CELEBES EN ONDERHOORIEGHEDEN

Di wilayah pemerintah langsung, di bidang politik (18) tidak ada peristiwa penting. Kraeng Bonto-Bonto dan putra-putranya hanya hidup sebagai warga yang tenang di afdeeling Pangkajene dan semakin lama semakin banyak berhubungan dengan pemerintah. Jika pandangan penduduk Eropa dan Cina terhadap pemerintah selalu baik, sementara pandangan penduduk pribumi karena kurangnya kepercayaan dan pendekatan masih selalu perlu dibenahi. Tentang keamanan orang dan barang tidak banyak yang bisa dikeluhkan. Kondisi kesehatan pada umumnya baik. Panen kopi yang buruk tidak menguntugkan bagi perdagangan kecil.
            Dalam hubungan kita dengan raja-raja pribumi tidak ada gangguan, tetapi sekali lagi perkembangan di antara beberapa kerajaan saling terjadi. Terutama semakin banyak adanya pendekatan antara Wajo dan Bone. Hampir tidak ada perpecayan seperti yang ditunjukkan dalam laporan sebelunya di daerah Wajo, berkat sikap baik Aru Padali (lihat tentang pangeran Wajo ini di samping juga datu Mario ri awa di Soppeng, dalam laporan tahun 1878 dan 1879), yang terbukti meyakinkan akan mematuhi nasehat pemerintah, bahwa suatu opembunuhan yang dilakukan di wilayah pila Wajo terhadap seorang kawula Bone telah membuat hubungan antara kedua pihak menjadi tegang sehingga bagi keduanya tidak ditemukan jalan keluar lain kecuali mengangkat senjata. Sementara Bone untuk ini tetap menunjukkan sikap hati-hati, yang berusaha dikaitkan oleh pemeirntah pada raja dan hadatnya terhadap usaha Wajo untuk mendominasi, penguasa Bone kini menyimpang dari pedoman itu dan mengajukan tuntutan di luar pengetahuan pemerintah terhadap pilla Wajo sebagai ganti rugi bagi pembunuhan yang dilakukan, yang menurut tradisi setempat baginya tidak bisa diterima. Pilla sebaliknya mencela Bone dan menolak tuntutan itu dengan tegas, menolak menerima utusan yang dikirim oleh Bone dan mengusirnya dari daerahnya. Kepala pemerintah daerah yang diberitahu tentang perkembangan yang mengkhawatirkan ini, mengirimkan seorang pejabat Eropa ke setiap kerajaan dan menegaskan kepada mereka untuk bersyukur bahwa kedamaian masih tetap terjaga dan tentang suatu uang darah yang harus dibayarkan oleh Wajo dibuat sesuai. Pandangan bahwa Bone, yang kini telah menyerahkan perwalian kuasa kepada Goa, mungkin dalam peperangan akan dibantu oleh Goa, tampaknya segera  mempengaruhi perubahan sikap pilla Wajo. Penguasa Bone diingatkan untuk tidak kembali memancing kesulitan tak terduga selanjutnya dan untuk menyerahkan sengketa yang muncul kepada gubernur wilayah itu. Juga raja Goa telah menulis sebuah surat kepada cucunya, suami ratu Bone.
