SEJARAH PERKEMBANGAN KELAPA DI SULAWESI UTARA
Mata pencaharian utama
Sulawesi Utara juga banyak
tergantung dari hasil pertanian dan hasil-hasil hutan. Dalam periode tahun 1820-1870, Keresidenan Menado banyak disibukkan
penanaman kopi wajib. Setelah tahun
1870-an, yaitu ketika tanaman kopi secara paksa mulai dihentikan, penduduk Keresidenan
Menado baru mulai menaruh perhatian pada perkebunan kelapa. Jika pada masa
periode tanaman paksa kopi, pertanian banyak diatur oleh negara, maka setelah
itu tidak lagi. Para petani di Sulawesi
Utara menanam kelapa secara sukarela. Selain menghasilkan kopi dan kelapa, daerah Sulawesi Utara juga menghasilkan rempah dan rotan. Namun kopra Menado lebih terkenal sebagai hasil komoditas ekspor,
khususnya setalah memasuki abad 20.
Pembudidayaan kelapa di Sulawesi
Utara dimulai pada akhir abad 19. Namun ekspansi yang sesungguhnya baru terjadi setelah tahun 1910 karena adanya permintaan yang luar
biasa besarnya untuk pembuatan sabun dan mentega. Sebagian besar kopra dihasilkan oleh petani
Menado dalam bentuk industri rumah
tangga. Intervensi langsung pemerintah Hindia Belanda difokuskan pada perbaikan dan pembuatan
sarana irigasi agar tidak terjadi
perubahan yang menyolok dari padi ke kelapa. Hal ini dapat dimengerti
karena Menado pada abad 17 merupakan
lumbung padi untuk kawasan timur, khususnya Maluku.
Seiring dengan meningkatnya permintaan kopra di pasaran dunia, Menado muncul sebagai
pemasok kopra. Menjelang akhir abad 19, kopra Menado bangkit menjadi primadona ekspor. Dengan
keuntungan yang memikat tanpa harus bekerja berat setiap hari, membuat Keresidenan Menado lebih tertarik
menanam kelapa untuk dijadikan kopra daripada tanaman lainnya. Hal itu ditunjukkan dengan munculnya
penanaman kelapa secara luas ketika Graafland, seorang penginjil Belanda mengunjungi Minahasa pada tahun 1860. Ia
melihat begitu banyak pohon kelapa di sepanjang pantai Minahasa dan
hasilnya banyak dipakai sebagai minyak
pelita yang menjadi alat penerang di waktu malam.
Pada tahun 1864, jumlah pohon
kelapa di Menado berkisar 87.898 pohon, Kema 140.711 pohon, Amurang 94.893 pohon, dan Tondano 66.802 pohon. Ketika itu harga buah kelapa
berbeda-beda di setiap tempat, misalnya
di Menado antara f 2-2,5 per 100 biji, sementara di tempat lain seperti Tondano
mencapai f 3 per 100 biji. Meluasnya berbagai distrik tanaman kelapa di Menado
menunjukkan bahwa petani secara sadar telah mengembangkan tanaman itu. Berbeda
dengan penanaman kopi yang harus dilakukan penduduk karena terpaksa. Keadaan
itulah yang membuat penanaman kelapa berkembang pesat pada awal abad 20,
sehingga Menado menjadi daerah penghasil kopra yang diperhitungkan.
Keresidenan Menado merupakan
salah satu daerah eksportir kopra utama di Indonesia. Pada dasawarsa pertama abad 20, Menado menduduki
posisi kedua setelah Sulawesi Selatan,
melampaui posisi Borneo Barat dan
Sumatra Barat. Ketika kopra mulai
naik di pasaran dunia pada tahun
1910-an, jumlah ekspor kopra Keresidenan
Menado mencapai 13,9 persen dari seluruh
volume ekspor Hindia Belanda. Jumlah tersebut naik sampai 20 persen pada fase kedua abad 20.
Namun ekspor Menado ikut turun ketika
terjadi depresi ekonomi tahun 1930, meski penurunannya tidak di bawah perestasi ekspor kopra Menado pada
fase pertama abad 20. Kopra
Menado banyak diserap oleh pabrik minyak insulinde Makassar
dan Jawa, sampai sekitar tahun 1926. Selain itu, kopra Menado juga banyak di ekspor ke Eropa,
Jepang, dan AS.
