CELEBES EN ONDERHOORIGHEDEN
Di tanah-tanah pemerintah, tidak ada peristiwa politik penting muncul (karena arti pentingnya, juga darisudut pandang politik, di sini perlu disebutkan bahwa apa yang diperlukan disiapkan untuk menghubungkan wilayah ini dengan Jawa. Kabel yang membentang dari Situbondo di Jawa Timur ke Makasar dan juga ibukota wilayah Buleleng di Bali akan dibuka pada bulan Oktober 1888). Bagi kesejahteraan penduduk di sana, kondisi pada tahun 1887 menjadi kurang menguntungkan dan juga lebih sedikit orang yang naik haji ke Mekkah daripada tahun 1886. Perdagangan tetap tertekan sebagai akibat dari buruknya panen kopi. Juga tanaman padi kurang berhasil dibandingkan tahun 1886. Sebaliknya tanaman jagung menghasilkan hasil yang berlimpah. Tentang kesehatan rakyat tidak banyak yang dikeluhkan. Kepada beberapa bupati yang rajin dan terpercaya, pemerintah Hindia memberikan medali perak bagi jasa-jasanya, kepada salah satunya bahkan diberi medali emas.
Hubungan kita (17) dengan sejumlah kerajaan pribumi memiliki sifat damai, meskipun para penguasa Luhu dan Buton yang sikapnya tidak menunjukkan resiko besar, baru setelah tindakan tegas dari pihak kita berubah menjadi lebih baik. Mengenai kesulitan dengan Luhu, dalam laporan sebelumnya diberikan wawasan tentang suatu penyelesaian. Meskipun utusan yang dikirim oleh raja untuk membuat kontrak baru pada bulan Juli 1887 telah meninggalkan Luhu, beberapa minggu berlalu sebelum para bangsawan Luhu mencapai Makasar, karena wilayah mereka telah meminta perantaraan raja Bone untuk memberi instruksi kepada utusan itu atas namanya, tetapi yang permohonannya sulit ditanggapi sehingga utusan ini yang sementara tinggal di Bone, baru bisa mendapatkan kewenangan yang memadai dari Luhu. Pada tanggal 15 September 1887, di Makasar sebuah kontrak baru dibuat. Setelah itu utusan mereka kembali ke Luhu. Beberapa hari kemudian gubernur menyusul yang dengan sebuah armada (terdiri atas dua kapal menara dan sebuah kapal pengangkut) ke sana, baik untuk menjelaskan kewajiban-kewajiban yang muncul dari kontrak itu kepada raja, maupun untuk mendorong pencabutan kebiasaan pemungutan di Luwu sebagai hak pantai untuk memancung awak kapal dan merampas barang-barang kapal yang kandas di sana. Di Palopo, tempat penguasa Luhu menyiapkan sebuah rumah bagi gubernur, bersama raja dan para bangsawannya suatu kesepakatan dibuat, di mana raja menyampaikan kepada semua yang berkumpul bahwa “adat biasa” yang dimaksudkan di atas sejak itu dihapuskan untuk selamanya dan terutama setiap orang yang dinyatakan bersalah melanggarnya akan dijatuhi hukuman mati. Terhadap suatu kunjungan ke geladak kapal orang itu, raja melihat sendiri bahwa gubernur menganggap lebih baik untuk tidak memaksakannya. Dari sikap beberapa penguasa di Luhu, di antaranya eprdana menteri pertama dan syahbandar, bisa disimpulkan bahwa raja untuk ini tidak mampu mempertahankan kekuasaannya dengan kuat. Syahbandar yang selama kehadiran gubernur telah dinyatakan lalai, sebaliknya dalam hal ini dicopot dari jabatannya. Setelah raja menerima kunjungan perpisahan, gubernur yang didampingi perdana menteri kedua berangkat ke kota pantai Bingkoka yang termasuk di bawah Luhu, yang juga menyampaikan kepada para kepala dan penduduk di sana dengan larangan terhadap penerapan “adat biasa” dan dengan hukuman yang akan dijatuhkan oleh raja (perjalanan ke Bingkoka tidak disertai oleh kapal perang, untuk mencegah agar penduduk tidak melarikan diri ke hutan apabila mereka melihat kapal-kapal itu mendekati kampungnya).
