SEJARAH PERKEMBANGAN KELAPA DI INDONESIA
PERKEMBANGAN KELAPA DI
NUSANTARA.
Tulisan E Bolen
berjudul Een
Pracische Handdleiding Over de Cocos
Cultuur pada tahun 1908 merupakan tulisan pertama tentang budidaya
kelapa di Nusantara. Delapan
tahun kemudian, pada tahun 1916, FWT
Hunger menulis masalah kelapa di Hindia
Belanda berjudul Cocos Nucifera: Handboek voor de Kennis van den Cocos Palm in Nederlandsch Indie,
Zijn Geshiedenis Beschrijving, Cultuur en Producten. Menurut Hunger, pelopor pengembangan
kelapa di Nusantara, khususnya di
Indonesia Timur, adalah Moluksche
Handels Maatshappij (MHM). Perusahaan dagang inilah yang memperkenalkan cara
budidaya kelapa secara sistematis.
Van Martius
dalam bukunya Historia Naturalis
Palmarum menceritakan bahwa tanaman kelapa pertama-tama ditemukan di
pantai barat Amerika, yaitu di daerah Panama dan pulau-pulau di sekitar Laut Pasifik.
Pendapat Martius dibantah Alph de Canolle yang
mengatakan bahwa tanaman kelapa tidak berasal dari Amerika, melainkan
dari Hindia. Menurut Canolle, jauh
sebelum tanaman kelapa ditemukan di
Amerika, tanaman kelapa telah ditemukan di Hindia. Ketidakjelasan asal muasal
tanaman kelapa memperkuat dugaan bahwa pohon kelapa telah menyebar di berbagai wilayah. Yang jelas, ketika Columbus
menemukan Amerika Selatan,
tanaman kelapa telah ada di sana.
Di wilayah Nusantara sendiri,
cerita tentang kelapa sudah lama
dikenal. Ini dibuktikan dengan adanya gambar pohon kelapa pada relief Candi
Borobudur. Relief pohon kelapa itu mengandung
makna kesuburan. Kelapa,
yang dalam bahasa Bugis dan Makassar disebut kaluku, juga dijumpai pada empat etnis
suku di Sulawesi Selatan. Dalam
masyarakat Sulawesi Selatan, pohon kelapa mempunyai makna simbolis seperti kesuburan, perdamaian, dan
kekayaan. Dalam tradisi Sulawesi Selatan, ari-ari bayi ditanam bersama sebuah bibit
kelapa, dengan harapan anak itu tumbuh kuat dan memberi banyak kegunaan seperti
pohon kelapa.
Di
Selayar, adanya persembahan bibit pohon
kelapa dijadikan salah satu dasar pertimbangan
untuk diterima tidaknya lamaran seorang
pemuda oleh pihak gadis yang dilamar. Para
pelaut-pelaut Bugis-Makassar juga tidak mengibarkan layar perahunya jika
tidak membawa tunas biji kelapa di atas perahunya. Singkatnya, makna kelapa
bukan saja sebagai sumber pendapatan ekonomi, tetapi juga telah menjadi tradisi dalam kebudayaan orang Bugis-Makassar.
Dalam kronik VOC, dikisahkan bahwa keindahan rumah Yanpiter Soen
Coen di Batavia karena
dikelilingi hiasan pohon kelapa. Bibit kelapa telah diperjualbelikan, bahkan menjadi
salah satu jenis tanaman yang digadaikan
sejak tahun 1678. Ini menunjukkan bahwa tanaman kelapa
telah memberikan banyak manfaat bagi masyarakatnya, bukan hanya sebagai tanaman
hias, tetapi juga telah menjadi tanaman yang bernilai ekonomi. Tidak berlebihan
pula jika matelieff pohon kelapa digambarkan sebagai mahkota yang melambai-lambai di atas Batavia.
Anjuran penanaman pohon kelapa pertama kali dilakukan pada masa
pemerintahan Gubernur Jenderal Van Imhoff (1743-1750). Dia menganjurkan agar menanam
minimal 300 pohon kelapa di setiap perkampungan baru. Penanaman itu bukan untuk mencari keuntungan bagi
pemerintah semata, tetapi juga agar dapat dinikmati penduduk setempat. Di daerah lain seperti Bogor, pemerintah VOC
mengeluarkan aturan bagi setiap orang
yang akan menikah agar mengambil bibit
kelapa dari penghulu kemudian
mereka tanam kepada
tanah-tanah milik pejabat yang telah ditentukan. Sementara di Periangan,
setiap orang yang akan
menikah, diharapkan terlebih dahulu
menanam satu sampai dua pohon kelapa
di tanahnya sendiri.