            Bagi konflik antara Wajo dan Bone untuk bisa mendapatkan suatu penyelesaian, juga di bagian lain kerajaan ini ada rencana yang mengarah pada perang dirancang, bukannya tidak mungkin dihasut oleh Sidenreng. Apakah karena ambisi bagi penaklukkan atau mungkin untuk merampas peran Bone bagi bantuan pemerintah terhadap Wajo. Gubernur memberitahukan bahwa pangeran Goa Kraeng Mangepe, putra menantu raja Sidenreng dan penguasa sementara daerah Soppeng di Ajakang, di perbatasan Baluse yang tunduk kepada Soppeng penduduk berkumpul, dengan tujuan untuk mengancam penguasa Balusu dengan kekuatan senjata agar memberikan konsesi yang menguntungkan bagi mereka. Karena Balusu berbatasan dengan Baru dan Tanete, dan kemungkinan Kraeng Mangepe juga akan membiarkan daerah-daerah yang berbatasan langsung dengan kita begitu saja, gubernur memandang perlu juga  di sini untuk menengahi antara keduanya. Asisten residen dengan demikian dikirim ke Balusu, juga putra mahkota Goa berangkat untuk mendamaikan ayahnya, raya Goa Kraeng Mangepe, sementara raja Sidenreng diperintahkan untuk memanggil kembali menantunya dari Ajakang dan melarang setiap campur tangan dalam persoalan Soppeng. Dalam waktu beberapa hari  melalui sarana ini, Karaeng Mangepe bersama gerombolannya berhasil diusir dari perbatasan Balusu dan perdamaian antara kerajaan ini dan Ajakang diupayakan. Aru Padali yang dimaksud di atas, meskipun untuk itu tidak dimunta, juga bersedia bekerjasama untuk menjaga perdamaian. Pada bulan Maret kepada pangeran ini oleh pemerintah Hindia dianugerahkan medali emas atas jasa-jasa dengan rantainya, sebuah bukti penghormatan yang sangat dihargai di Sulawesi. Suatu hubungan erat antara Aru Padali dengan pemerintah bisa  membawa dampak positif atas hubungan persahabatan kita dengan kerajaan Wajo. Pangeran pada bulan Pebruari memastikan ketika dia bertemu gubernur di Makasar, bahwa di Wajo untuk sementara waktu ketenangan melanda. Salah satu raja Wajo, datu Palipu dan Dopeng, selama tahun 1880 meninggal. Tentang penggantiannya tidak terdengar informasi khusus.
            Bersama raja Sidenreng, gubernur mengadakan pertemuan di Pare-Pare, pada kesempatan ini raja Sidenreng berangkat ke Suppa untuk menghadiri perkawinan putri ratu Suppa, ratu Bone dengan putra sulung pangeran mahkota Goa. Kesempatan ini dimanfaatkan untuk mengajak bicara penguasa Sidenreng tentang kewajiban yang dibebankan kepada mereka. Di Tanette, La Sasu satu-satunya putra ratu memberikan banyak dorongan. Dia tidak mau mengganggu kekuasaan ratu itu, dan berbagai gerombolan yang juga berasal dari luar Tanette menerima bantuan dan perlindungan darinya. Atas permohonan ratu, gubernur memerintahkannya untuk tinggal di Makasar, tetapi juga di sini dia meyelesaikan berbagai persoalan. Terbukti bahwa dia apakah terlibat dalam pembunuhan atau tidak, tetapi dinyatakan bersalah karena melakukan penahanan tidak sah, dan terhadap dua kawula pemerintah yang membantu meloloskan sejumlah kawulanya. Dia ditangkap dan dikirim ke Jawa. Karena suatu tuntutan hukum dianggap tidak tepat, pemerintah Hindia memutuskan untuk menganggapnya tidak bersalah dalam tindakan politik. Pada bulan Desember 1880 kepada La Sasu selanjutnya dilarang tinggal di Celebes dan kepadanya ditunjukkan Ponorogo di Jawa sebagai tempat tinggal.
            Raja baru Balangnipa (Mandar) tampaknya harus menghadapi kelompok-kelompok di daerah yang sampai sekarang masih bertahan. Pad abulan Desember dia tampil bersama semua anggota hadat di Makasar dan membuat permohonan agar diakui. Gubernur sebaliknya menganggap lebih baik untuk bisa membuat pencapaian akta pengakuan permanen itu tergantung pada pecobaan selanjutnya. Tentang kondisi di daerah Mandar Mamuju ini, di mana juga perpecahan terjadi pada tahun 1879, selanjutnya tidak ada berita yang menguntungkan lagi.
            Selama tahun 1880 oleh kapal perang Watergeus dalam perjalanannya di bagian timur kepulauan Hindia, mengibarkan bendera di beberapa kerajaan di pantai barat Sulawesi dan gubernur yang didampingi oleh asisten residen dengan kapal perang uap Sumatra mengadakn perjalanan ke bagian tenggara wilayah ini yang kurang dikenal, lebih khusus lagi ke teluk Kendari atau Vosmaer yang termasuk kerajaan Alfur Laiwui. Di teluk ini yang dahulunya merupakan sebuah pangklaan pemerintah tetapi yang pada tahun 1841 dibongkar, saat itu suatu wabah cacar meminta korban dan perpindahan penduduk yang besar, orang menemukan enam pemukiman orang Bugis dan orang asing lainnya yang kebanyakan berasal dari Bali, Selayar dan sebagainya, yang bisa mengelola perdagangan yang menguntungkan dengan penduduk Laiwui. Mereka hanya bertahan di pedalaman dan hanya mau datang ke pantai untuk bertukar produk (terutama rotan dan beras) dengan katun, candu, barang-barang logam dan sebagainya (menurut laporan yang diperoleh dari orang asing, impor tahunan di Kendari berjumlah f 44 ribu dan ekspor f 443 ribu. Selain di kota-kota pantai di teluk itu, sebaliknya penduduk pedalaman juga berdagang di 15 tempat di sebela utara teluk dan di lima tempat di selatan teluk). Uang atau barang berharga lainnya di antara suku Alfur (di sini disebut Tokea) tidak dikenal. Agama Islam sampai sekarang masih belum masuk.
