SEJARAH SINGKAT LIMA WILAYAH AJATAPPARENG

1.         Wilayah Sawitto
Sawitto merupakan pusat dari seluruh wilayah terdiri atas wilayah pusat dan daerah-daerah. Pusat wilayah Sawitto langsung berada di bawah kekuasaan Addatuang, sedangkan daerah-daerah dipimpin oleh para kepala daerah bergelar Matowa dan daerah-daerah yang masuk dalam wilayah Sawitto disebut Bate-bate. Sawitto merupakan pusat wilayah yang meliputi daerah Sawitto sendiri dan membawahi beberapa daerah yang terdiri atas daerah Leppangang, daerah Paleteang, daerah Arawa, daerah Massila, dan daerah Buwa.
Sawitto pada masa kekuasaan La Kuneng pada tahun 1812 mengalami perubahan pembagian wilayah, Sawitto yang awalnya dibagi menjadi lima daerah berubah menjadi tiga Bate-bate dan delapan belas lili (daerah bawahan). Ketiga Bate-bate tersebut terdiri atas daerah Tiroang, daerah Loleang, dan daerah Ranggangmea. Sedangkan daerah bawahan menjadi wilayah delapan belas lili (daerah bawahan) adalah daerah Paleteang, daerah Bailu, daerah Leppangang, daerah Salo, daerah Talabangi, daerah Urung, daerah Malimpung, daerah Madallo, daerah Campa, daerah Paria, daerah Tangpie, daerah Sekkang, daerah Bulu, daerah Padakkalawa, daerah Kabba, dan daerah Batumea. Bate-bate masuk ke dalam wilayah pusat, sedangkan di bawah bate terdapat wilayah-wilayah Lili (daerah bawahan). Beberapa wilayah Lili adalah daerah yang berkewajiban memelihara dan meningkatkan perekonomian.
2.         Wilayah  Sidenreng
Sidenreng  terdiri atas delapan wanua, hal tersebut berkaitan dengan jumlah saudara-saudara La Maddaremmeng berasal dari Tana Toraja di Sangallaq yang menemukan wilayah Sidenreng. Delapan wanua tersebut terdiri atas Watang Sidenreng, Lise, Guru, Teteaji, Massepe, Allaekkuang, Arateng dan Arawa. Awal diketemukannya Sidenreng bermula ketika Sangallaq di Tana Toraja mengalami goncangan. Sepeninggal raja Sangallaq dan digantikan oleh anak tertuanya  La Madderemmeng, Sangallaq banyak mengalami perubahan, di antaranya La Maderemmeng mengusir ke delapan saudaranya keluar dari wilayah kekuasaan kerajaan Sanggala. Ke-delapan saudara La Maderemeng tersebut dalam pelariannya digambarkan melakukan perjalanan menuju kesuatu tempat dengan saling berpegangan tangan atau dalam bahasa Bugisnya disebut Sirenreng, hingga sampai disuatu tempat dekat danau dan menetap sampai berkembang menjadi suatu kelompok sosial masyarakat, atau terbentuk suatu perkampungan dan daerah tersebutlah  yang menjadi  Sidenreng.
Setiap wanua dari delapan wanua tersebut dipimpin oleh seorang matowa. Sementara wilayah Lili atau daerah bawahan terdiri atas Lili Guru,  Lili Carawali,  Lili Bilokka, Lili Wanio, Lili Wette, dan Lili Amparita yang dipimpin oleh Arung dari wilayah itu sendiri sekaligus untuk memperjelas wilayah Sidenreng.

