SEJARAH BONE : RUMPANA BONE ( RUNTUHNYA KERAJAAN BONE)
Sejak runtuhnya Kerajaan Gowa
pasca munculnya Perjanjian Bongaya, Kerajaan Bone bangkit menjadi satu-satunya
kerajaan yang memiliki pengaruh paling besar. Hingga awal XX, Kerajaan Bone
memainkan peran penting dalam sejarah politik di Sulawesi Selatan.
Pada abad XIX Kerajaan Bone menjadi
saingan Belanda dalam memperluas kekuasaan dalam bidang ekonomi dan politik.
Akibatnya, kedua penguasa ini pernah terlibat dalam perang besar. Dalam sejarah
daerah ini, perang itu terjadi pada tahun 1824-1825 yang bermula setelah Sultan
Bone meninggal pada tahun 1823, dan digantikan oleh saudarinya Aru Datu
(bergelar I-Maneng Paduka Sri Ratu Sultana Salima Rajiat ud-din), pemerintah
kesultanan mencoba merevisi Perjanjian Bongaya, beserta semua anggota
persekutuan itu, yang jatuh atas pemerintahan itu, hukum yang sama harus
diberlakukan.
Antara tanggal 8 Maret sampai 21
September 1824, GubJend. G.A.G.Ph. van der Capellen mengadakan lawatan ke
Sulawesi dan Kepulauan Maluku; semua penguasa datang memberikan penghormatan
(juga perwakilan Ratu Bone), kecuali penguasa Suppa dan Tanete. Van der
Capellen berharap bahwa perundingan dengan negara-negara tersebut tidak akan
membawa keuntungan apapun; sekembalinya ke Batavia, sebuah ekspedisi
dipersiapkan dan sekitar 500 prajurit diberangkatkan dengan membawa 4 meriam, 2
howitzer, beserta 600 prajurit pembantu pribumi untuk menghukum Bone.
Sultan yang kini terguling lari
ke pedalaman dan penduduk tetap melancarkan serangan atas Belanda namun masalah
di Tanete cepat dibereskan dengan baik. Meskipun Suppa masih kuat; Letkol.
Reeder melancarkan serangan bersama 240 prajurit yang dipersenjatai sejumlah
moncong senjata; pada tanggal 14 Agustus serangan diperbaharui: orang Bugis
membiarkan pasukan Belanda mendekat tanpa ancaman apapun hingga di kaki sebuah
bukit dan barulah mereka melancarkan serangan; setelah kehilangan sepertiga
pasukannya, Belanda harus mundur. De Stuers menyerbu bersama komisaris
pemerintahan Tobias ke Suppa dan makin mendekat; pada pagi hari tanggal 30
Agustus, operasi itu berhasil diselesaikan, setelah tembakan meriam peringatan
ke benting musuh, namun kekuatan yang dibawa De Stuers tak cukup kuat. Dengan
korban tewas sebanyak 14 jiwa dan 60 korban luka-luka, pasukan Belanda harus
kembali dan harus melancarkan ekspedisi lain.
Lalu berturut-turut perang
terjadi pada tahun1859-1860 dan perang yang terjadi pada tahun 1859-1860.
Hingga Serangan yang dilancarkan pemerintah Kolonial pada tahun1905 yang
menandai berakhirnya Kerajaan Bone pada masa La Pawawoi Karaeng Segeri.
Sekali lagi Pemerintah Kolonial
ingin meneggakkan supremasinya terhadap seluruh wilayah Sulawesi Selatan.
Kolonial Belanda menganggap Bone telah melanggar perjanjian sebelumnya bahwa
Bone tidak boleh memperluas wilayah kekuasaanya, hingga munculnya bukti invasi
militer Bone di Tana Toraja dan Wajo 1897-1900. Gubernur Hindia Belenda Baroon
van Hoevell mengeluarkan surat perintah penghapusan penguasa pribumi Bone pada
Maret 1903.
Akhirnya pada Julli 1905
dilancarkanlah serangan terhdapa Kerajaan Bone oleh Belanda melalui pelabuhan
Bajoe. Dengan berakhir pada kemenangan Belanda. Akan tetapi, Karaeng Segeri
mengusngsi menuju pedalaman, untuk mengumpulkan pasukan dan menyemangati para
pejuang yang tersisa.
Sementara pengejaran terhadap La
pawawoi terus dilakukan, Tomarilalang bersama lima anggota Dewan Adat Bone
menyatakan tunduk terhadap Belanda. Ditambah semakin terdesaknya para pejuang
Bone hampir disetiap pertempuran dan kematian Panglima tertinggi perang
Kerajaan Bone Petta Ponggawae Baso Pangilingi Abdul Hamid. Perang pun berakhir,
Raja Bone La pawawoi sudah tidak memiliki daya lagi untuk mempertahanya pada
kerajaan. Ia pun akhirnya harus ditahan, dan diputuskan dikirm ke Bandung,
dimana ia kemudian mengehmbuskan nafas terkhirnya pada Januari 1911.
Komentar
Posting Komentar