SEJARAH BONE : Proses Awal Perkembangan Pemerintahan Kerajaan Bone
Raja Bone I atau Arung Pone yaitu
Tomanurung ri Matajang, yang bergelar MatasimpoE. Ia memerintah kurang lebih 40
tahun, dari tahun 1330 M sampai tahun 1370 M. MatasilompoE kawin dengan
Tomanurung ri Toro, yang bernama Tenriawaru. Dari perkawinan ini lahirlah lima
orang anak yang masing-masig bernama: La Umasa, Patanra Wanua, Tenri Salogo, We
Arattiga dan Isamateppa.
Setelah TomanurungE, menjadi
penguasa di Bone, barulah ketertiban dapat ditegakkan dan kesejahteraan rakyat
dapat dikembalikan. Ditetapkannya penguasa Tomanurung di Bone diikuti dengan
pembentukan Dewan Penasehat, Ade’pitu (Adat Penguasa), yang terdiri dari
pemimpin dari tujuh komunitas. Dengan bantuan Ade’pitu, ManurungE lalu membuat
peraturan-peraturan bagi rakyatnya. Ia juga menegakkan hukum dan adat istiadat
untuk mengatur ketertiban bagi masyarakat. Hingga suatu hari Arung Pone
–MatasilompoE telah tiada; hilang atau gaib entah kemana (oleh masyarakat
setempat disebut; Mallajang.
Setelah Arung Pone tiada, beliau
digantikan oleh La Ummase. Dalam Lontaraq Akkarungeng ri Bone, La Ummase (1358
– 1424), disebutkan bahwa Dialah yang menggantikan ManurungE ri Matajang
sebagai Arung Mangkaue ri Bone. Beliau digelari Petta Panre Bessie’ karena Arumpone
(Bugis : Raja Bone) inilah yang mula-mula menciptakan alat dan perkakas dari
besi di Bone dan kalau bepergian, hanya dinaungi dengan kaliyao (tameng) untuk
melindunginya dari teriknya matahari. Hal ini dilakukan karena tidak ada lagi
payung (maksudnya : payung kerajaan) di Bone.
Dalam upayanya memperluas wilayah
kekuasaannya, La Ummase’ menaklukkan wilayah – wilayah sekitarnya, Anro Biring,
Majang, Biru, Maloi dan Cellu (Lontara Akkarungeng ri Bone). Politik
ekspansinya berhasil menaklukkan kerajaan kecil tetangganya, “Maloi, Biru,
Majang, Anrobiring, Cellu, Palakka dan Taneteriattang”.
La Ummasa tidak memiliki putra
mahkota yang kelak bisa menggantikan kedudukannya sebagai Mangkau’ di Bone. Dia
hanya memiliki anak perempuan, To Suwalle dan To Sulewakka dari isterinya yang
berasal dari to sama’ (orang biasa, bukan bangsawan). Oleh karena itu, setelah
dia tahu bahwa We Pattanra Wanua akan melahirkan, La Ummasa menyuruh anaknya
pergi ke Palakka ke rumah saudaranya yang diperisterikan oleh Arung Palakka La
Pattikkeng.
Setelah La Saliyu Karempuala dewasa, maka beliau
mengambil alih tampuk pemerintahan Bone dari kedua sepupunya itu. Dalam
Lontaraq Akkarungeng ri Bone disebutkan bahwa La Saliyu Karempalua (1424 –
1496) adalah Arumpone (Raja Bone) yang menggantikan pamannya, La Ummase’.
La Saliyu Karampelua digelari
pula MakkaleppiE – Massao LampeE Lawelareng atau Puatta Lawelareng. Sebagai
Raja Bone III ini melanjutkan kegiatan ekspansi yang telah dirintis
pendahulunya, bahkan lebih besar dan berhasil menduduki kerajaan – kerajaan
kecil, seperti : Pallengoreng, Sinri, Melle, Sancereng, Cirowali, Apala, Bakke,
Atta Salo, Soga, Lampoko, Lemoape, Parippung, Lompu, Limampanua Rilau Ale,
Babauwae, Barebbo, Pattiro, Cinennung, Ureng, Pasempe, Kaju, Ponre, dan Aserabate
Riawang Ale.