Jika persoalan dengan Luhu bisa dianggap selesai bagi pemerintah dengan cara yang terhormat, melalui perkembangan situasi ini, juga para penguasa Buton akhirnya mengakui kelalaian merka yang di sini menunjukkan bahwa sejak dahulu mereka telah menunjukkan pembangkangan dalam mematuhi kewajiban sehubungan dengan penjagaan gudang-gudang batubara milik angkatan laut di sana. Pada bulan Mei 1887 gubernur sendiri berangkat ke Buton dengan tujuan untuk membicarakan masalah ini dengan sultan yang baru diangkat beberapa bulan sebelumnya (lihat laporan halaman 15) dan jika pertemuan berlangsung memuaskan, pada saat yang sama dia akan dikukuhkan pada posisinya. Juga sikap sultan baru ini tidak sesuai dengan harapan sehingga gubernur ketika sultan tidak mau naik kapal dan bangsawannya tidak mau mewakilinya, memutuskan lewat perantaraan asisten residen yang mendampinginya, untuk menurunkan penguasa Buton apabila raja baru ini dalam waktu satu bulan tidak muncul di Makasar untuk mengakui kesalahannya dan mengajukan permohonan bagi pengesahan kontrak yang ada dengan pendahulunya. Baru ketika beberapa bulan kemudian gubernur kembali berangkat ke Buton, tetapi kini dengan tiga kapal perang (termasuk dua kapal berbendera) dan dengan ancaman kekerasan apabila tuntutan itu tidak dikabulkan, sultan mau menghadap. Dia bersama semua anggota dewan kerajaan menghadap gubernur di atas kapal Koning der Nederlanden, meminta ampun bagi sikapnya yang membangkang dan memberikan jaminan kerjasama bagi penjagaan gudang-gudang batubara. Ampunan yang diminta diberikan. Setelah itu Sultan mengesahkan kontrak yang ada dan dikukuhkan posisinya oleh gubernur. Dalam kunjungan balasan yang dilakukan gubernur, disertai oleh seluruh kesatuan pendarat milik tiga kapal perang, sambutan tidak perlu dikhawatirkan dan terbukti pamer kekuatan menciptakan kesan yang menguntungkan kepada para penguasa Buton.
Berbagai sengketa antar kerajaan lewat perantaraan pemerintah kita berhasil diatasi. Jadi asisten residen berhasil mencegah konflik yang terjadi antara raja Soppeng dan ratu Bone mengenai kelalaian yang ditunjukkan oleh ratu Bone dengan wafatnya dan penguburan kedua kerabat, dulung daerah Lamuru yang tunduk kepada Bone. Atas permohonan raja Soppeng, asisten residen memberikan kerjasamanyauntuk menyelesaikan sengketa yang muncul di antara dua bangsawan Soppeng mengenai kepemilikan sawah padi yang akan mereka selesaikan dengan senjata. Pada awal tahun 1888 gubernur berhasil menyelesaikan suatu sengketa yang sangat gawat antara Bone dan Wajo pada kesempatn Bone melakukan persiapan untuk menyerbu Wajo, yang peristiwanya apabila tidak dicegah tepat waktu bisa menimbulkan peperangan yang mungkin akan melibatkan raja-raja lain di Sulawesi Selatan. Alasan sengketa di sini terletak pada kenyataan bahwa Pangeran Wajo Aru Padali, kini dia bertindak sebagai raja Wajo (laporan sebelumnya halaman 14), jabatan ranrang talotanreng di Wajo yang diberikan turun-temurun pada tahun 1876 kepada ratu Bone yang sampai sekarng didudukinya sebagai penjabat di luar Bone, dilepaskan dan diserahkan kepada paman ratu, pangeran Wajo La Pasamula. Ratu Bone yang sangat marah atas tindakan Wajo ini menuntut pengembalian jabatan itu untuk bisa menyediakannya bagi putrinya. Sebaliknya menurut dugaannya tidak ada keberatan dari pihak pemeirntah karena pasal 29 dari kontrak politik yang dibuat antara pemerintah dan Bone hanya menyebut ratu, anggota hadat dan perdana menteri sebagai orang-orang yang dilarang menduduki jabatan itu di luar Bone. Untuk menyelidiki sengketa ini, gubernur pada bulan Pebruari berangkat sendiri ke Bone dan Wajo, dan saat itu berhasil untuk membuat ratu Bone melepaskan tuntutannya, sementara dia dari raja Wajo yang tindakannya dalam hal ini tidak bisa disalahkan, berusaha mengetahui bahwa dia mencoba untuk menyampaikan perasaannya yang terluka di Bone melalui sebuah surat perdamaian. Dalam surat itu, raja menunjukkan bahwa menurut lembaga-lembaga Wajo, jabatan ranrang hanya bisa diserahkan kepada seorang yang tinggal di Wajo. Karena itu La Pasamula sebagai ahli waris ratu yang paling dekat di Wajo, untuk sementara dipulihkan haknya, tetapi mereka sebagai pemegang hak atas jabatan itu tetap diakui, sehingga juga La Pasamula bisa mengembalikan jabatan ranrang kepada putrinya segera setelah salah satu putrinya tinggal di Wajo.