Mengenai
kapan dan bagaimana bibit kelapa masuk ke
Indonesia , tidak diketahui secara pasti. Berbagai sumber
menyebutkan bahwa tanaman kelapa mulai
dikenal pada daerah-daerah pesisir pantai
Jawa, Sumatra , dan pulau-pulau di
Nusantara bagian timur. Namun
yang jelas bahwa tanaman kelapa sejak
akhir abad 19 telah menjadi tanaman
ekspor yang penting di sepanjang Sumatra bagian barat, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara,dan Maluku.
Sesungguhnya kelapa telah lama dijadikan sebagai komodi dagang, meski pemanfaatannya
terbatas pada minyak goreng, bahan alat masak, dan sebagai pelengkap emas kawin.
Tanaman kelapa baru mendapat perhatian serius sebagai komoditi dagang setelah
minyak nabati sangat dibutuhkan dalam pembuatan sabun dan mentega pada akhir abad 19. Pada
tahun 1873, Perseroan Dagang Nederland
(Nederlandsche Handels Maatschappij) di
Amsterdam mulai menerima
kopra, namun
respon pasar ketika tidak terlalu bagus.
Ini dikarenakan pemakaian kopra masih terbatas sebagai bahan baku minyak masak
dan minyak pelumas.
Ketika pemakaian kopra semakin
meningkat, daerah-daerah koloni mulai jadi perhatian untuk mengembangkan
tanaman kelapa. Pemerintah Inggeris mulai mengembangkan tanaman kelapa di
Ceylon dan semenanjung Melayu. Begitu pula
di Filipina oleh Spanyol dan pemerintah Hindia Belanda di Nusantara.
Di
Sulawesi Selatan, untuk mencegah adanya monopoli kebun kelapa dan kopi yang
lebih besar, maka pemerintah Residen Celebes Onderhoorigheden menerapkan hukum
agraris pada tahun 1893 dengan stbl 259.
Hukum agraris ini memuat tentang penerapan pembatasan tanah dan pendaftaran
luas tanah yang wajib pajak (lanrente). Kebijakan ini diperkuat dengan Surat Ketetapan Keputusan Departemen Pertanian
Makassar tertanggal 1 Maret 1937 yang memuat larangan para petani kelapa dan
kopi untuk tidak semena-mena mengontrakkan tanahnya kepada
perusahaan-perusahaan perkebunan. Untuk itu ditetapkan bahwa setiap petani
tidak boleh mengontrakkan melebihi 750 meter persegi. Peraturan ini
diberlakukan untuk perkebunan kopi di daerah Mamasa, Makale, Koera-koera, Rante
Sappa, Balambong, Mambi, Manipi, dan Ereng-Ereng. Peraturan ini berlangsung
sampai tahun 1950-an.
Di Indonesia Timur, khususnya di Ternate, ditemukan berbagai aturan
dalam menanam kelapa. Pemerintah Hindia
Belanda mengeluarkan kebijakan penanaman kelapa yang disebut Peraturan Penanaman
Kelapa dan Perdagangan Kopra di
Kresidenan Ternate dan Sekitarnya. Dalam
kebijakan itu ditetapkan bahwa para pemilik, penyewa, dan pemakai tanah, wajib membersihkan kebunnya agar
gangguan hama kelapa tidak menular ke tanaman kelapa lain. Juga bertujuan agar kumbang penyakit
yang sering mematikan kelapa Ternate
dapat dicegah. Bagi penduduk yang tidak membersihkan kebun, akan mendapat
hukuman.
Petani dan orang Eropa ketika
kali pertama melanggar aturan penanaman kelapa dan pemeliharaannya itu dikenakan bayar denda
berupa uang. Orang Eropa yang melanggar dikenakan denda maksimal
f 25, sedangkan orang pribumi atau yang dipersamakan maksimal f 10.
Apabila petani dan pemilik kebun tetap
tidak mengindahkannya dan ditemukan pelanggaran yang kedua kalinya, maka
dendanya dinaikkan sampai f 50, atau
dituntut hukuman untuk membayar segala risiko yang diakibatkan berkembangnnya
penyakit hama kelapa. Untuk mengefektifkan kebijakan itu, maka di setiap distrik yang banyak tumbuh pohon kelapa di Ternate dibentuk badan pengawas ketertiban kebun
kelapa.