Data tersebut menunjukkan bahwa
Bone pada masa itu telah menguasai wilayah yang cukup luas (menurut ukuran pada
masa itu), sehingga organisasi pemerintahan perlu pula ditingkatkan. Untuk itu
La Saliu membagi wilayah pemerintahan Kerajaan Bone menjadi tiga wilayah
administratif, sesuai dengan pembagian warna bendera Kerajaan Bone.
Pertama,Negeri – negeri yang memakai bendera Woromporongnge’ : Matajang,
Mattoanging, Bukaka Tengah, Kawerrang, Pallengoreng, Maloi. Semuanya dibawah
koordinasi Matoa Matajang. Kedua, Negeri – negeri yang memakai umbul merah di
sebelah kanan Woromporongnge’ : Paccing, Tanete,. Lemo, Masalle, Macege,
Belawa, Semuanya dibawah koordinasi Kajao Ciung dan Ketiga, Negeri – negeri
yang memakai umbul merah di sebelah kiri Woromporongnge’ : Arasong, Ujung,
Ponceng, Ta’, Katumpi, Padaccennga, Madello. Semuanya dibawah koordinasi Kajao
Arasong”. (Lontaraq Akkarungeng ri Bone ; Kasim, 2002).
Seiring perkembangan Kerajaan
Bone, peraturan pertanahan dan hukum warisan diumumkan secara resmi pada waktu
bersamaan untuk menjamin stabilitas hubungan di dalam komunitas. Setelah genap
berusia 72 tahun Arung Pone III mengumumkan kepada rakyat Bone bahwa penguasa
beikutnya adalah We Banrigau Daeng Marowa MakkaleppiE anaknya dari isteri keduanya
We Tenri Roppo Arung Paccing.
Inilah untuk pertama kalinya
Kerajaan Bone dipimpin oleh seorang perempuan. We Banrigau Daeng Marowa
Makkaleppie’ naik takhta menggantikan ayahnya Arumpone La Saliyu Karampelua. We
Banrigau digelari pula Bissu Lalempili. (Makkulau, 2009). Di masa pemerintahan
Arumpone I Benri Gau Daeng Marowa Arung Matajang, Kerajaan Bone mencapai
stabilitas dalam negeri yang mantap serta pertanian yang berhasil. Raja
perempuan pertama Kerajaan Bone (1470 – 1489) ini tidak meneruskan pendahulunya
dalam perluasan wilayah kekuasaan tetapi aktif dalam upaya mengintensifkan
perluasan lahan pertanian. “Membeli bulu’ (gunung) Cina dengan menukarnya 90
ekor kerbau, dan sawah di sekitar Kampung Laliddong dengan menukarnya 30 ekor
kerbau”.
Akan tetapi terjadi pemberontakan
pada masa pemerintahannya, yang dilakukan oleh La Dati Arung Katumpi karena
persoalan pelaksanaan pembelian areal persawahan, namun pemberontakan tidak
berlansung lama, karena beliau dapat mengatasinya. Dan setelah memerintah
selama 20 tahun lamanya, ia kemudian menyerahkan kekuasan kepada putranya La
Tenrisukki. Setelah pelantikan ia pun meninggalkan Kerajaan Bone bersama
keluarganya dan pergi menetap di Cina bersama keluarganya hingga ia menghilang
dan diberilah ia gelar Mallajang ri Cina.
Pada masa pemerintahan Raja Bone
V, La Tenrisukki sebagai pewaris takhta dari ibunya, I Benriwa Gau. La
Tenrisukki merupakan Arumpone (Raja Bone) pertama yang disebutkan memiliki
hubungan dengan kerajaan besar lain di Sulawesi Selatan. Arumpone ini
memerintah di akhir Abad XV sampai permulaan Abad XVI. Di masa kekuasaannya, La
Tenrisukki berhasil memukul mundur serangan militer Pajung Luwu, Dewaraja
Batara Lattu. Setelah perang selesai (Perang itu dikenal dengan ”Perang Cellu”,
karena Angkatan Perang Luwu berlabuh di Cellu sebelum menyerang Bone. Perang
Cellu dimenangkan oleh passiuno Bone.
Paska Perang Cellu, Arumpone
mengadakan perjanjian dengan Datu Luwu To Serangeng Dewaraja yang disebut Polo
Malelae’ ri Unnyi (Gencatan senjata di Unnyi), karena terjadi di Kampung Unnyi.