Sistem pertanian di Menado
pada umumnya dapat digolongkan
sebagai monokultur, yaitu hanya menanam
kelapa. Tidak kurang dari 80 persen ekspor Menado tergantung dari kopra. Pada tahun 1916, nilai ekspor kopra Menado mencapai f 8 juta .
Nilai itu meningkat menjadi f 10 juta
pada tahun 1937, dan turun
drastis menjadi f 3 juta pada tahun 1940. Penurunan itu diakibatkan Perang Dunia II yang memutuskan
hubungan pengangkutan kopra dengan pasaran Eropa dan AS. Dengan nilai yang dicapai itu, sumbangan Menado terhadap
total ekpor luar Jawa menurun dari 3,6 persen
pada tahun 1928 menjadi 1,5 persen pada
tahun 1937, yang kemudian anjlok menjadi
0,6 persen pada tahun 1940.
Perkembangan ekspor kopra Menado sangat fluktuatif, tergantung pada
permintaan pasar. Anne Booth
mengatakan bahwa pertumbuhan hasil ekspor tercepat
sampai tahun 1913 adalah kopra.
Tapi dalam kenyataannya, pada tahun 1930-an, ekspor kopra dari beberapa daerah
mengalami penurunan, kecuali Padang yang
sedikit naik, Makassar menurun dari 37. 822
ton tahun 1912 menjadi 29.570 ton tahun 1913 dan Menado dari 30.076 ton menjadi 26.742 ton pada tahun yang sama. Total
produksi kopra pada tahun 1915 mencapai
600 ribu ton . Dari jumlah itu, sekitar 25 persen berasal dari Menado.
Pada umumnya, pertanian kelapa termasuk usaha pertanian padat kerja. Perawatan kebun kelapa hampir tidak memerlukan uang,
modal yang diperlukan untuk panen kebanyakan dengan tenaga sewaan. Begitupula
pengangkutan menuju tempat pengolahan.
Menurut perhitungan yang dilakukan oleh Kantor Pertanian Tondano pada pertengahan 1920-an, keuntungan dalam
pembuatan kopra hanya bisa diperoleh
jika biaya produksi tidak melebihi f 5 per pikul kopra. Sebelum masa
depresi ekonomi tahun 1930-an, keuntungan bisa besar karena petani kecil bisa
mendapatkan f 12-13 setiap pikul. Akan tetapi ketika terjadi
depresi, saat harga kopra jatuh sampai f 4-5 per pikul, biaya produksi harus
ditekan maksimal f 2 per pikul, baru
bisa mengembalikan modal.
Rata-rata jumlah ekspor
kopra dari Keresidenan Menado selama masa resesi tahun 1930-an hanya
sekitar 200 ribu ton, yaitu dari
Minahasa dan Teluk Tomini yang setiap tahunnya mengekspor kopra sekitar 60 ribu ton. Ekspor kopra Menado paling banyak berasal dari Distrik Menado, Tonsea, Tondano,
dan Amurang. Bahkan Distrik Kawangkoan dan Ratahan, yang merupakan daerah penghasil
kopra paling sedikit, menghasikan rata-rata 300 ton kopra per tahun.
Untuk meningkatkan ekspor kopra,
Residen Menado berusaha menanam
kelapa dengan sistem pertanian yang modern. Pada tahun 1914 di Tondano
didirikan sekolah Landbouw atau sekolah
pertanian. Di sekolah itu diajarkan
tentang tata cara penanaman kelapa
secara modern, meski sekolah tersebut tidak dapat menjangkau petani-petani kelapa yang ada di
kampung-kampung yang terisoluir dari kota. Sekolah Landbouw berkembang pesat. Pada
tahun 1923, sekolah itu telah mempunyai
lahan percontohan kebun kelapa
seluas 20 bau di Tonsea.
Tonsea merupakan distrik yang paling subur untuk penanaman
kelapa. Di diastrik tersebut,
setiap batang pohon kelapa
rata-rata menghasilkan 60-80 buah kelapa dalam setahunnya. Bahkan pekarangan-pekarangan yang subur dapat menghasilkan sampai 100 biji kelapa per pohon dalam setahunnya.
Tetapi di tanah yang kurang subur,
paling tinggi bisa
menghasilkan antara 40–60 biji setahun.
Petani yang
memiliki pohon kelapa sedikit memetik
sendiri biji kelapa mereka. Sedangkan petani yang mempunyai banyak pohon kelapa,
menyewa buruh sebagai tukang panjat. Tukang panjat itu pada umumnya berasal dari Pulau Sangir dan Talaud. Pada tahun 1925 upah panjat per batang antara 5 sampai 10
sen.. Tiap tukang panjat dapat
memanjat 30 samapai 80 pohon per hari. Bila
dihitung secara harian, upah
tukang panjat sebesar antara f 3–4 per hari.