Sekretaris bagi urusan pribumi pada bulan September 1887 mengirimkan seorang utusan ke Sidenreng untuk menyelesaikan suatu persoalan, sehubungan dengan pengesahan kontrak baru yang dibuat dengan kerajaan itu pada tahun 1886. Dari pasal-pasalnya pemerintah Hindia ingin mencoret beberapa. Setelah raja dan hadat bersepakat, pengesahan kontrak dilakukan dengan keputusan tanggal 25 Januari 1888 nomor 6. Tentang daerah pemerintah Pare-Pare yang “dititipkan” kepada raja Sidenreng sekarang ini (lihat laporan sebelumnya halaman 15), yang diperintah oleh raja Wajo sebagai penguasa yang meninggal pada bulan Oktober 1885, perlu dicatat (18) bahwa setelah meninggalnya, raja Sidenreng mengambil alih pemerintahan atas Pare-Pare. Di bawah pemerintahan almarhum penguasa tersebut, perdagangan kopi yang dahulu menonjol di Pare-Pare sebagian besar harus dialihkan ke Luhu dan kota-kota pantai lainnya dan sebagai akibatnya banyak pedagang harus pindah dari Pare-Pare.
Sikap Wajo selama pendekatan ini cukup baik. Bukan hanya Aru Padali yang telah disebutkan, juga setelah penampilannya sebagai raja, menunjukkan pandangan baiknya yang sering terbukti terhadap pemerintah tetapi juga cakuridi salah satu raja Wajo yang paling dominan, pada bulan September 1887 berangkat ke Makasar untuk menyampaikan harapannya kepada gubernur sementara ranrang tua juga memiliki hubungan dengan penguasa wilayah. Selama gubernur pada bulan Pebruari mengadakan penyelidikan di Wajo mengenai sengketa dengan Bone, dia tiba di Lagusi dengan beberapa orang Wajo lainnya, yakni dengan pilla, pabicara dan datu Sawito.
Ratu Baru yang berkuasa selama beberapa tahun pada bulan September 1887 tampil dengan para bangsawannya di Makaasar untuk memberi hormat kepada pemerintah, pada kesempatan ini dia dikukuhkan dalam kedudukannya dan pada tanggal 28 bulan itu suatu kontrak baru yang sesuai dengan tuntutan dibuat dengannya. Pada bulan yang sama juga kontrak politik yang ada dengan Rappang diganti, di mana seorang pejabat yang dikirim ke sana bertindak sebagai utusan gubernur. Tentang pengesahan kontrak ini dan juga kontrak yang dibahas di atas dengan Luhu, di negara ini belum diterima beritanya (kontrak dengan Baru oleh Gubernur Jenderal disahkan dengan keputusan tanggal 24 Maret 1888 nomor 5. Pada tahun 1887 selain itu juga disahkan dengan penandatanganan 5 Juli kesepakatan baru (dalam laporan sebelumnya tidak disebutkan), yang pada tanggal 21 Desember 1885 dibuat dengan Laiwui, seprti juga dengan penandatanganan kontrak yang diperbaharui pada tanggal 18 Oktober sejak tahun 1886 dengan Bima dan Dompo. Kontrak dengan Laiwui disampaikan kepada Parlemen). Terutama selama tahun ini kesempatan muncul untuk membuat kesepakatan melalui kontrak pelengkap dengan beberapa kerajaan lain di Siulawesi yang hubungan kontraknya dengan pemerintah belum lama ini diatur kembali tentang pengalihan kepada lembaga peradilan pemerintah dan para hakim tugas untuk menyelesaikan tindak kejahatan atau pelanggaran oleh para kawula raja sehubungan dengan sambungan telegram. Ini terjadi dengan Sidenreng, kerajaan-kerajaan Mandar di Balangnipa, Pambuang dan Majene serta kerajaan Alfur Laiwui.