Selain dari delapan wanua tersebut juga terbentuk daerah yaitu:
a)      Lima Lili           : Amparita, Carawali, Bilokka, Wanio dan WataE
b)     Lili Pituriase      :  Batu, Botto, Baroku, Kalumpang, Lamerang dan Baramasse.
c)      Lili Pituriawa    :  Bila, Oting, Botto, Bulu’ Cenrana, Ogi, dan Jampue.
Pada bagian b dan c disebut wilayah yang lain karena memiliki Arung dan Dewan Adat sendiri.
3.         Wilayah  Rappang
Setelah kedelapan putra Raja Sangallaq meninggal dunia, mulailah era baru di daerah Sidenreng dan Rappang. Berawal dari Datu Patila yang menderita penyakit kulit mengasingkan diri ke tempat yang jauh, akhirnya tiba di Tana Toraja. Di sanalah kemudian Datu Patila mempersunting We Bolong Pattina (putri sulung La Maddaremmeng, kemenakan dari kedelapan Toraja Mattapparengnge, cucu Raja Sangallaq). Kemudian Datu Patila bersama permaisurinya meninggalkan Tana Toraja dan singgah bermukim di Rappang. Jadilah Datu Patila sebagai Arung di Rappang dan We Bolong Pattina menjadi Addaowang  Pertama di Sidenreng. Hal tersbut dijadikan alasan Kerajaan Sidenreng dan Rappang dijuluki sebagai kerajaan kembar yang kemudian diikat dengan sebuah perjanjian yaitu;
“Mate Elei Rappang, Mate Arawengngi Sidenreng. Mate Arawengngi Rappang, Mate Elei Sidenreng. yang berarti jika Rappang Mati di Pagi hari, Sidenreng mati sore hari “.
Tentu saja pernyataan ini menunjukkan persaudaraan antara Sidenreng dengan Rappang. Maksud dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa hal ini lebih ditekankan pada dimensi pertahanan dan ditanamkan rasa solidaritas antar kedua wilayah tersebut sehingga apabila salah satu diantaranya mendapat bencana atau serangan, maka yang satunya akan turut memberikan bantuan.
Sementara wilayah Rappang terdiri dari sembilan wanua yaitu, Lalabata, Baranti, Manisa, Panreng, Simpo, Passenro, Kulo, Dea dan Benteng. Setiap wilayah dari kekuasaan Rappang dipimpin oleh Arung yang merupakan bangsawan lokal dari wilayah itu sendiri dan setiap Arung  lokal tersebut diberi hak yang bersifat otonom  untuk mengatur urusan rumah tangga wilayah kekuasaannya  masing-masing.
4.         Wilayah  Suppa
Tidak ditemukan sumber atau catatan sejarah siapa cikal bakal pendiri Kedatuan Suppa Sumber yang diperoleh hanya menyebutkan bahwa sekitar abad XIV-XV, berdirilah sebuah perkampungan di sebelah utara Pare-Pare atau Bacukiki yang dikenal dengan nama “Suppa”.
Berdasarkan laporan perjanjian Belanda dengan Suppa yang tertuang dalam pasal 2 tentang daerah-daerah yang membentuk Wilayah Suppa adalah  Suppa dan pulau Kamarang, Dapo, Laowakkong, semuanya terletak di teluk Pare-Pare.
Sebuah pembagian dalam sub-bagian daerah teritori yang tidak ada namun secara bertahap muncul ketika masyarakat melihatnya sebagai kebutuhan, dalam sebuah pemukiman diangkat seorang kepala. Dengan demikian sekarang terdapat kampung dan masing-masing dibawahi oleh seorang kepala yaitu; Ujung Lero, Lero, Tanah MaliE, Sabbangparoe, Parengki, Barrakasanda, Cekowole, Kanni, Alakang, Langi, Tobone, Garessik, Latemappa, Ladea, Polewali, Belebelawang, Majenang, Labanta, Mangarabombang, WanuaE, Ta’E, Karabalo dengan total penduduk 1936.
5.    Wilayah Lima’E Ajatappareng
Berdasarkan laporan perjanjian Belanda dengan Arung Alitta yang tertuang dalam pasal 2 tentang daerah-daerah yang membentuk wilayah Alitta terdiri atas wilayah Alitta yang sebenarnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa Alitta tidak memiliki wilayah yang begitu luas atau tidak memiliki lili dengan wilayah lainnya pada persatuan Ajatappareng.

*Sumber : Skripsi Sejarah Unhas ”Kondisi Politik Lokal Di Ajatappareng 1905 - 1942”. 

Komentar

Postingan Populer