            Mengenai kondisi setempat, hanya di sisi selatan teluk sampai jarak tertentu dari pantai terletak daratan, tetapi selain itu lahannya bergunung dan tampaknya memiliki tanaman lebat. Di teluk itu mengalir berbagai sungai. Hanya salah satu darinya, Lepo Lepo yang penting, karena mereka sampai 10 mil ke darat bisa dilayari, dan dengan demikian menawarkan jalan keluar yang baik. Daerah pegunungan dianggap baik bagi tanaman kopi dan dalam penanaman yang lebih baik dan pertukaran benih yang layak, pertanian padi yang dikelola oleh Tokea menjadi salah satu produk yang jauh lebih baik daripada yang sekarang ini terjadi. Jumlah penduduk di Laiwui menurut penilaian jumlah hasil hutan dan padi yang diangkut dari sana, ditetapkan minimal 20 ribu dan mungkin ditafsirkan bisa lebih tinggi lagi. Kaum kolonis Bugis yang dimaksudkan di atas mencapai kira-kira 1300 jiwa (selain orang asing yang tinggal di sini, setiap tahun masih ada 300 orang Bajo di teluk itu; orang-orang ini yang tidak memiliki tempat tinggal permanen, tetapi bermukim di perahu-perahu, di sini melakukan pengembaraan dengan perbekalan untuk kembali diteruskan ketika mereka mengolah dan menjual tripangnya. Orang Bajo dikenal di Kendari sebagai orang yang rajin dan bersemangat). Oleh suku Tokea mereka dianggap sebagai sesame dan bukan sebagai kawula raja. Sejak tahun 1876 mewreka berada di bawah pimpinannya sendiri yang diangkat oleh orang Eropa.
            Selama keberadaan gubernur di Teluk Kendali (Mei 1880) kesempatan dicari untuk bisa berhubungan dengan raja Laiwui yang saat itu dia menggantikan ayahnya yang wafat pada tahun 1871 (lihat laporan tahun 1877 halaman 25), masih kecil dan sampai sekarang kontrak yang dibuat dengan pemerintah pada tahun 1858 oleh ayahnya belum disahkan. Raja yang bernama Sao Sao kebetulan tinggal di sekitar Kendari dan ketika asisten residen mengunjunginya di sana, Sao Sao dan perdana menteri menunjukkan kesiapan untuk menaiki kapal perang. Dengan didampingi kapten Kendari dan kepala orang-orang Bugis, dia mengesahkan kontrak tahun 1858 yang isinya dijelaskan kepadanya dan oleh gubernur sendiri dia dikukuhkan posisinya. Juga kepadanya diberikan sebuah bendera dan cap Belanda.
            Mengenai hubungan yang disebutkan dalam laporan sebelumnya di teluk Pare Pare (pantai barat Sulawesi) dari sebuah kapal uap di bawah bendera Inggris, mengenai pelanggaran larangan terhadap impor senjata dan amjunisi di Hindia Belanda, perlu dicatat bahwa pengadilan tinggi di Makasar dalam vonis tanggal 15 September 1880 telah menyita kapal uap tersebut, dengan menjatuhi nahkodanya denda uang sebesar f 1000 dan biaya sidang. Suatu pelanggaran baru belum lama ini atas petunjuk konsulat Belanda di Singapura terbongkar di Makasar, di mana penyitaan dilakukan atas sejumlah besar peluru yang diselundupkan bagi senapan Snider yang akan dikirim ke Wajo.
Sumber : Kolonial Verslag sebelum 1800

Komentar

Postingan Populer