada masa itu terdiri atas para pelaku kegiatan ekonomi yang menjadi tulang punggung perkembangan Malaka. Mereka berasal dari para pedagang dengan latar belakang berbagai macam etnis dari kepulauan Nusantara dan dari luar wilayah Indonesia sekarang, seperti orang-orang Gujarat, Persia, Cina dan India.
             Di antara kelompok etnis pedagang yang sangat berperan bagi pertumbuhan dan perkembangan Malaka pada masa itu adalah etnis Melayu yang merupakan penduduk pribumi di semenanjung Malaya tempat Malaka berada, dan etnis Bugis sebagai suatu kelompok pedagang pendatang dari luar kawasan Melayu. Kedua etnis ini sangat berperan dalam menentukan perkembangan sejarah Malaka dari sudut pandang non Eropa, mengingat keduanya memiliki andil yang besar dalam kehidupan ekonomi perdagangan pada periode tersebut terutama dalam perdagangan maritim di perairan Indonesia.3 Di bawah ini akan diuraikan secara singkat mengenai awal interaksi dari para pedagang dan pelaut Bugis yang tiba di perairan Malaka dan peranan mereka lebih lanjut sebelum kejatuhan Malaka ke tangan VOC.
Seorang utusan yang dikirim dari Siak kepada Gubernur Bort pada kesempatan ini meminta bantuan Kompeni dalam penambangan dan peleburan timah, sementara seorang dokter Belanda dikirim ke Johor pada tahun 1689 untuk memeriksa luka-luka karena tembakan yang dialami oleh seorang pejabat istana. Seorang penguasa Perak yang dengan yakin menulis permohonan bantuan dalam membeli sebuah kapal serta seekor kuda yang indah melakukannya atas dasar posisinya sebagai sekutu Kompeni. Namun bukti persahabatan paling besar ditunjukan dengan pembagian pengetahuan militer yang banyak mendukung keberhasilan orang Eropa di Asia.
            Meskipun orang-orang Melayu memiliki pengetahuan tentang persenjataan sebelum kedatangan orang portugis, efektifitas artileri Eropa bisa dianggap sebagai yang terbesar “Apa yang bisa dilakukan dengan senjata ini ketika cukup mampu membunuh kita?” tanya seorang tokoh Melayu. Orang-orang Eropa yang mau mengungkapkan rahasia tehnologinya diterima dengan baik oleh Melayu dan diberi posisi yang strategis sebagai pimpinan pasukan atau Kapten dari kapal-kapal kerajaan. Pada tahun 1756 dalam serangan Bugis terhadap Malaka, Gubernur mengeluh tentang Andreas Holtzen dari Tweebrugen yang bukan hanya memeluk Islam namun telah mengajari musuh dalam membangun benteng.Misalnya pada tahun 1756 satu batalyon dengan 803 orang mencakup 240 orang Eropa, 100 orang pribumi Kristen, 116 orang Bali, 77 orang Bugis dan kelompok campuran 27 orang Melayu, India Portugis dan Cina.
      Para pelaut dan pedagang Bugis yang tinggal di Malaka ini  banyak berperan selama periode itu. Mereka adalah pelaut yang lebih banyak mengutamakan kebutuhan primernya sebagai nelayan. Berkaitan dengan kehidupannya sehari-hari, mereka tinggal di perkampungan yang terletak dekat muara sungai Malaka dan kemudian juga membuka beberapa petak sawah untuk bercocok tanah denan menanam padi.11 Kegiatan perdagangan belum banyak mereka lakukan karena adanya persaingan dari para pedagang lain terutama yang memiliki modal sebagai penjual produk daerah masing-masing, seperti pedagang Jawa dengan membawa berasnya, pedagang Aceh dengan ladanya, dan sebagainya.
Gubernur menarik seorang pangeran Bugis dari kerajaan Riau menurut adat menghormati raja-raja besar yang telah lama mapan. Meriam ditembakan, kemudian Pangeran Bugis ini diberi rumah dan dihormati dengan makanan dan minuman. Para Gubernur Malaka, bahkan pendatang baru dari Belanda, mengetahui bahwa pengetahuan adat Melayu sangat diperlukan bukan hanya untuk menghindari timbulnya konflik tetapi juga untuk menemukan kesalahan-kesalahan pada orang Belanda sendiri
      Di antara para pedagang pribumi ini adalah para pemukim Bugis yang sudah sebelumnya telah tinggal di Malaka. Komunitas orang Celat Bugis ini kemudian lebih banyak beralih status menjadi pedagang. Para pelaut Bugis ini kemudian berlayar ke pulau-pulau dan perairan sekitarnya seperti Riau, Karimun, Johor, Selangor, dan Pahang. Di pulau-pulau tersebut orang-orang Bugis ini kemudian juga membuat pemukiman dan semakin bertambah banyak jumlahnya. Mereka kemudian saling menikah dengan penduduk setempat dan membangun komunitas sendiri di setiap daerah yang dikunjunginya. Pada sebuah daerah di mana komunitas Bugis cukup besar dan kuat, mereka mulai mengangkat pimpinannya sendiri
Awalnya Makassar membuka diri dan memberlakukan semua pedagang asing dengan sama. Namun, pertengkaran antara Portugis, Belanda, dan Inggris membuat kebijakan terbuka ini sulit dipertahankan. Ketika VOC membuka kantor dagang (loji) di Makassar (1607-1615), berbagai tuntutan untuk memutuskan hubungan dagang dengan Portugis terus muncul. Untuk menjawab tuntutan-tuntutan semacam ini, Sultan Alaudin mengelurkan pernyataan terkenalnya “Tuhan menciptakan darat dan laut, daratan dibagikannya di antara manusia dan laut diberikan-Nya kepada semua orang. Belum pernah saya mendengar seseorang harus dilarang melayari lautan.”
Tahun 1672, pimpinan Maskapai Dagang Inggris menuntut agar diambil tindakan yang lebih keras terhadap orang Portugis. Namun, kuasa dagang Inggris setempat memaparkan:
“Sang Raja menghendaki agar keduanya [Inggris dan Portugis] sama-sama bebas di pelabuhan Makassar, namun karena segan mengusik salah satu di antara keduanya, dan kebaikannya terhadap Inggris tak pernah luntur, seakan tidak ada lagi pemimpin politik Eropa yang dapat melebihinya. Akan tetapi negerinya pun sangat memerlukan pasokan barang dari orang-orang Portugis, sehingga hal terbaik yang dapat kita lakukan adalah berdiri di tengah-tengah dan tidak akan saling mengganggu di pelabuhan sang raja, namun begitu, meninggalkan pantai Sulawesi kita akan berjuang mati-matian melawan mereka.”
Kebijakan pintu terbuka ini bisa dipandang tak lebih dari sekedar sikap pragmatis tehadap kebutuhan perdagangan Makassar. Namun, kebijakan ini disertai dengan kesediaan yang unik untuk mengadopsi ide-ide segar yang dianggap bermanfaat. Makassar beralih dari satu keberhasilan ke keberhasilan lain, tidak hanya dalam soal penaklukan tetapi juga dalam inovasi teknik dan intelektual.
 Materi ini disusun kelompok oleh Suratman, Difa Walidayni, Moch Dahlan Bin Yalang, Adrian renaldi. dan Cita Suci. (Matakuliah Sejarah Pelayaran dan Perdagangan di Kawasan Timur Indonesia).

Komentar

Postingan Populer