KERAJAAN BONE SEBAGAI KERAJAAN PINJAMAN (Bagian 1)
Dalam sejarah panjang Kerajaan Bone, sejak didirikan kira-kira sekitar pertengahan abad XIV sampai kekalahan Besse Kajuara pada tahun 1860, periode sejarah Kerajaan Bone pascakekalahan itu mengalami perubahan total, utamanya dalam hal wewenang dan kekuasaan, baik raja maupun Dewan Adat Pitu. Perubahan itu lambat laun telah memudarkan wibawa dan kekuasaan Kerajaan Bone yang selama ini sangat dikagumi oleh kerajaan-kerajaan lain yang ada di daerah ini. Kerajaan Bone tampaknya kehilangan pijakan untuk berdiri. Akhirnya, seperti pada banyak kerajaan di Nusantara ini, Kerajaan Bone tidak memiliki banyak pilihan kecuali menyerah di bawah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda, meskipun telah dilakukan serangkaian perlawanan sebelum kejatuhannya. Pada tahun 1860 Besse Kajuara, Ratu Kerajaan Bone yang berjuang untuk membebaskan Bone dari pengaruh Pemerintah Hindia Belanda, tidak bisa berbuat banyak ketika Dewan Adat Pitu Kerajaan Bone menyatakan kalah dan tunduk pada kehendak Belanda. Setelah alat-alat kebesaran kerajaan berhasil diambil oleh pihak Belanda, dan atas persetujuan pemerintah Hindia Belanda, akhirnya Achmad Singkeru Rukka diangkat menjadi Raja di Kerajaan Bone. Pelantikan itu telah memberi jalan yang sangat mulus pada pemerintah Hindia Belanda untuk menanamkan kekuasaannya. Achmad Singkeru Rukka adalah orang yang memberi bantuan, baik secara moral maupun material kepada pemerintah Hindia Belanda dalam serangannya ke atas Kerajaan Bone pada tahun 1859-1860. Oleh karena itu pihak Pemerintah Hindia Belanda tidak mengalami kesulitan untuk mencari pengganti Besse Kajuara. Selain berdarah bangsawan sebagai legitimasi berterimanya Achmad Singkeru Rukka di kalangan rakyat Bone, pihak Belanda juga menghendaki orang yang dapat dipercaya. Pengamatan Belanda selama ini, Achmad Singkeru Rukka telah memenuhi persyaratan itu.
Setelah kekalahan Besse Kajuara, dengan persetujuan pemerintah Hindia Belanda, pada tanggal 31 Januari 1860
Achmad Singkeru Rukka diangkat menjadi Raja Bone XXIX dengan gelar Sultan Ahmad
(1860 – 1871). Kekalahan Kerajaan Bone
dan pengangkatan Singkeru Rukka menandai era baru dalam hubungan bilateral antara kedua kuasa ini.
Jika sebelumnya, hubungan itu didasarkan atas saling menghormati dan mengakui
atas otonomi masing-masing, namun periode berikutnya hubungan itu tampaknya
berat sebelah, yaitu lebih menguntungkan pihak Pemerintah Hindia Belanda.
Bahkan setelah kejatuhan Kerajaan Bone, pihak pemerintah Hindia Belanda telah
menetapkan bahwa Kerajaan Bone menjadi miliknya, dan Besse Kajuara tidak boleh
menginjakkan kakinya lagi di Kerajaan Bone.
Sepuluh hari setelah pengangkatan, Achmad Singkeru Rukka bersama Arung
Pitu menandatangani Kontrak Politik. Dalam kontrak itu ditetapkan bahwa Sinjai,
Kajang, dan Bulukumba Tua menjadi wilayah pemerintahan langsung Gubernemen Hindia Belanda. Selain itu
juga dalam kontrak itu dikatakan bahwa Kerajaan
Bone diubah statusnya, dari anggota sekutu dari Belanda berdasarkan
perjanjian Bungaya 1667-1669, menjadi Kerajaan Pinjaman (Leenvorstendom). Hal itu berarti status Kerajaan Bone menurun. Kerajaan Bone kini adalah milik Gubernemen Hindia Belanda yang
dipinjamkan kepada Achmad Singkeru Rukka. Jadi, Achmad Singkeru Rukka bertindak
sebagai raja pinjaman di Kerajaan Bone.
Meskipun Achmad Singkeru Rukka
bertindak sebagai seorang raja pinjaman, hal itu hanya ada di atas kertas
semata. Pihak pemerintah Hindia Belanda tidak memperlakukan Raja Bone sebagai
seorang budak yang harus mengikuti seluruh kehendak Belanda. Dalam batas-batas tertentu
Achmad Singkeru Rukka masih dapat bertindak selaku raja, namun harus
diakui bahwa penetrasi Belanda dalam
kehidupan politik di Kerajaan Bone semakin jauh dan dalam. Dalam banyak catatan
diketahui bahwa pada masa pemerintahan Achmad Singkeru Rukka, kehidupan politik
di Kerajaan Bone berjalan baik. Masyarakat hidup dalam keadaan tenteram dan
damai. Gejolak politik hampir dapat dikatakan tidak tampak.
Komentar
Posting Komentar