LA TADDANGPARE PUANG RIMAGGALATUNG
La
Taddangpare Puangrimaggalatung
Disebut
dalam lontarak bahwa La Taddangpare Puangrimaggalatung adalah seorang
ahli pikir dijamannya. Ia juga seorang negarawan, ahli strategi perang, ahli
dibidang pertanian, dan ahli hukum. Kejujurannya menjalankan pemerintahan
terkenal baik di dalam maupun di luar negerinya. Sejak kecil La Tadangpare
telah menampakkan bakat istimewa untuk menjadi negarawan dan ahli strategi
perang yang sukses. Bakat itu kemudian tampak menjelang usia dewasa. Sejak
kecil hingga menjelang dewasa,
La
Tadangpare di besarkan di istana Arung Palakka yang bernama La Tenriampa. La
Tadangpare sangat dimanjakan oleh warga istana, dan sering menggangu
orang-orang Palakka dan membuat keonaran
La Tadangpare
meninggalkan Palakka (Bone) bersama pengikutnya kurang lebih 300 orang menuju
negeri Wajo. Setelah sampai di perbatasan Bone da Wajo, tibalah disebuah
kampung dipinggiran sungai Wallenae. Di sana ia turun dan membuka pakaiannya
(pangali patolanya) lalu turun ke sungai menghanyutkan pakaiannya dengan
mengucpkan sumpah yang disaksikan Dewata Sewwae, sumpahnya sebagai
berikut:
“Ri
awa! Orai lauk! Maniang manorang, sining lolo, sining luttu, sining makkajae ri
la lengna linoe, upasawe manengtoi puang nene mangkaukku angkanna waliwengnge
de rigosalinna (pamasareng). Lesuga pangaliku natuddu solo, nalesu gau majakku
mutama ri wajo. Apa iyapa tau padecengi tana pura nange-nangeyangi gau majana,
naissengi maja nacaukengngi alena, nainappa natobakengngi nasabbiwi dewata
sewae.”
Artinya:
“Tak mungkin
pakaian yang kuhanyutkan dibawa derasnya arus akan kembali dan tak mungkin pula
sifat-sifatku yang buruk itu kembali akan kubawa ke negeri Wajo. Raja yang
dapat menjalankan pemerintahan dengan baik ialah yang pernah berenang-berenang
di dalam perbuatan jahatnya, yang diketahuinya jahat lalu bertaubat dan
bersumpah akan meninggalkannya.”
Kemudian
ia melanjutkan perjalannanya menuju Wajo dan mereka samapai di rumah La
Tiringeng Tobata dengan selamat. Setibanya di Wajo, La Tadampare berkonsultasi
denga La Tiringeng Tobata seputar musim persawahan dan memerintahkan kepada La
Tadangpare agar memperingatkan La Pateddungi To Samallangi yang kesehariannya
menggangu gadis dan wanita yang sudah bersuami, supaya menghentikan
perbuatannya. Kalau sekiranya ia tak menghiraukan di bunuh lalu dibakar untuk
mempersaksikan asabnya di bumi dan di langit. Tugas itu cukup berat bagi La Tadangpare,
akan tetapi demi kepentingan umum, maka ia laksanakan dengan baik dan
bijaksana.
Setelah
dua tahun pemerintahan La Obbi Settiware Arung Matoa ke II (1482-1487),
terjadilah perang antara Wajo dengan Sekkenasu. Orang wajo dipimpin oleh La
Tadangpare sebagai panglimanya dan dibantu Datu Bola To Suniya (Raja Mawellang
Ballaelo). Karena pihak orang Wajo lebih kuat maka pihak Sekkenasu mengalami
kekalahan. Dalam pertempuran itu La Tadangpare menggunakan sistem bumi hangus,
sehingga asap mengepul-ngepul (mallatung anrena apie). Saat itulah La
Tadangpare digelar Puag Mallalatung yang kemudian menjadi Puangrimaggalatung.
Sistem bumi hangus tersebut juga digunakan pada pertempuran ditempat lain.
Dalam
lontarak milik La Tompi Ranreng Bettengpola (1:57) disebutkan bahwa ketika La
Tadangpare Puangrimaggalatung menjalankan pemerintahan selama kurang lebih 20
tahun, daerahnya bertambahn luas. Di bagian Utara sampai di Larompong; di
bagian Barat sampai Batu Lappa, Bulu Cenrana, Rappang; di bagaian Timur sampai
Amali, Waktu; dibagian Selatan sampai di Lamuru, Mampu.
La Tadangpare
Puangrimaggalatung bersama La Tiringeng To Taba meletakkan dasar pemerintahan
yang bersifat demokratis di Wajo dengan melaksanakan peraturan atau hukum
kejujuran. Selama pemerintahannya hanya empat kali memutuskan bicara yaitu:
bicara bagi para nelayan (pakkaja), bicara bagi penyadap tuak (passari), bicara
bagi para pedagang (pabbalu), dan bicara mengenai orang banyak (tau egae). Hal
ini menunjukkan bahwa pada masa lalu orang wajo memiliki kesadaran hukum yang
tinggi seperti seperti yang dijalankan pemerintahan sekarang.
Selanjutnya
Arung Matoa Wajo ke- IV ini memfungsikan semua pejabat sesuai struktur
pemerintahanyang berlaku. Pejabat pemerintahan terdiri dari; Arung Matoa,
Paddanreng 3 orang, Pilla/Bate Lompo (panglima besar) 3 orang, pembicara 30
orang, dan Suro Palele/Ribateng 3 orang, kesemuanya berjumlah 40 orang dan
disebut Arung Patappuloe.
Atas
kejujurannya di dalam menjalankan hukum dan pemerintahan selama kurang lebih 30
tahun, maka kesejahteraan rakyat wajo amat baik, hasil pertanian melimpah ruah,
ternak berkembang biak dan wilayah kerajaan bertambah luas.
Arung
Matoa La Tadangpare Puangrimaggalatung wafat tahun 1528, dan jasadnya dibakar
selanjutnya abunya disimpan dalam balubu dan diperlakukan sebagai Arung Matoa
untuk memutuskan perkara-perkara. Sesuai dengan pesannya bahwa La Paturusi To
Maddualeng yang ditugaskan menentukan kalah menangnya kedua belah pihak yang
bersengketa sesuai arah gerak asap abunya.
Kepergian
La Tadangpare Puangrimaggalatung banyak meninggalkan wasiat, fatwa, nasehat
serta kata sulsana yang berharga yang merupakan penjelasan dalam mempergunakan
cara pelaksanaan hukum pidana adat maupun perdata kepada anak cucunya. Antara
lain wasiatnya dalah:
Makkedai
Puangrimaggalatung:
“IYAPA MUALA ARUNG MATOA
MALEMPUE NA MACCA, WARANIE NAMALABO. APA IYA TO MALEMPUE IYANARITU TAU MACCA.
NAIYA TO WARANIE IYANARITU TAU MALABO. IYANARITU TAU SOGI. NAIYA TAU
BOLAIYANGNGI SIKUWAERO UPEK ADAE, IYANARITU TAUPAWEKKE TANA.”
Artinya:
Kata Puangrimaggalatung:
“yang dapat dijadikan
Arung Matoa ialah yang jujur dan pintar, pemberani itulah orang pemurah dan itu
pulalah yang kaya. Orang yang memiliki watak demikian itu suatu pertanda orang
jujur dan dapat memperbesar daerah/negerinya”
Adakah anak perempuan la tadampare berkawin dengan anak syed husin jamadil kubra
BalasHapusAdakah anak perempuan la tadampare berkawin dengan anak syed husin jamadil kubra
BalasHapus