Usai Perjanjian Polo MalelaE ri Unnyi ini, kedua raja ini, Arumpone dan Datu
Luwu kemudian kembali ke negerinya. Keseluruhan substansi perjanjian Unnyi
tersebut tidak mengandung unsur yang menetapkan tentang pembayaran kerugian
perang dari pihak Luwu (yang kalah perang) kepada pihak Bone (yang menang
perang). Dengan demikian perjanjian perdamaian tersebut menyimpang dari
kelaziman perjanjian gencatan senjata, yang pada umumnya menetapkan sanksi
kerugian perang yang harus dibayar oleh negara agresor yang kalah perang. Hal
ini menunjukkan pendekatan kekeluargaan Arung Mangkaue La Tenrisukki kepada
Datu Luwu, Dewaraja.
Berdasarkan substansi materi
perjanjian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya Perjanjian Uunyi
adalah perjanjian persekutuan antara Bone dan Luwu. Persekutuan semacam ini,
baru untuk pertama kalinya terjadi dalam Sejarah Kerajaan Bone. Arti strategis
Polo Malelae ri Unnyi bagi Bone, adalah suatu sukses di bidang politik dan
militer. Dengan peristiwa tersebut menampatkan Bone dalam posisi strategis dan
prestise yang kuat terhadap kerajaan – kerajaan kecil di sekitar Kerajaan Bone
bahkan juga kerajaan – kerajaan lainnya di kawasan Sulawesi Selatan.
Setelah itu beliau juga
menghadapi pemberontakan dari orang-orang Mampu – salah satu kerajaan di
sekitar kerajaan Bone. Namun, sekali lagi pemberontakan tersebut dapat
diselesaikan oleh La tenri Sukki. Setelah beliau memerintah kurang lebih 27
tahun lamanya ia pun wafat. Dan sebagi penggantinya ditunjuklah puteranya La
Uliyo BoteE hasil perkawinanya dengan sepupunya We Tenri Songke sebagai Raja
Bone VI. Digelari Bote’E karena Arumpone ini memiliki postur tubuh yang subur
(gempal).
Di masa pemerintahan La Uliyo
Bote’E, Luwu kembali menyerang Bone dan sekali lagi dikalahkan. Bone kemudian
memperoleh bantuan Gowa untuk memerangi sekutu utama Luwu dan Wajo, namun
persekutuan itu merupakan campur tangan tidak biasa bagi Gowa dalam usahanya
untuk merebut hegemoni disebelah timur semenanjung, belakangan Gowa memang
mengundurkan diri dan berkonsentrasi untuk mencapai harapannya di semenanjung
barat Sulawesi Selatan. Pada masa pemerintahannya pulalah Bone mulai dilirik
oleh Gowa.
Arumpone inilah yang pertama
didampingi oleh Kajao Laliddong. Dia pulalah yang mengadakan perjanjian dengan
KaraengE ri Gowa Daeng Matanre Karaeng Tumapakrisika Kallonna. Peristiwa
peresmian hubungan diplomatik pertama antara Bone dengan Gowa, diupacarakan
dengan pergelaran senjata sakti kedua kerajaan, ”Sitettongenna SudengngE –
Lateya Riduni” di Tamalate. Kunjungan Raja Gowa secara formal dalam kunjungan
kenegaraan, dan berhasil membentuk hubungan persahabatan bilateral antara Gowa
dengan Bone. Dengan upacara khidmat memperhadapkan senjata kebesaran Kerajaan
Bone dan senjata kebesaran Kerajaan Gowa di Laccokang, Watampone, ibukota
Kerajaan Bone (1538).
Setahun kemudian, Raja Bone, La
Uliyo Bote’e melakukan pula kunjungan balasan ke Gowa dan berhasil membentuk
dual alliance antara Bone dengan Gowa yang disebut, “Ulu Adae ri Tamalate”
(Perjanjian Tamalate). Perjanjian tersebut berisikan bahwa Bone dan Gowa
bersepakat untuk saling memberikan bantuan militer bilamana ada di antara
mereka dalam keadaan bahaya ancaman militer. Ini merupakan sukses di bidang
politik di masa kekuasaan La Uliyo Bote’e. Setelah genap 25 tahun sebagai Arung
Mangkaue’ ri Bone ditunjuklah La Tenri Rawe BongkangE sebagai Raja Bone VII.
Komentar
Posting Komentar