SEJARAH BONE : ISLAM DITANAH BONE
Proses Islamisasi di Bone tidak
terlepas dari proses Islamisasi pada Kerajaan Gowa. Yang mana proses Islamisasi
Kerajaan Gowa, dilakukan oleh Datu ri Bandang. Setelah Islamnya Kerajaan Gowa,
penyebaran Islam pun dimulai. Sultan Alauddin melakukan penyebaran-penyebaran
Islam secara damai. Pertama-tama ia lakukan dakwah Islam terhadap
kerajaan-kerajaan tetangga. Alasan beliau berdasarkan perjanjian yang berbunyi
“... bahwa barangsiapa menemukan jalan yang lebih baik, maka ia berjanji akan
memberitahukan kepada raja-raja sekutunya”.
Akan tetapi jalan damai tidak
berlaku bagi Bone. Dalam hal ini Bone bersama sekutunya tidak mempercayai
penyebaran Islam yang dilakukan kerajaan Gowa tidak berdasarkan ketulusan
melainkan bersifat politis. Alasan tersbut beralasan, karena dalam sejarah sebelum
masuknya Islam telah tejadi benturan-benturan terhadap kedua kerajaan. Menurut
mereka ini adalah siasat Gowa untuk menguasai mereka.
Akhirnya terjadilah Perang yang
dikenal dengan musu sellenge atau perang peng-Islaman. Seperti telah dituliskan
sebelumnya telah terjadi perang pada tahun 1607-1611. Yang berangsur-angsur
memaksa Soppeng memeluk Islam pada tahun 1609 M, Wajo pada tahun 1610 M dan
Bone pada tahun 1611 M dengan perjanjian bahwa pemerintahan kerajaan tetap
berada pada tangan mereka.
Islam masuk di Bone pada masa La
Tenri Ruwa sebagai Raja Bone XI pada tahun 1611 M dan ia hanya berkuasa selama
3 bulan. Sebabnya, karena beliau menerima Islam sebagai agamanya padahal dewan
adat Ade Pitue bersama rakyat menolak ajakan tersebut. Akhirnya beliau meninggalkan
Bone, kemudian ke Makassar mempelajari agama Islam lebih mendalam dan meninggal
di Bantaeng.
Perlu diketahui sebelum Sultan
Adam Mattindroe ri Bantaeng atau La Tenri Ruwa memeluk Islam. Sudah ada rakyat
Bone juga yang telah memeluk Islam, bahkan Raja sebelumnya We Tenri Tuppu
karena mendengar Sidendreng telah memeluk Islam ia pun tertarik untuk
mempelajarinya dan wafat disana. Sehingga ia digelari Mattinroe ri Sidendreng.
Setelah dima’zulkannya La
Tenrirua dan diangkat penggantinya La Tenripale Arung Timurung dalam tahun
1611. Arumpone La Tenri Pale To Akkeppeang Arung Timurung (1611 – 1625), adalah
anak dari La Inca MatinroE ri Addenenna. Inilah Mangkaue’ yang membangkitkan
kembali semangat orang Bone menolak Islam, yang menurut pemahamannya adalah
pintu masuk Gowa mau menjajah Bone.
Akan tetapi, rakyat Bone dibawah
Arumpone La Tenri Pale tak dapat berbuat banyak digempur dengan pasukan besar
Gowa, segera setelah itu Bone resmi menjadi daerah takluk Gowa dan secara
formal pula Bone memeluk Agama Islam (1611). Seluruh Arung Palili (Raja negeri
bawahan Bone) diundang untuk mengucapkan syahadat tanda masuk Islam. Fakta
tersebut menunjukkan bahwa Islam masuk di Bone melalui tekanan militer Gowa.
Setahun setelah orang Bone
menerima Islam, Arumpone La Tenri Pale ke Tallo (Makassar) menemui Dato’ ri
Bandang. Diberilah nama Islam, Sultan Abdullah dan diumumkan pemberian nama itu
dalam suatu khutbah Jum’at. Selama masa pemerintahan La Tenripale Towakkapeyang
(1611-1631), penaklukan Gowa atas Bone tidak terlalu membawa penderitaan bagi
rakyat Bone, karena hubungannya dengan Sultan Alauddin terjalin dengan baik.
Lalu pada masa La Maddaremmeng
(1625 – 1640) yang menggantikan pamannya La Tenripale Toakkeppeang Matinroe’ ri
Tallo menjadi Arumpone XIII. La Maddaremmeng mengamalkan Islam lebih ketat
dibanding kerajaan lain termasuk Gowa-Tallo, di antara gebrakannya yang
terkenal adalah menghapus sistem perbudakan Ata, karena manusia dilahirkan
tidak untuk diperbudak; juga menghukum berat para penyembah berhala atau
mensakralkan tempat dan benda-benda tertentu; pelaku zina; pencurian; miras,
dan berbagai bentuk kemungkaran lainnya. Inilah sejarah awal penerapan syariat
Islam secara formal. Maka terjadilah perlawanan dari para bangsawan Bone bahkan
perlawanan tersebut dipimpin langsung oleh Ibu La Maddaremmeng sendiri yaitu
Datu Pattiro we Tenrisolorengbeliau menolak ajaran Islam versi anaknya karena
diangganya keras dan tidak toleran, ibunya lebih tertarik dengan ajaran Islam
versi kerajaan Gowa-Tallo karena lebih sufistik dan klop dengan ajaran kepercayaan
pra-Islam di Bone.
Tercatat dalam Sejarah Bone
tentang kepatuhan La Maddaremmeng dalam menjalankan ajaran Islam dan
mengimplementasikannya dalam pemerintahannya. Bahkan diusahakan pula agar
kerajaan tetanggnya seperti Soppeng, Wajo dan Ajattapareng menirunya, khususnya
dalam memerdekakan hamba sahaya, kecuali yang memang budak turun temurun,
sedang mereka inipun harus diperlakukan manusiawi. Baginda bertindak keras
tanpa pandang bulu terhadap siapapun yang melanggar kebijaksanaannya. Meski
begitu, tak sedikit pula bangsawan dalam Kerajaan Bone sendiri yang menentang
penghapusan perbudakan.
Dengan dalih menciptakan
stabilitas keamanan dalam negeri Bone dan penentangan terhadap penghapusan
perbudakan, Gowa dibawah pemerintahan Karaenge’, Sultan Malikus Said kembali
menyerang Bone (1644). Ini berarti Gowa sendiri tidak mau dan tidak menyetujui
penghapusan perbudakan. La Maddaremmeng menghadapi perang tersebut dengan
dibantu saudaranya, La Tenriaji Tosenrima, namun serangan Gowa secara besar –
besaran tersebut tak dapat ditahan pasukan Bone, Arumpone akhirnya menyingkir
ke daerah Larompong. Di Cimpu, Arumpone ditawan lalu dibawa ke Gowa, diasingkan
di suatu kampung bernama Sanrangang (1644). Rakyat dan Hadat Bone akhirnya
mengangkat La Tenriaji To Senrima sebagai Arumpone untuk melanjutkan perjuangan
melawan Gowa. La Maddaremmeng dikembalikan ke Bukaka dan disanalah Arumpone ini
meninggal, hingga digelari Matinroe ri Bukaka.
Komentar
Posting Komentar