Pemetikan kelapa dilakukan setiap tiga bulan sekali atau tiga sampai empat kali dalam setahun.
Ongkos angkut kelapa dari kebun biasanya
sekisar f 2-4 per 1000 biji.
Secara umum, setiap kepala keluarga di Minahasa pada tahun 1920-an memiliki 50 pohon kelapa. Petani kelas
“sedang” umumnya memiliki antara 100-200
pohon kelapa. Tidak sedikit petani di Minahasa
yang memiliki pohon kelapa lebih
dari 2000 pohon. Untuk daerah yang kurang subur, rata-rata kepadatan pohon per kilometer mencapai 780 pohon, tetapi untuk daerah yang subur
seperti Tonsea, per kilometernya mencapai antara
1.156-2.036. Padatnya daerah
itu menyebabkan kelapa tidak bisa lagi dikembangkan penanamannya, kecuali
mencari daerah baru seperti bermigrasi ke daerah Ratahan dan Amurang
pada tahun 1880-an.
Pada awal abad 20, perusahaan-perusahaan Jepang juga terlibat
dalam pengangkutan kopra di Sulawesi Utara. Dalam tahun 1914, Nanyo Buki Kaisha (NBK) melakukan
pengangkutan kopra antar pelabuhan. Perusahaan tersebut bergerak di bidang pelayaran. NBK memiliki lima buah kapal dengan bobot 765
ton. Ketika angkatan laut Jepang menduduki bekas pulau-pulau milik Jerman di
Pasifik Selatan, NBK memperluas aktivitasnya dengan membuka hubungan rutin
antara Jepang dan kepulauan Madaat. Kapal-kapal NBK dalam melayani pengangkutan
antara Jepang dengan Madaat diperkirakan menghasilkan 42.000 yen per bulan. Pada tahun 1914,
perusahaan itu menambah armadanya dengan empat kapal uap dan lima kapal layar.
Kapal-kapal tersebut turut terlibat dalam pengangkutan kopra antara Menado-Jepang.
Selain perusahaan Jepang,
terdapat juga perusahaan Cina.
Salah satu perusahaan Cina yang bergerak dalam pengangkutan kopra adalah Ledeboer & Co. Kapal itu disewa oleh
para pedagang Cina dan Arab untuk mengangkut
kopra. Perusahaan-perusahaan itu berusaha bersaing dengan KPM dalam
pengangkutan kopra. Monopoli KPM membuat
pedagang Arab dan Cina di Menado menuntut
agar diberi perlakukan yang sama dalam pengangkutan kopra. Tuntutan itu
ditolak, bahkan Menado dijadikan pelabuhan tertutup bagi perkapalan
internasional. KPM juga membentuk perahu-perahu binaan untuk menyaingi
kapal-kapal sewaan Arab dan Cina, di antaranya Cekumij
(Celebes Kustvaart Maatschappij) yang
berfungsi mengumpulkan kopra di pantai Sulawesi Utara.
Selain penataan pengangkutan
kopra melalui KPM, yang tidak kalah pentingnya adalah penerapan kredit bagi
para petani. Bank Rakyat Tonsea misalnya, menyediakan kredit kepada petani
kelapa di Minahasa. Jumlah kredit yang
disediakan oleh Bank Rakyat Tonsea
sesudah tahun 1931 berlipat dua
kali dari tahun-tahun sebelumnya. Bank ini juga memperluas keanggotannya ke distrik-distrik lain. Pada tahun 1934, Bank Rakyat Tonsea mengambil
alih tanggungjawab Bank Amurang. Bank Tonsea berharap bisa menyelesaikan
masalah yang disebabkan oleh depresi tahun 1930-an. Banyak orang di Minahasa
mulai menyadari bahwa keterlibatan
pemerintah diperlukan jika petani dan perantara ingin terlindung dari dampak
depresi. Dewan Minahasa dan Volksraad di Batavia, mendesak pemerintah untuk
mengambil tindakan tegas.
