Bone dan Inggris


Pada waktu Belanda menyerahkan kekuasaannya di  Sulawesi Selatan ke tangan Inggris, Kerajaan Bone menolak. Penyerahan secara sepihak itu merupakan cikal bakal permusuhan yang berkepanjangan antara Kerajaan Bone dengan Belanda. Kehadiran Inggris, meskipun tidak begitu lama tetapi memberi pukulan berat bagi Kerajaan Bone. Inggris berhasil membangun kerjasama yang baik pada beberapa kerajaan, seperti Gowa dan Soppeng. Inggris bahkan memberi pukulan telak kepada Bone dan berhasil menduduki wilayah Kerajaan Bone di Makassar, yaitu di Bontoala. Sejak saat itu Bone harus meninggalkan Makassar dan kembali ke Bone. Pada waktu Belanda kembali mengambil alih daerah ini dari tangan Inggris pada tahun 1816, Bone menunjukkan sikap yang kurang bersahabat. Mengetahui hal itu Belanda mencoba melakukan penjajakan mengapa hal itu terjadi. Belanda memutuskan untuk melakukan satu pertemuan dengan seluruh raja-raja yang ada di daerah ini dan memperbaharui Perjanjian Bungaya, perjanjian yang melegitimasi kehadiran Belanda di Sulawesi Selatan. Kerajaan Bone dan beberapa sekutunya menolak untuk menandatangani perjanjian tersebut. Sikap itu menempatkan Kerajaan Bone dari satu sekutu lama Belanda menjadi lawan utama Belanda di sepanjang abad XIX.
Sikap menolak yang diperlihatkan Bone sehubungan kehadiran Belanda kembali melibatkan kedua kuasa ini dalam satu perang yang berkepanjangan. Belanda yang melihat tingkah laku politik yang diperlihatkan Bone, akhirnya memutuskan untuk melakukan serangan atas Kerajaan Bone dengan mengerahkan segenap kekuatan, baik yang ada di Jawa maupun dengan sekutunya yang ada di Sulawesi Selatan. Meskipun serangan itu tidak menghasilkan putusan politik yang berarti karena pecahnya Perang Diponegoro di Jawa, tetapi serangan itu sendiri telah memecahkan sikap politik pada elite bangsawan di Kerajaan Bone. Muncul dua kekuatan utama, satu menganggap bahwa kehadiran Belanda harus diterima dan dibangun kembali persahabatan seperti yang pernah dilakukan di masa lalu, satu lainnya menolak kehadiran Belanda. Sikap menolak itu ada pada raja Bone, sementara yang menyetujui ada pada Perdana Menteri (Tomarilalang).
Munculnya dua kubu yang saling bertentangan ini secara politik melemahkan Kerajaan Bone. Muncul intrik-intrik persekongkolan, masing-masing membangun kekuatan. Politik Bone sangat tergantung pada kekuatan yang dibangun. Bila raja dapat memperlihatkan kekuasaannya, maka sikap menolak menjadi dominan dalam berhubungan dengan Belanda, hal sebaliknya juga dapat terjadi. Sikap keras raja Bone kemudian melunak pada tahun 1834 ketika raja Bone ketika itu berhasil dipujuk oleh Tomarilalang Kerajaan Bone untuk menandatangani Perjanjian Bungaya yang diperbaharui. Sikap politik itu dengan cepat berubah seiring dengan kematiannya. Raja Bone yang baru diangkat menunjukkan sikap penolakannya terhadap kehadiran Belanda. Perang pun tidak dapat dihindari, Bone takluk dan dirubah statusnya menjadi Kerajaan Pinjaman.
Perubahan status itu tidak secara langsung mengakhiri kekuasaan karena sikap politik pada elite bangsawan Bone tidak tetap, tergantung pada situasi sosial dan politik yang terjadi. Meskipun Belanda menempatkan figur yang dianggap berpihak kepadanya sebagai raja di Kerajaan Bone, namun itu tidak menjamin bahwa seluruh keinginan Belanda dapat dengan mulus disetujui. Demikianlah yang terjadi pada diri La Pawawoi Karaeng Sigeri, raja Bone yang ditunjuk oleh Belanda untuk menduduki tahta kerajaan. Figur ini pun kemudian mengangkat senjata menolak keinginan Belanda untuk menguasai perekonomian Kerajaan Bone.

Komentar

Postingan Populer