Seperti yang diketahui dari laporan sebelumnya, pada akhir tahu 1885 seorang pastur Katolik di pantai Laiwui yakni di teluk Kendari ditempatkan, dengan tujuan jika mungkin untuk bisa menyiapkan sebuah misi di antara orang-orang Alfur kafir di Sulawesi Tengah. Misionaris ini pada bulan Oktober 1887 kembali ke Jawa. Menurut berita formal selama tahun 1887 tampaknya pekerjaan ini tidak banyak membawa hasil, tetapi Islam di Sulawesi Tengah dan di semenanjung bagian timur mengalami kemajuan.
Sebagai akibat dari kondisi cuaca yang sangat tidak menguntungkan (232), panen padi pada tahun 1887 tidak memuaskan. Pada saat itu tampak bahwa di Noorderdistricten, karena kurangnya tukang potong yang dalam jumlah besar berasal dari wilayah raja-raja, tidak bisa memanen sebagian hasil tanaman yang ada di lahan dan lenyap. Juga tidak terdapat kekurangan bahan pangan. Seperti pada tahun-tahun lalu sejumlah besar padi dan beras didatangkan dari Bali dan tempat lain. Harganya kembali naik sesuai dengan waktu dan tempat, yakni untuk padi dari f 2,30 sampai f 4, dan untuk beras dari f 4,50 sampai f 9 per pikul. Tanaman kedua termasuk jagung yang di sana-sini ditanam juga sebagai tanaman pertama, berhasil sesuai keinginan.
Di seluruh wilayah itu, mereka menjumpai pohon kelapa dalam jumlah besar atau kecil tetapi tanaman kelapa ini hanya ada di pulau Selayar. Di sana penjualan kelapa, kopra dan minyak kembali naik. Beberapa tahun tanaman kopi diperluas dan di beberapa daerah terdapat kekurangan tanah yang cocok bagi tanaman ini. Dari cara penanaman yang lebih intensif, penduduk masih kurang memahami meskipun ada nasehat dan petunjuk yang diberikan dari pihak pemerintah.
Tetapi biasanya kopi Sulawesi (juga yang ada di Bonthain, Bulukumba dan di kota-kota pelabuhan kecil lainnya dimuati) diangkut ke Makasar dan di sana dipisah-pisahkan lebih jauh untuk diekspor. Dari ibukota ini, pada tahun 1886 sebanyak 133.554 pikul diekspor (termasuk sisanya dari tahun 1885 sebanyak 84.040 pikul) dan pada tahun 1887 sebanyak 98.637 pikul (termasuk sisa dari tahun 1886 sebanyak 21.950 pikul). Dari jumlah ini dalam ekspor telah dilakukan sebagai berikut
1886 1887
Ke Belanda 74.824 56.027 pikul
Ke Amerika 34.380 22.567 pikul
Ke Singapura 110 925 pikul
Ke Jawa dan Hindia Belanda lainnya 24.240 19.118 pikul
Seluruhnya 133.554 98.637 pikul
Kopi yang berasal dari wilayah raja-raja 17.000 45.000
Di pasar-pasar dekat lokasi produksi, para pembeli membayar bagi produk kotor seharga f 25-30 per pikul, tetapi di tempat pengapalan sesuai dengan kualitasnya, f 40-60 per pikul kopi murni diperoleh.
Sehubungan dengan perkebunan yang dibuka di tanah partikelir dan di tanah-tanah sewaan atau tanah hak guna usaha di wilayah ini, terutama sama seperti yang disebut dalam laporan tahunan sebelumnya. Kedua perkebunan dengan hak guna usaha Bakungan dan Kutulu yang panen kopinya sama sekali gagal, pada tahun 1887 dijual secara lelang kepada umum.
Sumber : Koloniaal verslag over het jaar 1881
Komentar
Posting Komentar