Para pejabat dan petugas kepolisian berhak untuk
memeriksa pekarangan, perkebunan, dan tanaman kelapa setiap pagi dan sore. Maksudnya untuk meyakinkan
apakah aturan dalam ketentuan pembersihan kebun telah dipatuhi atau tidak.
Penolakan para petugas masuk memerikasa kebun pemilik kebun, dapat dikenakan hukuman sesuai dengan aturan yang telah
ditetapkan. Para pemilik kebun kelapa yang melanggar terlebih dahulu diberikan
peringatan secara tertulis atas nama
pemerintah distrik dan unsur yang terkait. Surat peringatan itu
memuat perintah agar dalam batas waktu
tertentu dilakukan perbaikan seperti apa yang diperintahkan.
Apabila dalam batas waktu itu perintah tersebut tidak diindahkan, maka teguran
akan menyusul. Peraturan itu diberitakan
dalam Javasche Courant 30 hari
sebelum peraturan dimulai. Hal itu bertujuan agar agar tidak ada pemilik kebun kelapa yang berpura-pura tidak mengetahuinya.
Peraturan tersebut dicantumkan dalam surat kabar resmi dan diterjemahkan ke dalam
bahasa lokal dan Cina. Peraturan di atas bertujuan untuk
mencegah munculnya penanaman liar yang semakin berkembang dan memberi perawatan
maksimal atas tanaman kelapa. Tentu karena buah kelapa kering yang telah dipotong-potong
berupa kopra, merupakan komoditi dagang
yang penting.
Selain kebijakan dalam penanaman kelapa, juga ditemukan dalam kebijakan dalam
pembuatan kopra. Di Sumatra Barat, pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan pemetikan kelapa dan pembuatan kopra. Antara
lain, daging kelapa harus dikeringkan dengan cara bantuan sinar matahari sebagai perioritas
utama. Hal itu bertujuan untuk mengurangi munculnya penjamuran pada daging
kelapa.
Dalam pengeringan daging kelapa,
yang diutamakan adalah bagian lapisan
bawah dan atas harus benar-benar
kering. Daging kelapa yang dikeringkan dengan
asap sebaiknya jangan tersentuh api guna menghindari noda-noda hitam. Api harus
selalu dijaga untuk mencegah terlalu banyak asap, apalagi sampai terbakar. Kopra harus benar-benar
kering sebelum meninggalkan tempat pengeringan, sebab kalau lembab, kopra akan segera
berjamur. Kopra harus ditimbun di tempat-tempat yang terkena cukup udara dan
cahaya.
Memperjualbelikan atau mengangkut
kopra yang belum cukup kering juga dapat dikenakan denda. Begitupula bila
ditemukan mengolah kopra dari buah yang belum tua hingga mengakibatkan kopra
hitam, kopra bercampur tempurung, pasir, batu kerikil, atau campuran lain, maka
akan dikenakan sanksi. Para penegak hukum, demang, dan asisten demang,
berhak memeriksa tempat pengeringan kopra, pekarangan, kebun,
rumah, dan bangunan atau tempat pengolaan kopra, hingga tempat kopra dijual
atau ditimbun berdasarkan tempat-tempat yang meyakinkan bagi para eksportir.
Jika terjadi pelanggaran, maka dapat dikenakan sanksi antara lain: kalau pelanggarnya orang
Eropa atau dipersamakan, dikenakan denda
maksimal f 100 atau kurungan selama 8 hari. Kalau pelanggarnya orang pribumi atau
yang dipersamakan, dikenakan denda f.100
atau dipekerjakan secara paksa pada proyek umum tanpa upah selama 30 hari.
Agar tidak ada orang yang
pura-pura tidak mengetahuinya, peraturan itu akan dicantumkan dalam surat kabar
resmi. Sejauh diperlukan, pengumuman itu akan diterjemahkan dalam bahasa Melayu
dan Cina. Peraturan
pemetikan kelapa dan kopra mulai berlaku setelah 30 hari dimuat, misalnya dalam Javasche Courant, di mana peraturan serupa selalu diumumkan.
*SUMBER : DIKUTIP DARI BUKU KOPRA MAKASSAR PEREBUTAN PUSAT DAN DAERAH
TERIMAKASIH WATOWANA TO WAJOE ARTIKEL INI SANGAT BAGUS ;) DAN SAYA MEMBACANYA PADA TAHUN 2019
BalasHapus