ARUNG PALAKKA DAN PERANG MAKASSAR
Berbicara mengenai Kerajaan Bone,
tidak sah rasanya tanpa membahas Arung Palakka. La Tenri Tatta Arung Palakka
MalampeE Gemme’na Petta To RisompaE (1667 - 1696) adalah Raja Bone XV dicap
pemerintah sebagai pengkhianat. Oleh sebagian besar masyarakat Sulawesi Selatan
yang tak memahami sejarah yang sebenarnya memang akan mudah tergiring opini
Arung Palakka sebagai Pengkhianat berdasar fakta bahwa Arung Palakka-lah yang
bersekutu dengan Belanda menyerang Kerajaan Gowa. Sejarah itu kemudian terlukis
dalam Perang Makassar (1667) dan menjadi penyebab jatuhnya Kerajaan Gowa
sebagai imperium besar di Nusantara bagian timur.
Dalam Lontaraq Akkarungeng ri
Bone disebutkan bahwa La Tenri Tatta Arung Palakka baru berusia 11 tahun,
ketika Kerajaan Bone dibawah kepemimpinan La Tenri Ruwa diserang dan dikalahkan
oleh Kerajaan Gowa (1611) di masa kekuasaaan I Mangerangi Daeng Manrabia Sultan
Alauddin. Orang tuanya La Pottobune ditangkap dan ditawan bersama Arumpone La
Tenri Ruwa serta bangsawan Bone lainnya. Penaklukan Bone oleh Gowa tersebut
dikenal dalam sejarah bernama Musu’ Pasempe (Perang di Pasempe). Paska Perang
inilah, rakyat Bone bersama raja dan bangsawannya digiring ke Gowa, dijadikan
tenaga kerja paksa dalam membangun Benteng - benteng Makassar.
Singkat cerita, La Tenri Tatta
Arung Palakka dan semua bangsawan Bugis Bone Soppeng merasakan siri’ yang luar
biasa, rasa malu dan harga dirinya tercabik - cabik diperlakukan tak
berperikemanusiaan. Arung Palakka menggabungkan diri dan bekerja juga sebagai
penggali parit dan pembuat benteng.[17] Ia ikut merasakan bagaimana penderitaan
bangsanya disiksa oleh punggawa dan bangsawan Gowa yang mengawasi pekerjaan
itu. Ayah Arung Palakka, La Pottobune’ meninggal di Gowa paska diadakannya
perburuan rusa di Tallo oleh Karaeng Gowa dan para pengawalnya. La Pottobune’
Datu Lompulle mengamuk karena membela dua pelarian kerja paksa bangsanya yang
tidak tahan dilihatnya disiksa dan dipukuli. Dalam lontaraq disebut bahwa sejak
kejadian itu, La Tenri Tatta Daeng Serang Arung Palakka tidak bisa lagi tidur.
Setiap saat yang dipikirkannya adalah bagaimana menegakkan kembali kebesaran
Tanah Bone.
Kisah selanjutnya, dalam Lontaraq
Bone disebutkan bagaimana kisah Arung Palakka melarikan diri bersama bangsawan
bugis Bone Soppeng lainnya dari barak - barak kerja paksa, terjadinya
pengejaran terhadap dirinya, perjalanannya ke kerabatnya Bangsawan Bone Soppeng
dalam meminta dukungan, sumpah Arung Palakka ketika akan menyeberang dari Tanah
Bugis ke Tanah Buton (1660). Dan dari Buton, perjalanannya diteruskan ke
Batavia (1663) untuk mencari sekutu dalam memerangi Gowa. Ketika Arung Palakka
menawarkan persekutuan kepada Belanda, Belanda sempat ragu namun setelah
melihat sendiri kehebatan Arung Palakka dan pasukan pelariannya dalam Perang
Pariaman di Sumatera Barat maka yakinlah Belanda akan dapat memenangkan
pertempuran melawan Gowa dengan bantuan pasukan Bugis. Kerajaan Gowa sendiri
ketika itu telah menjadi negara yang modernis, sebagai imperium besar di
Nusantara Bagian Timur dengan pasukan militer darat dan laut yang tangguh.
Dalam sejarah kemudian dikenal,
terjadi Perang Makassar (1667) yang menjadi malapetaka runtuhnya dinasti
Kesultanan Gowa. Posisi Arung Palakka selanjutnya dipertanyakan banyak
sejarawan, namun seiring dengan semakin membaiknya pemahaman masyarakat akan
sejarah dalam konteks sejarah lokal, dapat dipahami alasan Arung Palakka
memerangi Gowa. Sejarawan asal Amerika, Dr Leonard Y Andaya dalam buku “Warisan
Arung Palakka - Sejarah Sulawesi Selatan Abad XVII” mengurai betapa
terkunkungnya dominasi Belanda menguasai daratan Sulawesi Selatan selama Arung
Palakka masih hidup dan menjadi penguasa atasan atas semua negeri taklukan paska
Perjanjian Bungaya (1668).
Sepeninggalnya, Arung Palakka
telah meletakkan dasar - dasar hegemoni politik dengan cara mengawinkan
mawinkan kemenakannya, La Patau Matanna Tikka dengan Gowa dan Luwu, yang
diangkatnya menjadi Raja Bone XVI. Arung Palakka pun kini di mata masyarakat
Bugis, khususnya Bone - Soppeng dijuluki sebagai “Sang Pembebas”, bukan sebagai
pengkhianat. Andi Sultan Kasim (2002) menyebut julukan tersebut adalah hal yang
pantas, karena ketika itu Bone adalah sebuah negara (kerajaan) yang merdeka dan
berdaulat, sama halnya dengan Gowa, wajar jika seorang Arung Palakka menuntut
dan memperjuangkan kemerdekaan atas bangsanya.
sangat menarik
BalasHapus