Dewan Minahasa yang dibentuk pada tahun
1919 sebagai bagian dari politik desentralisasi, memiliki wewenang untuk
mengawasi aktivitas pemerintah daerah. Tujuannya untuk mengawasi pekerjaan
umum, pemungutan pajak, perawatan kesehatan, pendidikan, dan kehutanan. Dewan
tersebut memiliki sekitar 40 anggota yang dipilih secara demokratis sekali
dalam empat tahun, anggotanya diangkat dari berbagai kepala distrik. Dewan ini
diberi subsidi dari pemerintah daerah melalui hasil dari pajak pasar.
Langkah pertama yang dilakukan Dewan
Minahasa untuk mengentaskan kesulitan para petani kelapa itu adalah membentuk PVC ( Producten Verkoop Centrale). Hamersters, Asisten Residen
Minahasa, yang bertindak sebagai ketua dewan ketika itu berusaha mengurangi
dominasi pedagang perantara, yaitu dengan membentuk koperasi desa di Tonsea.
Koperasi desa itu membuka Pusat
Penjualan Kopra CVC (Copra Verkoop
Centrale) di Menado. Ketika modal awal
koperasi itu berkisar f 80 ribu, yang dipungut dari para anggotanya, maka setiap
orang yang masuk anggota koperasi itu
diharuskan menyetor uang sebanyak f 50. Koperasi itu bertugas menawarkan harga
lebih baik kepada para anggotanya dari perusahaan dagang di Manado dan Amurang.
Koperasi yang memiliki pegawai sendiri
itu, diketuai Arnold Manonutu dalam periode
tahun 1932-1934.
Meski PVC mengkoordinir penjualan
kopra di Menado, tampaknya juga tidak mampu
menyelesaikan masalah ketergantungan petani terhadap pedagang perantara.
Karena itu, PVC didukung oleh bank perkreditan rakyat umum Algemeene
Volks-Credietbank (AVB) pada tahun 1936. Bank yang dibentuk tahun 1934 itu
memadukan semua bank rakyat yang ada, kecuali Bank Rakyat Tonsea yang tidak
bergabung karena aktivitasnya hanya sebatas Distrik Tonsea, tapi AVB memberinya
kredit sebesar f 350 ribu. Hubungan antara PVC dan AVB sangat baik. Karenanya
anggota PVC bisa menyerahkan kopranya kepada koperasi, sementara AVB akan
membayar harga yang disepakati. Pada tahun 1936, AVB menjual sekitar 50 persen dari
jumlah kopra yang dihasilkan di Minahasa ke perusahaan dagang, bahkan persentase itu naik sampai
70 persen pada tahun-tahun berikutnya.
Perubahan penting dalam sistim kontrak kopra menyangkut sifat
kontrak secara tertulis. Pada tahun 1936 Van Mook, Direktur Departemen Urusan
Ekonomi, mengangkat petugas khusus Luyten untuk mempelajari situasi penyelesaian
kontrak kopra yang paling efektif.
Luyten menyimpulkan bahwa cara terbaik untuk melindungi petani kecil dan
perantara adalah memberikan dasar hukum bagi sistim kontrak. Rancangan UU yang
disusun oleh Luyten dan Residen Van Rhijn diterima pada tahun 1939 setelah Van
Mook mempertahankan di depan Volksraad di Batavia. Peraturan Kontrak Kopra
memberikan lahan yang luas bagi pemerintah daerah di Manado untuk mengatur
sistem tersebut . Namun selama beberapa bulan para pedagang Cina dan beberapa
perusahaan eksportir tidak mau menerimanya. Ada kesalah-pahaman bahwa
aurantersebut menjadi hal yang bisa
diterima untuk melindungi monopoli PVC dalam perdagangan perantara.
Pada dasarnya peraturan kontrak
kopra yang diterima semua pihak adalah bahwa peraturan baru itu menguntungkan
setiap orang yang terkait dengan masalah kopra.Para pedagang lokal yang ingin
membuat kontrak dagang para petani kecil
harus mendaftar kepada pemerintah kolonial dan hanya yang mempunyai reputasi yang baik baru dapat menyusun kontrak. Untuk melindungi
kepentingan petani kecil, maka kontrak dibatasi maksimal lima tahun. Untuk
melindungi nasib buruk pihak petani dari pedagang perantara, maka
biasanya bunga hendaknya tidak melebihi
5 persen dan jika terjadi pelanggaran, maka dikenakan sanksi tidak boleh melebihi f 1,50 untuk setiap penyetoran..
*SUMBER : DIKUTIP DARI BUKU KOPRA MAKASSAR: PEREBUTAN PUSAT DAN DAERAH
Komentar
Posting Komentar